twitter


Cinta itu abu-abu. kata adikku kepada ibu. aku hanya nguping dari kamar saat itu. sedikit menegakkan kepala, karena tertarik akan apa yang akan dikatakan adikku selanjutnya. adikku, yang masih kecil itu melanjutkan,"ibu, cinta itu tidak jelas. aku terkadang tidak bisa membedakan antara cinta dengan dusta."
lalu terdengar desau panjang.

bersambung


Amanah: Beranjak dari Sepenggal Kisah, Terbit Harapan Secercah, Hingga Berhasil Menorehkan Sejarah

“Amanah adalah pesan. Pesan mulia dan akbar, yang setiap insan tidak dapat mengingkarinya begitu ia terlahir ke dunia.”
Kisah ini adalah sebuah autobiografi singkat. Sangat singkat, jika dibandingkan perjalanan hidup Beliau yang hampir seabad. Beliau, lahir dengan nama Ahmad Mursyidi, berpuluh-puluh tahun yang lalu. Hidup di desa, dari keluarga yang sederhana – miskin, kata yang sempat Beliau ucapkan, namun langsung Beliau beristighfar, “Maaf. Bukan maksud saya tidak mensyukuri nikmat Allah. Bukan. Memang keadaannya seperti itu.”
Beliau dibesarkan oleh Ayah yang teladan, dan Ibu yang hebat. Hingga bangku SMA, beliau mengenyam pendidikan di desa. Dan di bangku SMA, Beliau menemukan sosok guru yang sangat memukaunya. Guru beliau ini adalah guru kimia. Setiap pelajaran kimia, beliau selalu duduk di barisan paling depan, memperhatikan dan takjub, betapa guru kimianya itu sungguh pandai mengajar dan pandai ilmu kimia.
Hingga akhirnya, setiap siswa diharuskan menentukan pilihan jurusan di perguruan tinggi.”Ya. Saya sudah mantap. Saya ingin masuk jurusan farmasi seperti guru saya. Karena saya sangat menyukai kimia.”
Namun, paman Beliau tidak setuju.”Le, kamu sekolah di kedokteran saja. Kamu itu pintar. Besok datanglah ke UNAIR. Nanti Paman daftarkan,”pamannya mewanti-wanti beliau.
Beliau tidak terlalu antusias. Beliau sadar. Beliau akan sukses jika beliau kuliah di jurusan yang memang beliau inginkan dan beliau sukai. Hingga pamannya terus menghubungi beliau dan keluarga.”Le, kok kamu tidak segera ke Surabaya? Pendaftaran fakultas kedokteran hampir ditutup,”Pamannya terus memaksa.
Akhirnya, dengan berat hati beliau bertolak ke UNAIR. Dan di sana, disambut dengan senyum kecut oleh paman beliau.”Le, dah, sekarang kamu liburan saja di sini. Bersenang-senang saja.”
Beliau bingung.”Memangnya kenapa, Paman?”
Pamannya merangkulnya sambil berjalan.”Pendaftaran fakultas kedokteran sudah ditutup kemarin. Ya sudah. Masuk jurusan apa pun di mana pun itu sekarang menjadi hak kamu,”tandas Pamannya.
Beliau bersorak girang. Hingga liburan di Surabaya pun menjadi sangat menyenangkan.
***

Sepuluh tahun kemudian. Mengantongi ijazah apotekernya yang masih hangat, beliau merenung.”Selama ini, saya aktif berorganisasi di mana-mana. Selama ini, saya banting tulang untuk membiayai kuliah saya. hingga, akhirnya butuh waktu sepuluh tahun bagi saya untuk menyelesaikan strata satu saya. waktu yang tidak umum, yang tidak wajar, namun, akhirnya, inilah. .”
Beliau terus merenung. Mereview waktu sepuluh tahun yang beliau habiskan di UGM jurusan farmasi. Mengingat, ketika di tengah masa studinya, beliau terguncang sekali dengan meninggalnya ayah beliau, pemimpin dan tulang punggung keluarga yang menghidupi beliau dan ibunya.
Dan karena hal itu, membuatnya harus hidup lebih-lebih prihatin dari sebelumnya. Berjalan kaki berkilometer-kilometer telah menjadi kesenangan tersendiri bagi beliau. Menjelajahi jalan-jalan kecil, menikmati getaran bumi di bawah telapak kaki beliau, hingga satu tahun lamanya.
Dan, karunia terbesar, mungkin Allah ingin menggantikan posisi ayah beliau, dengan kebahagiaan lain yang sama besar, yaitu, istri. Wanita yang begitu sholihah. Tidak memandang hidup dari segi materi. Istrinya lah, secercah cahaya untuk harapan-harapan beliau yang hampir padam. Membuat beliau mengingat kembali, petuah, wejangan ayahnya, ibunya, tentang amanah beliau. Kewajiban beliau sebagai anak, sekaligus hak orangtua beliau yang harus beliau tunaikan, yaitu belajar. Hingga menjadi orang pintar. Dan, petuah ayah beliau yang selalu terngiang-ngiang di telinga beliau,
”Jadilah orang pintar. Karena, jadi orang pintar itu perlu. Tapi, yang lebih utama dari menjadi orang pintar, adalah menjadi orang yang bermanfaat.”
Lalu, lagi-lagi, karena anugerah dan berkah dari Allah, beliau mendapat beasiswa S2, dan S3. Semuanya di luar negeri. Dan, beliau senantiasa mengutamakan beribadah, meskipun di luar negeri seperti di Sydney, komunitas Islam masih sangat sedikit. Karena, beliau menyadari,
beribadah adalah amanah. Amanah dari Allah. Dan juga, beliau memahami, selain beribadah, amanah insan di dunia ini adalah menjadi khalifah.
Beruntunglah, ketika di Sydney, beliau dan keluarga bermukim di kampung muslim. Dan beliau diamanahi menjadi ketua Islamic School di sana. Di tengah padang gurun, pasti ada oase. Itulah perumpamaan kampung muslim di tengah hirup pikuk Sydney. Setiap sore, beliau mengajar mengaji di kampung muslim. Di samping itu, beliau juga bekerja dan kuliah. Dan, yang beliau utamakan adalah, mengajari anak-anak beliau, agar sejak kecil mengenal agama Islam dengan sempurna.
Lalu, berpulang kembali ke tanah air. Sontak begitu banyak amanah berdatangan ke tangan beliau. Entah mengapa, kata beliau ketika wawancara, entah mengapa saya diamanahi begitu banyak hal. Satu hal yang saya yakin pasti, lagi-lagi ini adalah bukti pertolongan Allah.
***

Bersambung_


Jam Tangan

Dira mengenakan helmnya. Parkiran sudah sepi. Siang hampir tenggelam, dan senja tak sabar untuk menebar aroma violet keemasan. Dan, di tengah jalan, tiba-tiba refleks dia mengulurkan tangan ke depan, mengintip jam.
“Aaargh!!” teriaknya, sambil berhenti. “Jamku gak ada!” Dia meraba-raba pergelangan tangannya. Memelototinya. Tapi jamnya memang tidak ada di sana seperti biasanya.
Langsung dia memutar haluan, kembali lagi ke kampus, sambil berpikir, di mana kemungkinan jam kesayangannya itu berada.

***

“Medali Emas. . . Andina. .”
Deg. Bukan aku, batin Dira. Masih harap-harap cemas, dia menyimak pengumuman lomba desain dengan hati berdebar. Sampai habis pengumuman medali emas, harapannya tinggal setengah. Dilanjutkan dengan pengumuman medali perak.
“Medali perak. . Fairuz. .”
Teman di sebelahnya langsung berteriak histeris. Rupanya dia lah si empunya nama. Dira tersenyum, mengangguk, lalu kembali menyimak pengumuman pemenang. Dan dia telah menerima kenyataan terburuk jika dia pulang dengan tangan hampa.
“Dira Khoirunnisa. .”
Dira langsung tersentak. Hah? Jantungnya berderap kencang. Benarkah itu aku? Dia setengah menjerit. Teman-teman seprovinsinya langsung histeris.
“Diraa. . . sana maju. . ambil medalinya. .”
Dira masih kaku. Setengah tak percaya. Lalu dikuatkannya untuk berdiri, meskipun gemetar.
“Hwaa. . aku gak percaya. .hiks. . hiks. .” dia terisak, lalu meninggalkan bangku peserta menuju panggung.
Dengan bahagia, diterimanya medali, yang dikalungkan di lehernya, beserta boneka ayam bekisar khas Makassar. Lalu, berfoto-foto sebentar, dan bertukar sapa dengan pemenang lain yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Dan dengan hati yang campuraduk, dia kembali ke bangkunya.
Sesampainya di rumah, Bapak menyalami Dira, sambil mengusap airmata. Begitu pun Ibu.
“Ibu, ini ada sedikit rejeki. Dan mulai sekarang, biaya sekolah Dira gratis, soalnya Dira dapat beasiswa.”
Ibu tersenyum.”Terimakasih, anakku. Terimakasih sudah membanggakan keluarga ini.”
Seperti itulah. Gara-gara menang lomba itu, dia mendapat banyak beasiswa. Dan ternyata, masih ada hadiah tambahan yang lagi-lagi berupa uang yang jumlahnya cukup banyak.
Namun, sejalan dengan waktu, uang itu kian menipis. Hingga suatu hari, Dira ingin membeli jam tangan agar dia memiliki penunjuk waktu di mana pun dia berada.
Sampailah dia di salah satu toko jam ternama. Kemarin dia sudah mendatangi toko jam ini, sekedar mengecek harga. Dan sekarang, dia telah mengantongi sejumlah uang untuk menebus jam yang diincarnya tempo hari.
Dan, dia telah di atas motornya lagi, tapi dengan jam mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Dira bersiul-siul gembira. Sedikit-sedikit dia melirik jamnya, entah ingin sekadar mengetahui waktu, atau ingin memastikan jamnya masih teronggok di sana atau tidak.
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Jam itu telah menemani Dira dalam segala kondisi. Suka, duka. Panas, dingin. Cerah, hujan. Siang, malam. Hingga hari ini.

***

“Kira-kira di mana ya?” Dira bergumam sendiri. Dia berjalan tepat seperti jalan yang dilaluinya selama di kampus. Kepalanya tertunduk ke bawah terus-menerus, berharap menemukan jamnya di sana.
Dira gelisah, itu pasti. Apalagi besok dia ujian. Tambah ruwet pikirannya. Jangan sampai Bapak dan Ibu tahu, tekadnya. Lalu dia kembali mencari. Di antara rerumputan, di kamar mandi, di ruang kuliah, dan tetap jam tangannya menjadi misteri.
Dira lelah, sungguh. Dengan air mata membanjir, dia kembali ke motornya. Bertolak pulang, dan melupakannya sejenak untuk memikirkan ujiannya esok hari.

***

Tak terasa seminggu telah lewat. Dan selama seminggu ini, untungnya Bapak dan Ibu tidak memperhatikan Dira yang tak pernah mengenakan jamnya lagi. Leganya hati Dira. Sekarang dia terfokus bekerja paruh waktu sehabis kuliah. Mengajar di sebuah bimbingan belajar setiap malam. Hingga tiga bulan lamanya, uang seharga jamnya yang dulu telah terkumpul. Dira bergegas menuju toko jam yang sama tempat dia membeli jamnya dulu.
Dira celingak celinguk memantau etalase. Lalu penjaga etalase menghampirinya.”Ada yang bisa dibantu, Dek?”
Dira ragu-ragu, “Jam kayak itu, tapi bentuknya kotak, masih ada gak?” tanyanya sembari menunjuk sebuah jam yang mirip dengan jamnya yang dulu. penjaga etalase itu masih belum mengerti. Dira dengan berapi-api mendeskripsikan jamnya yang hilang dulu. sampai satu jam lamanya, tapi sepertinya jam seperti miliknya dulu sudah tidak ada lagi.
Dira menghela napas, lunglai. Lalu dia meninggalkan toko itu. Lalu terpikir mendatangi toko lain yang lebih lengkap. Pokoknya kali ini harus ada, harapnya.
Toko yang ini memang lebih lengkap. Dari luar, terlihat kemilau jam-jam yang harganya pasti sangat mahal. Dengan langkah mantap dia masuk ke toko itu. Lantas menghampiri pelayan toko, dan mendeskripsikan jamnya seperti yang dilakukannya tadi.
“Baik. Mari ikut saya, Dik,”pelayan toko itu membimbingnya menuju suatu etalase, lalu mengeluarkan sebuah jam cantik.”Seperti ini bukan yang Adik maksud?”tanya pelayan toko itu ramah.
Dira terpukau, memang. Tapi bukan itu jamnya. Tapi dia mengangguk pasrah. Ya sudah, batinnya, yang penting tetap jam. Bisa menunjukkan waktu. Dan kebetulan sekali, membeli jam yang berbeda membuatku tidak terbayang-bayang masa lalu, batinnya.
Akhirnya dia membeli jam itu. Sesampainya di rumah, Ibu yang sedang mengobrol dengan Bapak di ruang tamu, menegurnya. “Dari mana, Dek?” Ibu memberi isyarat untuk mendekat.
Dira tergagap.”Dari kampus, Bu.”
Ibu sekilas memperhatikan pergelangan tangannya.”Itu jam tangan yang lama atau jam tangan baru lagi?”

***

Dira tertunduk, lalu diputuskannya untuk jujur. Di depan Ibu dan Bapaknya, semuanya ditumpahkan.
Bapak terdiam sesaat, lalu menasihati,”Besok hati-hati lagi saja. Bapak salut karena kamu sudah bertanggungjawab, dan berhasil membeli jam yang mirip dengan jam yang kamu miliki dulu. dan jagalah apa yang kamu miliki saat ini. ikhlaskan yang sudah hilang, biarkan orang lain yang menemukannya merasakan kebermanfaatan dari barang yang kamu sedekahkan itu.”
Dira mengangguk patuh. Dan sejak saat itu dia benar-benar menjaga jam barunya, agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Hari ini Dira pulang sore lagi. Dilihatnya, penjaga kampus mulai mengunci pintu dan menyalakan lampu. Dan, dia terkesima. Di tangan ibu penjaga kampus, kemerlap yang familiar terpantul. Itu adalah jam tangannya yang hilang. Dira tersenyum. Untunglah, jam itu berguna, bahkan lebih berguna di tangan ibu itu, batinnya lega. Dia menyapa ibu itu, lalu berjalan pulang dengan perasaan ringan dan gembira.

***

Dira sudah tidak memikirkan mengenai jam tangannya itu. Kesedihannya digantikan perasaan bahagia, setidaknya sekarang jam itu sudah ada di tangan yang tepat. Dan dia menjadi sadar untuk selalu berhati-hati dan menjaga barang yang dimilikinya.


Singgasana Emas, 11 Juni 2010. 18:42 waktu Laptop


Biasalah. . aku suka kurang kegiatan. dan tadi pagi iseng-iseng ngedit foto. . maklum masih pemula, jadinya juga masih biasa-biasa aja. ini nih. . foto-foto hasil karyaku. . hohoho. if u like to order, just contact me. . hohohoho


Sarung Hp Warna Biru Gradasi




Sarung Hp Warna Coklat


Hoho. thanks to masDAn udah ngaplot dua gambar di atas. .
yah. inilah bisnis darkannarchy sekarang. berhubung anak sekolahan dah mau libur, berarti lesnya juga ikut libur, jadilah dia mencari kerjaan lain. itung-itung ngisi waktunya yang kadang suka dibuang-buang begitu aja.
bisnis dimulai kira-kira dua minggu lalu. darkannarchy menemukan sarung hapenya jaman SMA yang dirajutnya sendiri. dan tau-tau dia kepikiran ide brillian. dia mau bisnis bikin tempat kayak gambar di atas.
sampai saat ini dia telah menerima beberapa order dari teman-temannya. cihuii!!
semangat darkannarchy! tidak perlu malu, gengsi, minder, atau putus asa. . selama darkannarchy tidak merugikan orang lain dan tidak menempuh jalan sesat, teruslah maju! :D

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .