twitter



Ilmu yang bermanfaat seperti air yang mengalir,
Tak ada putusnya, tak habis sepanjang masa

Aku mematung di hadapan papan pengumuman itu. Suasana lengang, jam kantor sudah berakhir, namun mataku tercenung membaca tulisan di kertas putih yang kusut itu. Ini dia, kesempatan yang selama ini kunanti-nanti. Namun bulir keringat itu akhirnya menjejak lantai, saat kueja kata-perkata, rupanya satu jam lalu pendaftaran sudah ditutup. Bahuku melorot, dan aku berjalan meninggalkan tempat itu dengan gontai.
Apakah begini saja? Aku bertanya pada diriku. Bahkan kesempatan itu tak sempat kucium baunya, tahu-tahu sudah lenyap. Kugali kepingan harapan di masa lalu, ketika aku selalu terpukau setiap kali menghirup kerasnya bau formalin yang menguar dari potongan daging telanjang di hadapanku. Aku datang dengan keingintahuan yang selalu terpuaskan oleh penjelasan detail dari para asisten. Aku datang dengan kebodohan yang terhalau jauh-jauh setiap selesai praktikum anatomi.
Di sinilah aku sekarang, sebagai mahasiswa tahun keempat yang berharap dapat membalas jasa-jasa pengajarku dahulu. Aku ingin mengajar. Aku ingin bertutur seperti seorang pendongeng yang menggerakkan hati dan pikiran pendengarnya. Tanganku meraih telepon genggam yang tersembunyi di dalam saku tas gendongku. Setengah putus asa aku mengirim pesan panjang lebar kepada beberapa orang yang aku tahu, dokter-dokter yang dahulu pernah mengajarku. Inilah usaha terakhirku, tekadku.
Dokter, maaf mengganggu. Saya Estianna, Pendidikan Dokter 2009. Saya ingin mendaftar sebagai asisten anatomi, namun rupanya pendaftaran sudah ditutup. Apakah tidak ada perpanjangan waktu lagi? Terima kasih.
Sebuah nomor membalas pesanku dengan ramah,”Maaf, saya kurang tahu mengenai pendaftaran. Coba hubungi penanggungjawabnya.”
Dari waktu ke waktu, semuanya menanggapi dengan jawaban serupa. Namun di penghujung hari terdapat jawaban yang membesarkan hati.”Silakan Dek. Dikumpulkan saja besok pagi.”
Seketika aku memekik bahagia. Aku sedang memasuki kesempatan itu, dan akankah sampai di sini saja?
@@@
       Hidup itu benarlah seperti tangga, setiap detiknya menentukan tingkatan posisi kita. Seperti saat ini, aku sedang berada di ujung tangga, dan hasilnya akan menentukan apakah aku dapat menjejak dengan mantap ataukah terpaksa menggelinding jatuh. Aku memandangi papan tulis hitam di hadapanku. Sementara itu tanganku saling meremas dengan gelisah. Lihatlah di sekitarku dua puluh mahasiswa dengan kualitas terbaik, sementara aku, detik demi detik dihimpit perasaan khawatir dan rendah diri.
       Beragam pikiran berkecamuk dalam benakku. Ketika giliranku tiba, detak jantungku berderap seperti kuda balap. Entahlah, aku hampir melupakan semua yang kupelajari. Kegugupan ini benar-benar egois, bahkan aku menjelaskan tanpa berpikir benar atau salah. Satu-satunya hal yang kuingat adalah, kenangan ketika mendengarkan penjelasan asisten. Dan sebisa mungkin aku berusaha untuk menampilkan kenangan itu.
       “Baik, saya akan menjelaskan mengenai tengkorak atau cranium. Cranium terbagi menjadi dua, yang atas ini disebut calvaria,”ujarku sembari mengacungkan tangan kananku yang memegang calvaria.”Sedangkan yang ini disebut basis cranii.”
       Lama kemudian aku masih berkutat dengan tulang-belulang itu. Lima menit yang diberikan ternyata terasa sangat lama. Aku hampir kehabisan bahan cerita, dan banyak hal mulai terlupa. Akhirnya tanda waktu habis pun berbunyi. Tidak, aku yakin sekali saat itu penampilanku bukanlah yang terbaik. Aku merasa terjatuh dalam jurang yang tak bertepi. Benar-benar gagal rasanya. Mungkin sebagian perasaan ini muncul karena aku tahu bahwa nilaiku sama sekali bukanlah yang terbaik. Aku kembali ke tempat dudukku dengan lunglai.
       “Kamu tampak gugup,”temanku, Arisa berkomentar.
       Aku mengangguk, ya, aku pun merasa demikian. Pikiran rendah diri yang sejak awal kumiliki mewujud menjadi kegugupan yang sebisa mungkin kusembunyikan dalam suara lantangku tadi. Ah, banyak yang bilang seharusnya harapan sekecil apa pun tetap ada. Namun dalam hatiku, harapan itu sudah pupus. Lihatlah, belasan orang yang memiliki IPK lebih baik dariku, padahal kesempatan yang ada hanya untuk delapan orang, tentu dari situ saja aku sudah kalah.
Aku memandang langit sore itu, gelap. Segera kutepis semua perasaan yang berkecamuk hari itu dan beranjak pulang. Mungkin Tuhan memiliki rencana lain.
@@@
       Ibu sudah pulang rupanya. Gemuruh guntur susul menyusul, dan langit gelap, seolah memendam beban berat yang belum dicurahkan. Tak lama kemudian hujan deras mengguyur rumahku. Ya. Rumahku yang selalu menjadi tempat berteduh, namun di kala hujan, aku harus bergegas memasang ember-ember untuk menadah air yang menyelinap dari atap. Aku menghampiri ibuku yang sedang berbaring, dan kuceritakan pada ibu,”Tadi aku seleksi microteaching anatomi Bu. Penampilanku rasanya sangat buruk.”
       Ibu mengangguk-angguk, sebagai guru, tentu ibuku paham bagaimana rasanya mengajar. Dan Ibu pun mulai bercerita,”Pertama kali mengajar di depan murid, Ibu juga merasa gugup. Tapi sebisa mungkin ibu menyampaikan apa yang Ibu tahu. Lagipula, segala sesuatu tak melulu dinilai dengan menang atau kalah. Kamu sudah mencoba, dan itu menjadi pengalaman berharga yang tak dimiliki orang lain.”
       Aku tersenyum, sedikit terhibur. Setidaknya aku adalah anak ibuku, dan rasanya aku sudah berusaha sebisaku untuk menyampaikan apa yang kuingat.
       Ibu melanjutkan,”Ibu tak masalah apabila kamu menjadi asisten atau tidak. Kamu sudah menjadi mahasiswa kedokteran saja Ibu sudah bahagia. Karena selama ini banyak yang meremehkan Ibu, bisakah Ibu menyekolahkan kamu hingga seperti ini? Dan Ibu juga sering bertanya, bisakah Ibu? Lihatlah, kenyataan melampaui pikiran Ibu, dan juga melampaui pikiran orang lain. Karena Ibu selalu berdo’a dan bermimpi untukmu.”
       Aku mengusap air mata yang menggenang. Lalu kubisikkan pada hatiku untuk menelisipkan sedikit do’a dan harapan agar hasil seleksi tadi menjadi lebih baik.
@@@
       Satu minggu berlalu, aku sudah hampir melupakan seleksi anatomi yang ternyata diumumkan hari ini. Tiba-tiba saja, Arisa yang kemarin ikut seleksi bersamaku mendatangiku dan menyalamiku. “Selamat ya.. Kamu diterima sebagai asisten anatomi.”
       Aku terkaget-kaget. Benarkah? Ibu benar rupanya, do’a dan harapanku terkabul. Hatiku penuh dengan sukacita. Ternyata tak ada gunanya memandang rendah pada diri sendiri meski nilai jelek atau penampilan terasa kurang. Karena penilaian itu sesungguhnya datang dari orang lain. Jadi, percaya dirilah, maka hasilnya pasti akan lebih baik jika kita percaya diri, dibandingkan jika merasa rendah diri.
       Tak terasa beberapa hari setelah pengumuman itu aku mulai mengajar. Sobotta yang hampir satu tahun teronggok tak berdaya kini mendekam dalam tasku. Jemariku menelusuri dinding lorong yang dingin dan lembab. Bau formalin mulai masuk ke dalam rongga dadaku. Setiap langkah aku berbisik pada diriku, aku pasti bisa. Dan beberapa wajah adik kelas yang berpapasan denganku menyunggingkan senyum lalu menyapa, “Mari Dok..”
       Hatiku membuncah bahagia. Panggilan itu, panggilan yang salah, namun aku menikmatinya. Tapak kakiku memasuki ruangan asisten yang telah dipenuhi oleh dokter-dokter. Awalnya aku masih merasa kikuk ketika berinteraksi dengan dokter-dokter itu. Namun perlahan-lahan, setelah bersama beberapa lama suasana mulai mencair. Panggilan dokter yang dahulu selalu kupakai, mulai tergantikan dengan panggilan “Mbak” atau “Mas”. Aku merasa memiliki kakak-kakak yang mengajariku dengan sabar dan baik hati.
       “Kamu turun ya,”ujar Mas Dito,”Aku mau jadi admin dulu.”
       Aku mengiyakan. Semalam aku sudah belajar hingga terkantuk-kantuk. Aku mendatangi sebuah meja yang dikelilingi sembilan mahasiswa. Tiba-tiba ada panggilan dari meja sebelahnya,”Sini saja Dok, sini saja.”
       Aku tersenyum. Kemarin memang aku mengajari mereka, dan senang sekali melihat tanggapan mereka yang antusias mengharapkanku untuk kali kedua. Lalu aku menyambut panggilan mereka,”Okee..”
       Begitulah, siapa sangka nilai tinggi ternyata bukan jaminan diterima menjadi pengajar. Dan siapa sangka sebenarnya nilaiku biasa saja, bukan yang terbaik. Seperti keajaiban kan? Semoga ini dapat menjadi batu loncatan di masa depan. Semoga ini dapat menjadi amal jariyahku yang tak putus-putus. Ada satu hal yang menarik selama menjadi asisten anatomi. Semua mahasiswa belajar hanya berfokus pada pretest, padahal bukan itu esensinya. Laporan yang sempurna dan benar pun sebenarnya sangat penting. Banyak sekali kesalahan tulis pada laporan karena ternyata hasil menyontek. Selain itu, banyak keluhan bahwa anatomi seolah-olah tak mudah menempel di ingatan. Ya. Sebagai masukan, sebaiknya belajarlah dari modul praktikum yang dicocokkan dengan gambar-gambar di Sobotta. Hal itu akan membuat anatomi tak mudah terlupa begitu saja, karena memahami dan menghapal mentah-mentah adalah dua hal yang berbeda jauh.
Apakah sampai di sini saja? Tidak. Bagiku, impian itu seperti tembang yang harus selalu kudendangkan. Begitu pun dengan kalian, bermimpilah untuk hari ini. Bermimpilah untuk satu jam ke depan, untuk satu detik di depan mata. Karena harapan itu selalu ada. Lagipula usaha kita berbanding lurus dengan harapan, impian, dan do’a kita. Dan mimpi terbesarku adalah menjadi dokter yang mengajarkan ilmu, dan juga mengajarkan kebaikan. Apa impian kalian?
@@@



Saat itu dini hari. Jarum jam menunjuk ke angka dua dan bergerak detik demi detik. Aku masih berselimutkan alam mimpi, berlari-lari di antara indahnya pelangi dan bunga-bunga dengan aroma semerbak yang berwarna-warni. Tiba-tiba semuanya buyar oleh sentuhan dingin di ujung kakiku. Tangan itu benarlah tangan manusia. Aku langsung terduduk, dengan kepala yang sangat pusing karena belum sepenuhnya sadar.
“Ada apa?” gumamku. Pandanganku masih kabur karena sebenarnya aku baru tidur dua jam yang lalu. Dengan meraba-raba aku meraih kacamata yang ada di meja belajar. Rupanya tetanggaku, Pak Dirjo dan Bu Dirjo yang menggendong anaknya.
“Naufal demam dan ada bercak-bercak di kulitnya,”sahut Pak Dirjo dengan muka pias. Aku menyentuh dahi Naufal, dan memang demamnya cukup tinggi. Pantas saja ibuku mengizinkan mereka membangunkanku pada jam-jam segini.
Segera kuambil termometer yang ada di dalam kotak peralatan medisku. Lalu kusentuhkan pada dahi Naufal. Astaga! 38 derajat celcius! Aku memandangi Naufal, lalu menyapanya, mencoba mengajaknya berinteraksi sedikit. Untunglah ia masih sadar. Kemudian kuambil penlight dan kuarahkan pada wajah Naufal. Bercak di kulitnya tampak sangat jelas, memenuhi setiap jengkal kulit wajah dan lehernya.
Aku memutar otak sembari memeriksa kondisinya. Apa yang harus kulakukan di saat seperti ini? Gelar dokter pun belum kukantongi, dan statusku masih menjadi mahasiswa tahun ketiga. Saat itulah Ibu Dirjo menyodorkan bungkusan plastik kepadaku. “Mbak, selama ini, ini yang saya minumkan pada anak saya.”
Aku sedikit terkejut begitu membuka plastik itu. “Obat warung, Bu?”
Bu Dirjo mematung. Ia hampir membuka mulut ketika Pak Dirjo menyela,”Saya yang membelikan, Mbak. Saya kira obat itu bisa diminum siapa saja.”
Kepalaku bertambah pusing. Inilah masalahnya, dan sangat sering kujumpai. Keluarga semacam ini membutuhkan penjelasan, dan inilah satu-satunya yang mampu kulakukan sekarang, batinku.
“Mari Pak, Bu, kita berbicara di ruang tamu saja.”
Kami beranjak ke ruang tamu. Orang tuaku melanjutkan istirahatnya, sementara aku pergi ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka. Pak Dirjo sesekali memandangi anaknya dengan bulir-bulir keringat yang menetes satu persatu. Bu Dirjo mengusap dahi Naufal yang mengerang kesakitan.
“Begini Pak, Bu. Jadi sebenarnya awalnya Naufal kenapa?”
Bu Dirjo menjawab dengan suara bergetar,”Kemarin batuk-batuk dan demam. Kemudian saya beri obat itu tiga kali sehari. Tapi tiba-tiba muncul bercak kemerahan di tubuhnya.”
Aku mengangguk-angguk mendengarkan keluh kesah mereka. Rasanya sedih sekali. Kebanyakan orang yang aku jumpai tidak pernah memeriksakan keluhannya ke dokter, yang terpenting adalah obat. Dan bagi mereka, obat itu dapat berupa apa saja, asalkan pernah digunakan, dan pernah menyembuhkan.
“Sudah ke dokter, Bu?”tanyaku lembut.
Bu Dirjo berpandangan dengan suaminya. Lalu menjawab dengan lirih,”Kami takut, Mbak. Kami tak ada uang.”
Aku mencoba menatap mata mereka. Dan kutemukan rasa ketidakberdayaan itu. Tatapan-tatapan sendu cerminan negeri ini. Aku terlalu sering melihatnya, dan setiap kali mendapati pancaran mata itu, hatiku sakit. Apa yang akan aku lakukan kelak? Akankah mereka merasa tak berdaya di hadapanku? Akankah mereka takut aku merampas satu-satunya keping uang yang mereka miliki?
            Aku mengusap wajahku. Lalu terpekur beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan bicara. “Pak, Bu. Saya hanya bisa memberi saran, sebaiknya pagi ini juga Bapak membawa Naufal ke Puskesmas. Saya yakin keluarga Bapak dilindungi oleh asuransi kesehatan negara ini. Jadi Bapak tidak perlu khawatir mengenai biaya. Dan untuk kondisi Naufal, ada baiknya obat warung tadi jangan dilanjutkan. Kemungkinan obat itu kurang sesuai untuk Naufal. Sementara ini Ibu bisa memberi kompres hangat dan banyak air putih.”
            Aku memandang lurus ke matanya, dan mencari secercah harapan yang dapat kupegang. Kusentuh punggung tangan Bu Dirjo, lalu berkata dengan lembut,”Jika Tuhan mengizinkan, Naufal akan sehat seperti sediakala, Bu. Ibu cukup berusaha dan berdo’a yang banyak.”
            Bu Dirjo mengangguk. Tak lama kemudian pasangan itu pun undur diri. Bu Dirjo meremas tanganku sambil terisak,”Terima kasih Dek. Maaf mengganggu di saat seperti ini. Saya doakan semoga Dek Nisa bisa menjadi dokter yang mampu mengobati pasien-pasiennya kelak. Mampu menyembuhkan orang-orang yang sakit di masa depan..”
            Aku tersenyum.”Amiiin. Tetapi Ibu, saya tidak bisa memberikan kesembuhan. Saya bukan Tuhan. Tangan ini hanya perantara-Nya. Kesembuhan itu sempurna berasal dari Yang Di Atas.”
            Keluarga itu pun berpamitan lalu hilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian, aku tercenung dalam remang-remang lampu kamar. Hariku diawali dengan sebuah refleksi, akan jadi dokter seperti apakah aku kelak? Akankah aku mampu menaungi jiwa dan raga orang-orang yang menderita di sekitarku?
@@@
            Beberapa hari kemudian, Naufal sudah tampak ceria dan sehat seperti sediakala. Aku tersenyum sembari melambaikan tangan dari halaman rumah. Seperti biasa, setiap hari Rabu dan Sabtu aku menjadi asisten praktikum anatomi di kampus. Pagi ini pun demikian. Dinginnya udara pukul enam merasuki tulang dan membekukan bibirku. Embun menetes dari dedaunan yang menaungi jalan dan memburamkan kaca mataku. Ya, perjalanan ke kampus memakan waktu hampir satu jam, dengan menerobos hutan dan menjajaki kaki bukit yang masih perawan.
            Aku berjalan di sepanjang lorong gelap laboratorium anatomi. Tapak-tapak kakiku terpantulkan di sekujur dinding dingin nan lembab itu. Lihatlah di depan sana, bahkan ketika pintu belum dibuka, adik-adik kelas calon dokter itu begitu antusias untuk belajar. Mereka bergelosotan di lantai yang aku yakin sangat dingin dan kotor. Aku tersenyum ke arah mereka dan mempersilakan mereka masuk untuk memulai praktikum.
            “Selamat pagi, Adik-adik. Sekarang kita akan belajar praktikum anatomi ya. Sebelum praktikum, alangkah baiknya apabila kita berdo’a terlebih dahulu demi kelancaran pembelajaran kita. Setelah itu kita pretest ya. Berdo’a dipersilakan.”
            Setelah pretest, aku mendatangi satu meja yang dikelilingi beberapa mahasiswa. Antusiasme dan ketertarikan itu terpancar dari berpasang-pasang mata yang berbinar. Aku tersenyum bahagia. Lalu kupegang benda manusia yang telanjang di hadapanku dan memulai pelajaran dengan lantang,”Adik-adik, tahukah kalian betapa hebatnya organ ini? Mari kita pelajari bersama setiap bagiannya.”
            Aku menjelaskan setiap detail bagian dari otak manusia, dan seketika aku teringat akan kejadian Naufal dan keluarganya. Kemudian aku bertanya, kepada adik-adik kelasku itu.”Nah, sekarang ada kondisi, misalnya kalian sudah menjadi dokter, dan ada pasien datang tengah malam ke rumah kalian membawa anaknya yang kesakitan. Apakah kalian akan membantunya atau mengabaikannya?”
            Aku memandangi wajah-wajah polos itu satu persatu. Ada hal penting yang harus mereka tahu di samping semua hal berbau medis dan eksak. Inilah salah satunya. Sesuatu mengenai hati dan moral luhur. Dan aku memiliki andil untuk menyampaikannya. Tak berselang lama, seseorang yang duduk paling jauh dariku menjawab dengan lantang,”Membantu!”
Lalu jawaban yang sama susul menyusul. Aku tersenyum lebar, lalu bertepuk tangan.”Selamat! Ternyata kalian semua memiliki sistem limbik di otak kalian, dan rupanya berfungsi dengan sangat baik. Sistem limbik inilah yang berperan sebagai otak emosi, otak perasaan, seperti sedih, senang, takut, marah. Dan sistem limbik juga menghasilkan perasaan kasih sayang dan welas asih, seperti keputusan kalian pada pertanyaan saya tadi.”
            Dan praktikum hari itu berakhir dengan kelegaan karena aku berhasil menyampaikan pesan mulia itu. Sebagai mahasiswa kedokteran, aku pun terjun di kegiatan BEM dan organisasi kerohanian Islam. Selain itu, aku juga senang berbagi ilmu kepada teman maupun kepada adik kelas di laboratorium. Aku benar-benar memimpikan suatu saat kelak aku tak sekedar menjadi dokter, namun juga mampu mengajarkan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat. Aku ingin menjadi pendidik, yang mengajarkan nilai dan moral yang mulia. Aku ingin menjadi pelindung orang-orang lemah itu. Mencegah mereka dari kesakitan, menjauhkan mereka dari duka, dan menjadi perantara Tuhan untuk menyampaikan bahwa segala sesuatu ada penawarnya kecuali kematian. Dan satu lagi, aku akan melindungi keping-keping uang mereka, bukan malah merampasnya.
Apa impian kalian?
@@@


Banyak orang yang iri dengan para pedagang. Betapa banyak keuntungan yang mereka peroleh. Betapa banyak orang mendatangi dan membeli jualan mereka. Setidaknya itu pernah terbersit dalam pikiranku. Kenyataannya, setelah menjalaninya sendiri pagi tadi, persektifku berubah total. Berdagang itu bukan sesuatu yang mudah. Ada yang bilang berdagang adalah bakat. Ada yang bilang pedagang pasti untung besar. Yang kurasakan hanyalah kering dan hampa. Karena apa yang kupikirkan tidak semuanya benar. Minggu depan akan kucoba lagi berjualan. Akan kubuktikan bahwa berdagang yang baik itu bukan semata-mata bakat dari lahir. Semua butuh proses. Semua butuh usaha keras. Suatu hari aku ingin menjadi orang yang pandai menawarkan produk, sebagai pemilik suatu perusahaan dengan para pedagang didikanku yang handal. Amiiin

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .