twitter


Yuhuuuu. . .
Darkannarchy datang dengan kisah cinta. Oke. Aku gak menyangkal kata-kata ku sendiri kalo cerita cinta itu membosankan dan menjemukan. Tapi suka-suka aku lah. Lagian aku masih merdeka. Dan cerita cinta belum dilarang.

Alkisah di suatu gubuk reot namun penuh cinta, di suatu negeri asing di mana setahun hanya ada 365,25 hari, dan satu hari hanya ada 23 jam 56 menit, sebuah keluarga kecil namun saling mencintai hidup dengan bersahaja.
“Mboookkkeeeee. . . “ terdengar panggilan mesra seperti suara kambing mengembek.
“Puaaakkkeeee . . .”sahutan suara cempreng menimpali.
Saudara-saudara, perhatikan nada panggilan mereka ini terbiasa berteriak karena mereka ini terlahir dari hutan amazon dan baru kemaren berganti peradaban dari jaman paleoneozoikumlitikum ke jaman milenium.
“mbreneee mbooookkkeeee. . . .”
Mbok’e bergegas bangkit, lalu, yah namanya juga spesies paleoneozoikumlitikum di mana mata mereka udah dua sih, tapi di samping gitu deh, kayak ayam, dan telinganya di pucuk kepala sama di punggung, mbok’e tahu-tahu terjembab kesandung kakinya yang berjumlah tiga.
“adoooohhhhh. . . . . pakeeeee. . tulungi dinda, pakeee. . . “
Pak’e langsung lari terbirit-birit mendekat. Lalu menarik tangan sang adinda. Dan menuntunnya ke bak cuci piring.
“Mbookkee. . ndak papa to? Mriki kula ulapi lukanipun. . cup. Cup. Cup.”
Aih. Begitulah setiap hari kemesraan yang ditunjukkan oleh sepasang spesies paleoneozoikumlitikum itu. Benar-benar bikin iri.
Suatu hari sepulang dari macul di hutan amazon, pak’e terperanjat hingga jantungnya hampir copot. Di depan rumahnya mbok’e lagi senam poco-poco.
“ealah mbok’e. . lagi stress po pie? Tengah wengi kok senam poco-poco. Bok mijetin kakanda ki lo.”sapa pak’e sembari melepas topinya. Lalu melepas kepalanya. Lalu melepas tangannya satu persatu, lalu melepas kakinya satu-persatu.
Mbok’e lantas mengambil ampelas di atas meja. Lalu mengampelas kepala pak’e hingga mengkilap, dan mengampelas bagian-bagian tubuh pak’e yang lain.
“Dinda, kau kurang pintar memijit rupanya. Ambilkan saja palu godam di belakang pintu. Itu lebih menyenangkanku,”kata pak’e dengan nada lembut.
Mbok’e berkaca-kaca atas kritikan suaminya tercinta. Meski pak’e memprotes dengan nada yang halus nan lembut, namun sensor wanitanya tetap saja terlalu halus untuk kritikan paling halus sekali pun.
Mbok’e pun mengambilkan palu godam, lalu tanpa dinyana-nyana oleh pak’e, tiba-tiba kepalanya dihantam dengan palu godam seberat lima ton itu.
“Uwadooohh mbok’e. . . dinda. . . sayang. . . cinta. . . honey. . . lorooo. .  alon-alon wae. Dengan tekanan 0,099 pascal wae. . dinda ngopo eu kok bersemangat tenan??”seru pak’e sambil mengaduh-aduh ketika kepalanya dihantam oleh mbok’e.
“Aku sedhih tuenuan puak’e. . “isak mbok’e kalap. Lalu ingusnya berjatuhan ke mana-mana seperti hujan regional.”Akhu khi suwensuwitiph tuwenan puak’e. . hiks hiks.”
Pak’e Cuma merem melek dan bergoyang ke kanan ke kiri ke belakang dan memutar, karena badannya sudah diprithili oleh mbok’e tadi. Jadi dia tidak dapat berpindah ke mana-mana.
Lantas cepat tangannya yang sudah prithil juga, memainkan handphone yang sedari tadi digenggamnya. Lalu dikirimnya sms ke ibunya di hutan madagaskar.
To: my loobbly mummy
Mummy, bangunlah dari petimu sebentar, dan bukalah bebatan kainmu. Ini istriku tercinta sedang marah besar karena aku kritik. Apa yang harus aku lakukan untuk menetralkan amarahnya? Thankiu mummy tercinta.
Tak berapa lama, terasa handphonenya bergetar. Berhubung handphonenya terletak di genggaman tangannya, dan tangannya jauh dari matanya, lalu dibenturkannya handphonenya ke tanah, dan handphonenya langsung bertransformasi menjadi media huruf Braille. Mulailah dia meraba-raba. Lalu bibirnya komat-kamit menghapal.
“Istriku tercinta, dengarkanlah dahulu kakanda. Ada kata-kata yang kakanda ingin sampaikan kepada adinda tercinta.”
Mbok’e langsung makseeettt. .terdiam slow motion, dan berhenti bergerak. Palu godam menggantung di udara.
“iiyaa pak’e. . menopo. . gek mpun dipun medharaken sabdanipun. .”
“..... glek. . .”pak’e menelan ludah. Lalu matanya terpejam, dan terdengar suara berat menggema seperti datang dari alam baka, dan tiba-tiba angin sepoi-sepoi berhembus membuat beberapa rambut mbok’e berkibar menutupi wajahnya. Dan seperti di pelem-pelem cinta, mbok’e mengibaskan rambutnya ke belakang, ups, tapi, glodaaaakkk!!! Olala. Rambutnya yang panjang itu nyangkut di tiang listrik.
“adhuh. . ah, lanjutkan, pak’e.”pinta mbok’e. berhubung rambutnya nyangkut di tiang listrik, kebetulan sekali, lalu mbok’e yang pintar memainkan harpa ketika dulu menjabat sebagai peri di olympus, lantas memetik rambutnya. .”dhooeeeng. . theooott. . tiing. . triltroltong. .”bunyi petikan rambutnya.
Pak’e melanjutkan apa yang akan disampaikannya.
“oh, adindaku, i dont care. . aku sayang kamu de’. .”
Seketika mbok’e kejang. Lalu lampu padam. Dan pertunjukan selesai.
Hahahahaha. Krik.krik. sebelum pemain-pemainnya dilempari parang, linggis, atau gergaji, mereka memilih kabur.

Singgasana emas.
16:21 pm. 24 Juli 2010



18:49 Waktu Laptop. Singgasana Emas
kemarin

Hari ini tamat sudah aku membaca Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas – nya Andrea Hirata. Novel yang penuh makna. Benar. Lalu aku teringat seorang sosok sentral dalam hidupku. Mungkin karena terbayang tokoh Syalimah, alias Ibunya Enong Maryamah Karpov sang Juara Catur, a.k.a istrinya Zamzani, seorang suami penuh cinta kasih.
Ibu.
Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu.
Ingin kuucapkan seribu, bahkan sejuta kata ibu dari lubuk hatiku terdalam. Agar ibu mendengar. Agar ibu tersentuh dan tersipu.
Ibu. Aku bahkan tidak mampu menjadi pahlawan-mu. Dua hari aku mengenyam hari libur nasional. Tentu saja bukan hari libur nasional Negara Republik Indonesia. Hanya semata-mata hari libur nasional milik Estianna Khoirunnisa.
Apa kerjaanku? Bersenang-senang. Memanjakan diriku sendiri dan nafsuku yang tersedak tercekat belum tersalurkan kemarin-kemarin. Dan, tentu saja. Lantas, aku diomeli ibu.
Hehehehe. Aku ini memang seperti keledai tuli yang tumpul dalam ranah kerumahtanggaan. Tidak bisa memasak. Ogah mencuci. Malas menyapu. Mandi pun hanya sekali sehari dan sekadar formalitas.
Aku menyadari betapa aku ini tidak ada manfaatnya sedikitpun di rumah ini.
Oke lah. Cukup meratapi nasibku sendiri. Ibuku saja lah yang akan aku bicarakan. Ibuku yang penuh dedikasi kepada keluargaku yang kurang bisa berterima kasih. Bukan keluargaku. Mungkin aku saja yang tidak bisa menghargai ibuku.
Yah. Suatu hari nanti pasti aku akan menjadi ibu. Inilah satu-satunya cara menyadarkan otak bebalku bahwa mengabdi tanpa protes dan tanpa pamrih itu wajib bagi seorang anak.
Mengapa? Karena tentu saja aku tidak ingin punya anak yang pemalas dan keras kepala seperti aku saat ini.
Jika ditanya, ingin anak seperti apa aku kelak. Aku dengan yakin menjawab, aku ingin anak yang penurut kepada orangtua, menghormati kepada orangtua, bersikap manis dan santun kepada orangtua dan orang lain, serta humoris yang tidak kelewatan.
Nah. Itu lah keinginanku yang begitu menggelegak. Kesadaran manusia normal pasti akan tergelitik manakala dihadapkan pada impian yang sebesar itu. Dalam hubungan ibu dan anak pun berlaku hukum sebab akibat, karma dan simalakama.
Jika aku tetap begini, tidak menjadi begitu, maka dapat dipastikan anakku kelak akan begini. Bahkan tidak dapat dipungkiri bisa jadi lebih buruk moralnya. Amit-amit.
Jadi, mulai sekarang, dengan saksi tulisan ini, ada beberapa poin yang akan mulai kuubah atas dasar latar belakang yang bertele-tele di atas.
Pertama, aku akan rajin membersihkan rumah. tanpa disuruh. Tanpa perlu berkata nanti-nanti. Tanpa perlu melempar tanggungjawab kepada kakakku. Tanpa perlu mengeles dan bersilat lidah.
Kedua, aku akan rajin beribadah. Wajib dan sunnah. Di keluargaku dari kakek buyut sampai cucu cicit, anak yang paling membanggakan dan disayang adalah anak yang alim, rajin ibadah, serta santun. Tentu saja niatanku memperbaiki kualitas ibadahku bukan demi meningkatkan pamorku di mata keluarga besar, namun semata-mata ingin berubah menjadi lebih baik. Oke. Alasan klise memang, tapi memang hanya itu saja alasannya.
Ketiga, aku ingin belajar memasak. Omaigoooottt. Aku ini orang yang paling bodoh urusan dapur. Membedakan merica, ketumbar, dan lain-lain istilah perbumbuan pun aku masih kagok. Mengulek pun aku tak becus. Menggoreng pun sering gosong. Merebus pun sering sampai asat. Bisa terjadi prahara nantinya di kehidupan rumah tanggaku kelak jika aku masih begini. Kata orangtua di desa-desa dahulu, istri tuh dicintai suaminya karena masakannya. Olala. Aku harus mulai mengintervensi dapur sejak sekarang.
Keempat, aku ingin belajar kedokteran semaksimal mungkin. Tentu saja karena sekarang aku kuliah di kedokteran. Jadi sudah menjadi protokol yang retoris, mahasiswa kedokteran belajar bidang kedokteran. Di sini mengapa kutekankan, agar aku tidak melenceng. Tidak tergoda oleh iming-iming ehem, cinta sebelum waktunya mungkin? Hehehehe. Oke. Sepertinya aku sudah tergoda. Kita bahas nanti. Aku harus menenggak sebanyak mungkin samudra keilmuan hingga saatnya kelak dapat kuterapkan dalam koridor jas putih yang telah legal secara hukum.
Kelima. Oke. Kuputuskan lima dulu lah targetku. Ini target terakhir. Apa ya. Cinta. Hehehehe. Aku ingin membahagiakan teman-temanku tercinta, dan orang-orang yang jabatannya bukan temanku namun juga kucintai. Aku ingin memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan. Hak. Kewajiban. Truth. Humanity. Rights. Duty. Waawww. . itu target yang sangat luas. Tapi sejajar dengan target-target yang lain, kok. Karena terlalu sering saja aku mendengar empat target pertama, jadi terasa biasa, sepele, atau malah disepelekan? Kelima ini, cinta. Aku akan memperjuangkan cinta. Cinta kepada semuanya. Karena cinta, aku memberi. Karena cinta, aku berkorban. Karena cinta, aku tertawa. Karena cinta, aku berduka. Karena cinta, aku bahagia.
Kusebut lima hal di atas, five turning points of darkannarchy’s stupid life. judul yang cukup panjang. Kusingkat FTPDSL. Ef Te Pe De Es El. Ups. Salah. Harusnya kalo pake ejaan kemlinggis jadi Ef Ti Pi Di Es El.
Tertanda,
Estianna Khoirunnisa
(Tiba-tiba ada backsound. Krik. . Krik. . Krik. .) dan penulis dilempari tomat busuk.

The End



Wow. Empat notes ku begitu, ehem, dark??
Gelap. Kelam.
Atau malah melankolis?
Aku sedang sakit jiwa rupanya. Yang aku bahas melulu soal putus cinta. Ah, aku sudah terlalu sering merasakan putus cinta. Dan tentu saja, jika sering putus cinta, aku pasti sering merasakan jatuh cinta. Tapi, rasanya, mengumbar perasaan jatuh cinta adalah tindakan yang tabu dan memalukan.
Cerita dan kisah tentang tragedi putus cinta akan lebih dinikmati publik. Dan cinta yang dibumbui intrik pengkhianatan, bunuh-membunuh, tikam-menikam, menempati puncak rating dengan peminat terbesar.
Siapa bilang? Aku.
Hehe.
Entah mengapa, menulis kisah putus cinta itu lebih menyenangkan buatku. Karena, perasaan putus cinta itu sama saja. Sedih. Duka. Air mata berderai-derai.
Tapi, perasaan jatuh cinta itu tidak sama setiap kali aku jatuh cinta. Rasanya, ehem, xxx yyy zzz bla bla bla ting tong!
Nah, tidak perlu kudefinisikan. Daripada pembaca bosan dan kecewa.
Hehe.
Ah. Bagaimana ya, dilematis sekali.
Uke. Sekilas info. Hari ini aku progress test. Dan sejak semalam semangatku telah menguap tak tahu rimbanya. Yah, cukup silang indah saja. Eh, salah. Cukup asal klik aja.
Aneh. Dalam hidupku, aku menemukan orang yang secara alamiah bisa membuatku berduka. Hebat sekali kemampuan orang ini. secara tidak sadar, dia bisa membuatku bersedih, menangis, dan merasa buruk.
Kalo aku mengadakan voting, harus kuapakan orang ini, kira-kira ada yang mau nge-vote?
Hehe.
Sayangnya pilihan jawabannya tidak ada. Jadi anggap saja pertanyaan terbuka.
Oke. Terima kasih atas perhatiannya.

5:57 waktu laptop.
Singgasana emas.



Tangisan pilu memecah tengah malam. Meratap-ratap. Memohon-mohon. Kuselidiki, siapa yang sedang menangis, dan untuk apa dia menangis, serta kepada siapa dia menangis. Aku, hansip kampung ini, tidak asing lagi dengan suara ini.
Aku berjalan pelan-pelan, jangan sampai membangunkan bahkan semut yang sedang terlelap. Lalu, sampai di depan pintu rumah. aku berjalan ke salah satu jendela kamarnya. Lalu aku terhenyak, terpaku, menyimak.
“Tuhan. . tolong kembalikan dia. . Tuhan. .”lalu disela sedu sedan tak henti-henti.”Tuhan. . anak-anakku butuh makan. . anak-anakku butuh hidup normal. . anak-anakku butuh dia. .”
Lalu terdengar sedu sedan lagi.
Sepertinya si wanita itu berdo’a dalam sepi. Dia tidak berkata-kata lagi. Tangisannya putus-putus. Dan suaranya semakin serak hingga akhirnya habis. Airmatanya aku yakin pasti sudah mengering sejak dulu.
Ya. Betapa kasihan sekali nasibnya. Menurut pendapatku, sebaiknya dia cari suami baru saja alih-alih meratapinya tiap malam. Sungguh kurang kerjaan sekali.
Atau mungkin dia mau kunikahi?
Ah, tidak perlu bahas ide itu. Sudah basi. Dia tidak akan bergeming. Yang ada di pikirannya hanya suaminya yang tidak bertanggungjawab itu. Ingin kucincang dan kugorok lehernya kalau aku bertemu muka dengannya.
Wanita itu konon ditinggal suaminya begitu saja. Setelah sepuluh hari menikah. Dan diketahui si wanita itu telah mengandung anak si suami tidak punya perasaan itu. Ya. Lahir lah kembar tiga.
Aku tidak terlalu ingat nama ketiganya. Yang pasti, mereka bertiga adalah wanita pula. Cantik-cantik parasnya.
Ah. Kasihan sekali wanita itu. Sepuluh hari, bayangkan, hanya sepuluh hari. Ah. Aku jadi ikutan pusing nanti. Sudah. Lupakan saja.

23:03 waktu laptop
Singgasana emas.





Detik ini, orang yang paling ingin kulupakan adalah dia. Aku menghadap jendela. Tengah malam. Yang ada hanyalah bintang-bintang yang tersenyum penuh pengertian. Vega-nya Lyra, Altair-nya Aquila, dan Antares-nya Scorpio, seolah-olah melambai-lambai dan berbisik,”hapuskan air matamu. .kami akan melipur dukamu. .”
Aku jengah. Merasa terkadang tertipu. Walau lebih sering aku terpikat. Namun, didukung suasana hati yang kelam, kali ini aku memilih membalikkan badan, bersiap menutup jendela, ketika di langit melintas komet Halley. Aih. 76 tahun sekali. Beruntungnya aku.
Huah. Geje banget. Aku lagi terserang penyakit stress dan autis yang digabung membentuk penyakit melankolis yang senang memikirkan hal-hal geje. Hei. Hei. Bagaimana bisa aku merasa kehilangan padahal aku memang tidak memiliki apa-apa?
Bagaimana bisa aku terluka, padahal aku tidak memiliki perasaan?
Seperti inilah definisi orang stress. Merasakan yang wajarnya tidak dirasakan orang lain. mengangankan yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia seorang pun di muka bumi, ya kecuali orang stress ini.
si orang stress ini tidak tahu makna hidup. Kerjaannya hanya memikirkan satu titik hitam, yang besar, namun terkadang mengerut, dan dari dalam lubang hitam itu keluar benda aneh berbentuk mirip segitiga dan berwarna darah.
Entah mengapa, benda itu membuatnya selalu, dan pasti mengucurkan air mata. Apakah di kehidupan sebelumnya dia mengalami kisah tragis dan menyakitkan dengan benda itu?
Si orang stress lalu melukis. Yang dilukisnya adalah kaca mata. Yang pecah. Yang hancur. Yang bobrok. Tergenang darah.
Lalu dia merinding. Diraihnya lukisan itu, lalu dengan kalap, disobek-sobeknya, dihancurkannya, diinjak-injaknya.
Lalu dilemparkannya ke langit. Dia merasa lebih baik.

5:36 waktu laptop.
Singgasana Emas.





Detik ini, orang yang paling ingin kulupakan adalah dia. Aku menghadap jendela. Tengah malam. Yang ada hanyalah bintang-bintang yang tersenyum penuh pengertian. Vega-nya Lyra, Altair-nya Aquila, dan Antares-nya Scorpio, seolah-olah melambai-lambai dan berbisik,”hapuskan air matamu. .kami akan melipur dukamu. .”
Aku jengah. Merasa terkadang tertipu. Walau lebih sering aku terpikat. Namun, didukung suasana hati yang kelam, kali ini aku memilih membalikkan badan, bersiap menutup jendela, ketika di langit melintas komet Halley. Aih. 76 tahun sekali. Beruntungnya aku.
Huah. Geje banget. Aku lagi terserang penyakit stress dan autis yang digabung membentuk penyakit melankolis yang senang memikirkan hal-hal geje. Hei. Hei. Bagaimana bisa aku merasa kehilangan padahal aku memang tidak memiliki apa-apa?
Bagaimana bisa aku terluka, padahal aku tidak memiliki perasaan?
Seperti inilah definisi orang stress. Merasakan yang wajarnya tidak dirasakan orang lain. mengangankan yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia seorang pun di muka bumi, ya kecuali orang stress ini.
si orang stress ini tidak tahu makna hidup. Kerjaannya hanya memikirkan satu titik hitam, yang besar, namun terkadang mengerut, dan dari dalam lubang hitam itu keluar benda aneh berbentuk mirip segitiga dan berwarna darah.
Entah mengapa, benda itu membuatnya selalu, dan pasti mengucurkan air mata. Apakah di kehidupan sebelumnya dia mengalami kisah tragis dan menyakitkan dengan benda itu?
Si orang stress lalu melukis. Yang dilukisnya adalah kaca mata. Yang pecah. Yang hancur. Yang bobrok. Tergenang darah.
Lalu dia merinding. Diraihnya lukisan itu, lalu dengan kalap, disobek-sobeknya, dihancurkannya, diinjak-injaknya.
Lalu dilemparkannya ke langit. Dia merasa lebih baik.

5:36 waktu laptop.
Singgasana Emas.



Yah. Aku bukannya ingin meniru-niru kisah gadis buruk rupa dan saudara-saudara tirinya di suatu negeri antah berantah dahulu kala. Ini kisah saat ini, detik ini, di zaman milenium.
Si gadis buruk rupa, selain buruk penampilannya, buruk pula adatnya. Kerjanya hanya mondar-mandir layaknya besok akan kiamat, dan sia-sia saja melakukan sesuatu yang akan berbuntut panjang dan hanya menerbitkan rasa berat meninggalkan kehidupan maya ini.
Dia selalu mondar-mandir. Tak tentu arah. Bisa satu meter, lalu berbalik lagi. Kadang juga berkilometer-kilometer, lalu kembali ke sarangnya larut malam.
Si gadis buruk rupa setiap hari demikian kelakuannya. Lalu suatu hari, di awal Juli malam hari, ketika bulan menampakkan raut muka tersipu-sipu, dan bintang-bintang, entah itu alfa centaurus, rigil centaurus, atau antares si merah milik scorpio menampakkan diri, dan tampak pula paduan zubenelgenubi – zubeneschamali kepunyaan libra, si gadis buruk rupa berada di luar, sedang menghitung langkah ke seratus hampir akan berbalik ketika dilihatnya seorang makhluk yang membuatnya terpana.
Ya. Matanya kelam. Bulunya hitam. Halus. Ekornya panjang. Eongannya merdu. Si gadis buruk rupa langsung jatuh cinta.
Makhluk ini, mendekat malu-malu. Penuh perhitungan dan penuh rayu. Meski langkahnya syahdu, setelah ditelusuri ternyata kucing itu berjenis kelamin laki-laki. Oh, lengkap sudah kebahagiaan si gadis buruk rupa.
Didekatinya si kucing perlahan. Tapi, si kucing mengelak. Mundur, bersembunyi di rimbunan alang-alang. Si gadis buruk rupa tak patah semangat. Berganti malam, ketika mengulangi langkahnya yang serupa seperti biasa, dibawanya makan malamnya yang biasanya tak rela disisakannya barang sebulir nasi. Tetapi kali ini, karena cintanya, dipersembahkannya makan malam penuh cinta itu untuk si kucing.
Begitu terus setiap malam. Hingga malam kesepuluh. Ketika itu tengah malam. Si gadis buruk rupa mencari-cari kucing yang menjadi sandaran hatinya.
Dipanggil-panggilnya si kucing itu. Dilembut-lembutkan suaranya. Hatinya keruh tak karuan. Padahal perutnya pun keroncongan, namun makan malam yang hampir mendingin itu belum juga disentuh oleh kucing hitam itu.
Si gadis buruk rupa terus memanggil. Hingga suaranya parau. Hingga airmatanya tak sadar bergulir satu-satu, menggenangi nasi pindangnya, membuatnya serupa bercampur kuah.
Si gadis buruk rupa terus dan terus mencari. Menyibak alang-alang tempat si kucing selalu bergeming menunggunya membawa makanan. Tempat janjian mereka setiap malam dalam alunan angin dan wangi bumi, serta gesekan biola alang-alang yang romantis.
Olala. Si gadis buruk rupa tampaknya harus memunguti serpihan hatinya yang hancur jadi bubur. Si kucing itu kini bergelung di pangkuan saudara tirinya. Saudara tirinya yang cantik jelita. Saudara tirinya yang senyumannya menaklukkan dunia. Saudara tirinya yang pakaiannya wangi dan gemerlapan bertahtakan berlian. Sementara dia hanyalah si gadis buruk rupa.
Menggigit bibir, si gadis buruk rupa melangkah menjauh, ditelan kegelapan. Biarlah, katanya lirih. Biarlah cinta ini berkorban. Biarlah. Apalah artinya sepuluh malam ini. Jika memang hatinya tidak terpaut pada si gadis merah. Mau apa dia? Menuntut? Pada siapa? Si kucing? Tidak ada aturan seperti itu. Yang ada nantinya si gadis merah akan dihujat, karena negeri ini telah merdeka. Mana mungkin pemaksaan perasaan masih diperbolehkan.
Ataukah si gadis buruk rupa harus menimpakan kesalahan pada Tuhan? Yang menciptakan cinta ini hanya separuh. Dan menciptakan hati ini hanya satu. Dan membebankan buruk rupa padanya. Sungguh tidak pantas pula perilaku demikian.
Dan si gadis buruk rupa terus melangkah. Entah ini akan membawanya kembali atau tidak. Merelakan si kucing pujaan hatinya bersama saudara tirinya adalah suatu cinta, si gadis buruk rupa menghunjamkan kata-kata itu berkali-kali ke ulu hatinya.
Cinta. Cinta. Dan cinta. Dia tidak terluka. Dia hanya berdarah-darah. Darah mengucur dari sekujur tubuhnya. Matanya, berupa air mata darah. Peluhnya pun berwarna merah. Dan dia masih memapah hatinya yang menjadi bubur yang mengucurkan darah dari sela-sela jarinya. Cintanya kepada si kucing hitam yang tertinggal di belakang. Cintanya. Asalkan cintanya meraup canda dan rona bahagia.

22:49 Waktu Laptop kemarin
Singgasana Emas


Cinta. . hm. . sepertinya cinta itu yah, gatau lah.
oke. semakin dewasa, ak menjadi semakin menggunakan akal sehat. hehe. dan ak memang benar-benar mengartikan jaman dulu aku sama sekali "insane". gila
yah, untung saja jalan dan takdir itu sudah diplotkan oleh Yang Kuasa. dan untung saja aku tidak melenceng terlalu jauh dan terlalu lama.
untung saja.
beruntung sekali rasanya aku dan hidupku. dikelilingi aroma kebahagiaan, kecukupan, dan kesuksesan.
dan sekarang, dikelilingi cinta. cinta. dan cinta.
tak perlu kudefinisikan bagaimana cinta akan datang. atau bagaimana cinta akan berproses. bahkan bagaimana cinta akan berakhir.
karena tidak akan ada cerita cinta yang benar-benar serupa satu sama lain.
dan menceritakan cinta pun tidak akan bermanfaat karena tidak dapat dijadikan referensi.
dan, hidup akan lebih bermakna jika kita niatkan untuk cinta. cinta kepada-Nya. cinta kepada orangtua. cinta kepada kakak. cinta kepada adik. dan cinta kepada cinta itu sendiri.
setiap langkah adalah cinta. setiap tarikan napas adalah cinta. setiap senyuman adalah cinta.
dengan berpikir demikian, rasanya setiap detik akan menjadi bermakna.
setiap detik akan menjadi saat-saat yang produktif.
yah. apa sih yang kubicarakan ini. sungguh tidak ada, tidak ada apa?

yup. mengomentari detik ini saja lah. musik. rasanya mendengarkan lagu indonesia yang bertema cinta membuatku muak.
dan televisi yang begitu tidak ada kerjaan hingga menampilkan acara-acara murahan bertema cinta.
sebenarnya sangat disayangkan sekali. justru penikmat televisi kebanyakan adalah orang desa, atau orang pinggir kota seperti di dusunku.
dan jika orang-orang televisi dan artis-artis itu mengetahui dampak mereka ke negeri ini, mereka pasti akan. pasti akan apa ya? minta maaf? mana mungkin.
dusunku, karena pengaruh media brengsek itu menjadi hancur. generasi mudanya sangat sedikit yang bisa diharapkan.


orang-orang terpelajar lebih memilih minggat dari sini. dan menyisakan bangkai-bangkai dibalut tulang dan daging.


insyaAllah aku akan tetap tinggal.


Adikku, lagi-lagi mendesak ibuku. Menanyainya dengan lugas,”Ibu, mengapa ayah tidak ada?”

Aku hampir tertawa. Adikku yang bodoh. Dari kamar aku hanya mendengarkan. Menunggu jawaban fantastis apa lagi yang akan dilontarkan ibuku.

“Ayahmu sedang ke pulau yang jauh,”dulu sekali ibuku menjawab pertanyaan adikku. Berganti tahun, adikku terus bertanya,”Ibu, mengapa ayah tidak hadir di antara kita?”

Lalu, ibuku menjawab,”Ayahmu sedang terapung di tengah lautan. Pemerintah sedang sibuk menangani pemberontakan di mana-mana, dan tidak sempat mengurusi ayahmu.”

Lalu, beranjak tahun, adikku kembali bertanya, sekarang dia sudah kelas 6, dan ibuku sudah tidak ada alasan untuk mencari-cari alasan lagi.

“Ayahmu pergi. Mungkin memang benar dia ke sebuah pulau nun jauh di sana. Atau bisa jadi dia terapung selamanya di atas lautan dan dilahap hiu.”

Ibunya menghela napas, lalu menaikkan satu alis, seperti yang biasa dilakukannya untuk mengatakan,”Yah mau gimana lagi.”

Adikku, terdiam sesaat, lalu menyeletuk,”Aku lebih suka kemungkinan yang kedua, Ibu.”
Aku tertawa dari dalam kamar. Lalu keluar, dan memeluk dua sandaran hatiku.”Sudah, sudah. Siapa pun bisa menjadi ayah dan ibu.”

Ibu mengangguk. Mengusap air mata. Mengenang, dulu sekali, dua puluh tahun yang lalu, ketika cinta begitu menggelegak, hingga akhirnya mereka menikah meski perbedaan kasta saat itu merupakan hal yang sangat tabu untuk dilanggar.

Di suatu mushala yang sempit, dengan syahdu, dan gaun yang dijahit sendiri oleh Ibu, mereka menikah. Mengaitkan cincin emas yang bertahtakan berlian. Tentu saja, meski ini pernikahan yang sangat sederhana, Haidar, tetap mengusahakan mengadakan cincin termahal untuk ibuku, Fayruzia, dengan menjual harga dirinya, memohon kepada ayah kandungnya sendiri.

Ya. Mungkin saat itu cinta memang menjadi pengait dan semangat mereka. Membina rumah tangga, lima tahun lamanya, dengan bahagia. Hingga akhirnya, di pagi yang buta, Ibu meraup adikku yang masih merah dengan panik, membangunkan tidur pulasku, lalu setengah berlari meninggalkan kontrakan kami, bersama Ayah yang tampak pucat mengikuti di belakang.

“Fa, segera tinggalkan kota ini. dan naik perahu ini,”kata Ayah kepada Ibu saat itu. Raut mukanya terlihat sangat lelah. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Lalu ayah membimbingku naik perahu, menciumku di kening, lalu mengangkatku ke atas sekali.”Putri Ayah, jaga ibu dan adikmu, ya. Suatu saat kita akan bertemu.”

Lalu kami bertolak. Menuju suatu pulau antah berantah. Meninggalkan segala macam peradaban manusia, dan terombang ambing merintis kehidupan baru di sebuah pulau terpencil.

Ya. Mungkin cinta lah yang membuat ibu tetap bertahan. Setiap hari meniti hutan yang belum terjamah, lalu memunguti makanan untuk kami, anak-anaknya yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Lalu, satu minggu kemudian, seorang kurir datang, bersama beberapa tukang, lalu membangunkan kami rumah yang sederhana.

Entah, mungkin inilah bentuk keberadaan ayah yang masih hidup nun jauh di sana. Lalu secara berkala, datanglah beragam fasilitas, peralatan memasak, dan dipan serta lemari. Selama berbulan-bulan demikian, hingga akhirnya terjalinlah semacam hubungan kekeluargaan dengan para kurir yang secara bergiliran dikirim ke pulau.

Ketika memasuki usia sekolah, beragam fasilitas untuk belajar juga dikirim. Hingga akhirnya aku harus melanjutkan sekolah di luar pulau kecil itu. Meninggalkan dua belahan hatiku sendirian.
Setiap pukul tiga dini hari kami telah mendayung, menuju pulau terdekat. Ibu akan bekerja sebagai guru, sementara aku dan adikku sekolah. Begitu berjalan setiap hari. Dan kami akan kembali pulang pada pukul 8 malam. Kami telah mematikan harapan akan keberadaan ayah di antara kami.

Karena harapan itu sangat-sangat mustahil. Suatu hari, ibu kedatangan salah satu kurir. Dia berkeringat dingin dan pucat. Rupanya, dia membawa kabar dari seberang. Sebuah kertas bermotif mawar merah, tertera nama dua manusia dengan tinta emas, dibubuhi dengan pita putih yang mengikatnya. Ibu langsung gemetar. Lalu jatuh terduduk di lantai dengan tangis memilukan. Bahkan sebelum membuka surat itu, ibu sudah tahu isinya.

Ya. Selama ini kami dan ayah tidak pernah berkomunikasi. Pun tidak sepucuk kata pun yang dititipkan ayah untuk kami. Yang kami tangkap dari kesan para kurir, ayah menyelundupkan kami ke pulau ini untuk menyelamatkan kami dari amukan orangtua ayah. Dan ayah tidak ingin menitipkan kata-kata karena ayah tidak tahan memikirkan kami yang sengsara dan merindukan kami.

Namun, kenyataannya? Sekarang ayah akan menikah. Apakah maksud semua ini, Ayah? Pernah suatu hari aku berdialog dengan bintang-bintang, mengandaikan salah satunya adalah bintang jelmaan ayah yang akan menjawab semua rasa ingin tahuku.

Lantas, pagi harinya, ibu memutuskan untuk meninggalkan pulau itu. Meninggalkan semua kenangan pahit itu. Saat itu adikku berusia tiga tahun. Kami pergi tanpa permisi, karena memang tuan rumah tidak akan peduli. Kurir-kurir itu akan datang lagi seminggu kemudian, dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk pergi dari pulau terkutuk ini.

Kami mendayung. Dan mendayung. Meninggalkan semua kenangan pahit. Meninggalkan semua harapan palsu, dan dusta dari segala macam bentuk perhatian ayah.

Kami memulai segalanya dari nol. Ibu memiliki cukup tabungan untuk membeli rumah kecil di dekat kompleks sekolahku dan adikku. Lalu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, hidup kami berlanjut seperti biasa. Hingga detik ini, saat adikku sudah cukup dewasa untuk menelan racun pahit keluarga kami.

Ya. Kisah ini bukan kisah cinderella. Bukan pula kisah puteri tidur. Kisah ini hanyalah satu potong dari sekian juta serpihan kisah serupa di dunia ini. sekarang, kami bisa menerima, bahwa ibu kami adalah ayah kami juga. Samar-samar aku masih mampu mengingat raut wajah ayah, ketika bercengkerama dengan kami dulu. tapi manusia tidak selamanya ingat bukan? Mungkin begitu pula ayah. Sekarang, kami sudah bahagia. Mampu menerima dengan lapang dada. Dan di akhir minggu, rekreasi yang paling menyenangkan adalah pantai. Memandangi laut lepas, lalu sunyi. Ibu dengan pikirannya sendiri, pasti memikirkan ayah yang begini atau begitu. Aku pun terdiam, namun lebih sering memikirkan hidupku saat ini, sekolahku, dan kawan-kawanku. Sedangkan adikku, entahlah. Aku tidak paham dan tidak mampu mengira-ira isi otak anak kecil.



Singgasana emas, 2 Juli 2010 pukul 11:55 waktu handphone. 11:57 waktu laptop.

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .