twitter


Yaps.. sepertinya aku akan mulai bercerita, dan bercerita, dan bercerita. Istilah dalam dunia kegilaan sih logore, kakean omong. Nah, karena aku lagi galau, aku tumpahkan di sini. Maklum akal sehatku masih jalan, bahwasanya membuat status galau sama sekali ga membantu mengusir kegalauanku, adanya malah mengundang masalah baru.
So, kenapa aku galau?
Kenapa aku galau?
Kalo bole tanya sekali lagi, yah, kenapa aku galau?
Kejadian ini bermula dari waktu tak bertuan, negeri tak berantah, kapan itu dan di mana pertama kali aku mulai mengalami ini, aku sendiri tidak ingat. Aku cuma ingat, begitu banyak hari terlewat dengan emosi, dengan marah, dengan ngambek, yang akhirnya, luka. Kalo boleh nangis, aku pengen nangis lho sekarang. Tapi enggak ah, aku kan udah gede. Kasian juga kelenjar lakrimal penghasil air mata itu mesti kerja produksi air mata banyak yang akhirnya bikin duktus nasolakrimalisku kebanjiran. So, say no to cry.
Sebutlah ia adalah seorang pria. Namja. Zz. Guy. Dalam kelompokku ada eksistensi seseorang yang bikin emosi negatifku otomatis aktif. Again, I DON'T KNOW WHY. Sampe sekarang aku masih bingung. Aku suka dia mungkin?
Kayaknya nggak. Aku ga ngerasain layaknya orang jatuh cinta atau suka. Yang aku rasain kehampaan, kesedihan, pokoknya yang nelangsa-nelangsa gitu.
Aku cemburu sama dia mungkin?
Kayaknya enggak. Dengan beragam alasan, sepertinya kemungkinan ini enggak mungkin.
Lalu, aku terpikir, mungkin ini karena kebiasaan. Kami memang terbiasa bertengkar. Tak ada satu hari pun selamat tanpa letupan-letupan emosi dari kami. Jadi..
Sebaiknya kebiasaan itu kami ubah. Aku ingin diam, menjadi seseorang yang tidak memicu perkelahian. Bagaimana pun, i am only human. Adakalanya aku berbuat salah, untunglah kesadaran itu tak datang terlambat.
Maafkan aku. Aku akan berubah. Tak akan menjadi seseorang yang memicu emosi dan murka orang lain. Keep fighting, anna!
I know you can.


Entah kenapa akhir-akhir ini saya menjadi aneh, irritable, sensitif, moody banget, pokoknya membuat orang-orang di sekitar saya kebingungan. Saya ndak enakan orangnya. Maafkan saya.
Saya rasa orang-orang di sekitar saya perlu mengetahui tentang ini, agar mereka bisa memaafkan saya.
Karena apa pun yang terjadi, mereka lah keluarga saya, saudara saya, sahabat saya, part of me, haissh lebai kalo yang terakhir ini.
Mungkin inilah kesempatan saya untuk menjelaskan kepada kalian, pada saat kalian membenci saya karena ketidakhadiran saya dalam hidup kalian yang berat saat itu, sebenarnya saya juga menghadapi detik-menit-jam-hari yang berat juga, bahkan mungkin lebih berat.
Let's flash back ke masa satu tahun lalu.
___
Saya datang kepada kalian dengan pikiran yang separuh. Sikap cuek dan egois yang keterlaluan.
____
Pada saat itu saya sedang pusing, cemas, khawatir, bisakah saya ke Jepang? Menginjakkan kaki di negeri Sakura itu? Padahal saya sedang menjalani koas, saya tahu teman2 saya tentu akan terdistorsi dengan keabsenan saya meskipun hanya beberapa hari.
Saya ga punya tabungan cukup, beasiswa PPA baru cair setengah, sekitar 2 jutaan. Padahal saat itu saya butuh uang lebih dari lima kali lipat beasiswa itu. Saya sudah terlanjur berjanji pada orang tua bahwa apa pun yang terjadi, saya akan berada di sana, dan bapak ibu jangan khawatir, saya bisa mengusahakan sendiri.
Akhirnya saya kerja serabutan bikinin tesis orang, siang malam ngelembur, ngejar deadline karena kalo telat, klien saya bisa motong honor saya. Saya ngenthir dari bantul pelosok bolak balik ke gejayan selama beberapa hari demi ketemu sama klien itu. Akhirnya beres setelah sebulan saya kerjain. Untunglah si klien puas, meskipun saya sebenarnya lelah juga, tapi untunglah ia bersedia memberi saya honor lumayan, dua jutaan.
Saya terbentur masalah transfer uang registrasi ke acara itu. Lalu ketika minta bantuan seseorang yang termasuk petinggi di kampus, yang saya dapat malah caci maki. Di depan muka saya dia bilang, kalo g punya kartu kredit, jangan berani2 ke luar negeri. Orang tuamu kerja apa sih kok kartu kredit aja g punya? Okei. Saat itu, setengah jam kemudian, saya nangis sejam lamanya, di depan ibu, menceritakan penghinaan orang itu. Saya menangis bukan karena saya yang dihina, it's ok, saya sudah terbiasa dengan penghinaan sekasar apa pun. Tapi hati saya lemah sekali jika saya dengar orangtua saya dicaci seperti itu. Apalagi oleh petinggi kampus, yang saya kira jauh dari sikap seperti itu.
Baiklah. Saya tetap berjuang. Masalah uang registrasi akhirnya beres.
Setelah itu, apa lancar sudah? Belum. Saya harus mencari paspor. Ngenthir 40 km dari rumah selama beberapa hari ngurus itu ke kantor imigrasi di dekat bandara, akhirnya beres juga. Lalu saya berhasil mengajak teman saya, Rifda namanya. Agar saya bisa lebih kuat. Agar saya tak merasa sendirian.
Setelah paspor, kami mencari visa. Dalam pembuatan visa, disyaratkan harus ada rekening dengan nominal besar untuk menjamin hidup di sana. Entah bagaimana caranya, akhirnya kami bisa mendapatkan visa melalui sebuah agen perjalanan.
Masalah selanjutnya adalah tiket pesawat. Tiket pesawat dari Jakarta ke Kansai saat itu sedang promo, dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Osaka. Harganya tetap saja berat bagi kami.
Saya membuat proposal. Bertumpuk-tumpuk proposal kami cetak. Saya antar ke dinas2, kantor2, dekanat, rektorat, pp muhammadiyah, dll. Beberapa menolak kami dengan halus. Beberapa memutar2kan kami. Ada juga yang memarahi kami, mengabaikan kami, bahkan lagi2 mencela kami sebagai, nuwun sewu, pengemis.
Lalu semuanya tampak lancar, hingga kegiatan koas berjalan. Maafkan saya jika saat itu kalian memiliki banyak kebencian pada saya.
____
Saya jarang bersama dengan kalian, teman2 saya, dan saya sering menghilang.
____
Jujur saat itu saya masih terbebani dengan keharusan mencari uang saku untuk hidup beberapa hari di negeri matahari terbit itu. Saya berjualan tas, menyelesaikan pesanan2 tas, menyetorkan pesanan sepatu, berjualan pulsa, sehingga lumayan lah, saya jadi punya uang saku yang bisa saya andalkan. Saya dan Rifda juga harus menukarkan uang agar mudah bertransaksi di sana. Kami juga harus mengurus surat ijin koas, menghadap dokter pendidik klinik, mengurus dan menyecan dokumen2 yang diminta oleh pihak konferensi, hotel, dll.
Maafkan saya jika kalian merasa saya mengabaikan kalian.
____
Saya dengan ceria dan bahagia mengabari keberangkatan saya. Meninggalkan jadwal jaga. Mengupdate status2 bbm yang menyenangkan. Namun mengoleh2i kalian dengan barang 'murah'.
____

Sesampainya di Jepang, kami kebingungan. Kami membeli kansai thru pass, dengan pemikiran bahwa kartu ini bisa menjadi kunci perjalanan kami ke mana pun selama empat hari. Kami tidak memesan hotel berbintang. Yang kami temukan adalah hotel termurah dengan fasilitas sama seperti kos-kos di gang Andong di Salatiga, kebayang kan? Kamar sempit berukuran 3x3. Dengan tatami tipis, futon berbahan agak kasar, televisi besar seperti kubus yang memenuhi ruangan, tanpa fasilitas laundry, dan masih banyak tanpa-nya. Akhirnya kami menggunakan jendela dan teralis sebagai tempat penjemuran darurat. Biarlah dilihat dari luar, beraneka macam pakaian itu.
Kami hanya makan pop mie dengan rasa yang bikin mual, yang kami beli di family mart (semacam alfamart atau indomaretnya Indonesia). Terkadang kami makan roti. Hanya di acara konferensi itu kami bisa makan enak, makan pagi, makan siang dua hari, kopi hangat, susu, jus, kue-kue, nasi, dll, yang semuanya hanya kami rasakan dua hari, pagi dan siang hari. Selain itu? Kami tidak makan, atau mentok2nya makan mie tadi. Hampir lima hari di sana, family mart itulah andalan kami.
Tentu saja momen2 ngenes di sana tidak pernah saya ceritakan. Ketika kami harus berjalan sejauh berkilometer2 karena kebingungan, ketika yang bisa kami lakukan hanyalah ngiler sewaktu melihat makanan2 enak, ketika yang bisa kami lakukan adalah menghemat semaksimal mungkin, ketika yang bisa kami lakukan hanyalah berjalan kaki terus, hingga kaki kami seperti mau lepas dari persendiannya.
Tentu saja semua itu rahasia. Yang kami ceritakan hanyalah kebahagiaan kami.
Saat membeli oleh2 pun, sebenarnya saya ingin sekali membelikan orang2 yang saya cintai semua bentuk dan rupa yang ada di etalase. Namun maafkan saya, uang saku saya benar2 terbatas.
Terima kasih karena senang menerimanya.
Anyway, saya sudah merasakan jaga sendirian hampir seminggu. Saya tahu rasanya, berat. Tapi artinya kita impas kan? :)
____
Saya benar2 sayang kalian, keluarga kedua saya. Saya tahu kalian sempat marah dan pernah marah sama saya tentang segala bentuk kepergian saya.
Saya mempelajari banyak hal dari kalian. Saya mendapatkan banyak perhatian dari kalian.
Saya harap saya bisa memberikan itu pula.
Satu lagi, saya meminta maaf karena mungkin saya tampak sukses berjualan namun sulit hanya untuk sekedar menraktir.
Mungkin di lain kesempatan akan saya ceritakan berapa keuntungan jualan saya, ke mana uang2 itu, bagaimana sepak terjang saya, dan bahwa sebenarnya hingga detik ini pun tabungan saya sama sekali tidak menyentuh angka 5.
Saya ceria dan senang jika menerima orderan bukanlah semata-mata karena untung (yang kalian gambarkan banyak sekali). Namun karena kepuasan saya bisa memenuhi kebutuhan mereka. Untungnya benar2 tidak seberapa. Nanti kalian tak percaya jika saya beritahu. Hehe.
So, next time ya? :)



Pagi datang lagi, diiringi taburan sinar matahari mengusir kabut dan dingin yang melingkungi kota Salatiga. Aku berjalan, menyusuri bekas langkahku selama delapan bulan terakhir. Lima menit kemudian pintu IGD sudah membayang di pelupuk mata. Tampak banyak kendaraan berjajar di halaman. Sepertinya pasien sedang membludak. Segera kutaruh tas di kamar koas, lalu menuju ruang tindakan.
“Dokter, tolong!”suara laki-laki dari ranjang paling ujung memanggil. Semua tim medis sedang menangani pasien. Aku bergegas menghampiri dan memeriksa. Tampak beberapa luka robek di sekujur badan pasien. Rupanya ia mengalami kecelakaan kerja sewaktu mengurus proyek bangunan. Langsung kunyalakan lampu, mengambil peralatan tindakan, dan menjahit luka pasien.
“Sudah selesai, Pak. Silakan istirahat dulu, setelah ini Bapak difoto rontgen karena ada kecurigaan kaki Bapak cidera.”
Bapak itu mengangguk lemah dan membisikkan terima kasih yang nyaris tak terdengar. Aku tersenyum, lalu duduk sejenak sembari membuka handphone. Kuketikkan nama Ibu, lalu kutulis pesan,”Bu, besok sore aku pulang ya. Uang sakuku sudah habis.”
Tak berapa lama sms balasan masuk. Dari Ibu.”Ya. Kok lama tidak ada kabar?”
Tanganku gemetar sesaat. Kugigit bibir, menahan sesak yang tiba-tiba menghimpit. Tidak biasanya nada pesan Ibu seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di rumah selama aku pergi.
“Kabarku baik, Bu. Hanya mengirit pulsa saja kok. J Ibu baik kan?” balasku.
Tak ada jawaban pesan dari Ibu. Aku terus berdoa semoga Ibu baik-baik saja. Memang sudah tiga minggu aku sama sekali tidak menghubungi Ibu. Terlalu banyak alasan untuk itu, padahal aku tahu sepele sekali meluangkan waktu sedetik dua detik untuk sekedar mengirim pesan,”Apa kabar, Bu? Anakmu di sini baik-baik saja.”
Hari cepat sekali bergulir menjadi gelap. Aku menata lembaran pakaian di lemari. Menyuci sudah, menyeterika sudah, membersihkan kamar juga sudah tuntas. Tiba-tiba terdengar bunyi chat masuk. Dari kakakku.
“Fay..,”sapanya.
Aku membalas cepat.”Ya? What’s wrong?”
“Pinjamkan garpu tala dong.”
Dahiku mengernyit. Lalu kuketik,”What’s for? Kakak ujian ulang stase THT?”
Tampak kakakku sedang mengetikkan sesuatu, namun lama sekali. Bermenit-menit kutunggu balasannya, tak kunjung muncul. Kulihat sinyal di ujung kanan, tak ada masalah. Kakakku tak mau menjawab rupanya. Lalu kubalas,”Ya sudah. Besok ya. Aku sekalian pulang.”
Keesokan paginya, aku berangkat seperti biasa. IGD tampak sepi. Aku lewat saja, sembari mengamati kalau-kalau ada pasien. Terdengar lengkingan monitor vital sign yang berkelip merah. Langkahku kubawa menuju poli THT. Poli di lantai dua ini masih sunyi, namun layar komputer sudah menyala. Artinya Bu Nur, perawat poli ini sudah ada, mungkin ia sedang pergi ke pendaftaran, mengambil rekam medis pasien. Kuputuskan menunggu sebentar, sembari mengamati ruangan yang bercat putih itu. Ada banyak garpu tala di rak, tentu tak masalah jika meminjam satu saja, pikirku. Bu Nur pun muncul, membawa setumpuk berkas warna kuning. Aku menyalaminya, lalu kusampaikan maksudku.
“Ambil saja, tapi kembalikan ya,”jawab Bu Nur.
Aku tersenyum dengan buncah bahagia.”Terima kasih, Bu.”
Setelah jaga IGD, aku mengemas barang-barang yang akan kubawa pulang akhir pekan ini. Barang bawaanku melulu kertas-kertas tugas yang akan aku kerjakan selama liburan, ditambah garpu tala pesanan kakak. Tak sampai setengah jam aku siap berangkat.
Dua jam kemudian rumah bercat hijau setengah jadi itu hadir di depan mata. Aku mengatur napas, lalu masuk. Ruang tamu dan ruang keluarga hening. Tapi aroma sup mengalir dari pintu dapur. Terdengar celoteh adikku yang sedang belajar berjalan. Ibuku tersenyum menyambutku. Kusalami dan kucium tangannya dengan takzim. “Kakak mana?”tanyaku.
“Di kampus. Ia sibuk mengerjakan tesis akhir-akhir ini,”jawab Ibu.
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sembari menunggu kakak pulang. Malamnya kami berjumpa, lalu ia menyambut garpu tala dariku.
“Terima kasih,”ucapnya. Aku mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang, siap mendengarkan ceritanya yang biasanya mengalir deras.
“Garpu tala ini,”kalimatnya terputus, lalu memainkan benda itu sebelum melanjutkan bicara,”untuk memeriksa Ibu.”
Aku kaget, tapi sebisa mungkin kutahan rasa cemas yang tiba-tiba menelisip di hatiku.
“Kenapa Ibu?”tanyaku pelan.
“Ibu sering tidak menjawab jika diajak berkomunikasi. Saat dipanggil pun, responnya lama.”
Hening sesaat.
“Mengapa tidak ke rumah sakit saja?”tanyaku.
“Sudah pernah kutawarkan. Tapi ekspresi Ibu langsung berubah saat itu. Perasaanku jadi tidak enak,”kakakku berhenti sejenak, lalu berkata,”Bahkan aku memintamu membawa garpu tala ini pun Ibu jangan sampai tahu.”
Hatiku mencelos. Bayangan-bayangan masa lalu berkelebatan dalam ingatanku. Ibu yang tak pernah kenal lelah membanting tulang demi kelangsungan studi kedokteran sekaligus S2 dua anak perempuannya. Padahal masih ada dua adikku yang sedang berjuang pada tingkatannya masing-masing. Aku memainkan buku Managing Human Resources yang teronggok di depanku.
Kakakku melanjutkan,”Sepertinya kita punya masalah mesin air. Aku sudah tidak tahan dengan bunyi bisingnya. Bisa jadi penurunan pendengaran Ibu karena mesin air kita itu.”
“Ya sudah diganti saja, kita coba hilangkan causanya. Mungkin akan ada perbaikan kondisi Ibu,”aku menanggapi.
Kakakku menghela napas.”Kemarin aku pergi ke toko bangunan, dan harganya sekitar lima ratus ribu. Tapi aku kurang tahu mesin itu sesuai atau tidak dengan pipa-pipa yang sudah terpasang di rumah kita.”
“Hmm.. Bilang saja ke Bapak. Biar Bapak yang memutuskan.”
Kakakku memandangku, lekat.”Sudah. Kata Bapak, uangnya belum ada.”
Saat ini ingin rasanya kumaki diriku jika ingat pesanku kepada Ibu mengenai uang saku. Kapan aku bisa memberi kepada beliau? Kerjaanku hanya meminta dan meminta, bahkan hingga usia sebesar ini dan Ibuku sudah serenta sekarang. Sekilas aku teringat tabunganku, cukuplah untuk sekedar mesin air.
“Besok coba aku lihat apa yang bisa aku lakukan soal mesin air itu,”ujarku.
Pagi membangunkanku lewat telisik berkas cahaya yang menyelinap dari jendela kamarku. Aku segera bersiap mengemban misi mendapatkan mesin air untuk rumah kami.
Aku tiba di sebuah toko bangunan yang cukup besar dan dekat dengan rumah. Toko ini terkenal sangat ramai dan pelayanannya sangat baik, karena ada teknisi yang bersedia datang ke rumah untuk memeriksa kompatibilitas barang yang dibeli. Tak lama kemudian tiba giliranku dilayani.
“Mesin air, yang sangat tenang, tidak berisik,”ujarku sewaktu ditanya apa yang kubutuhkan.
Karyawan toko itu menunjukkan beberapa pilihan mesin air. Aku terhenyak, ternyata harganya empat kali lipat perkiraanku. Aku pasrah, biarlah tabunganku terkuras. Kapan lagi aku bisa memberi sesuatu kepada keluargaku? Batinku.
“Yang itu saja,”tunjukku.”Minta tolong dipasangkan di peralatan air kami di rumah, bisakah?”pintaku.
Karyawan itu mengangguk. Lalu mesin air pilihanku dibungkus, sementara aku menuju kasir.
“Mbak,”aku mendengar suara laki-laki yang familiar. Tanganku terhenti dari menggeledah isi tas, mencari dompet. Aku mencari sumber suara itu.
“Halo Bapak!”pekikku. Rupanya pasien yang pernah kurawat di IGD bekerja di sini.
“Apa kabar?”sapaku. Senang sekali bisa bertemu orang yang pernah kurawat, di kampung halamanku pula. Aku mengamatinya sekilas, ia tampak sehat. Bekas lukanya sudah melebur menjadi daging.
Bapak itu menuliskan sesuatu di struk yang harus kubayar, lalu ia kembalikan kepada petugas kasir. Aku menduga ia pasti seseorang yang penting di sini, entah pemilik atau atasan.
“Harganya sekian, Mbak.”
Aku melihat layar. Diskon! Hatiku membuncah bahagia. Aku menahan diri untuk tidak tertawa senang.”Terima kasih, Pak.”

Setelah itu, mesin air kami tak pernah berisik lagi. Aku merasa sedikit tenang ketika kembali ke Salatiga. Setidaknya rumah kami menjadi semakin nyaman dihuni, dan keluargaku terhindar dari polusi. J


Setiap hari rasanya berlalu begitu cepat. Kalo seseorang pernah bilang, ini seperti tanda-tanda kiamat, ketika kita merasa waktu bergulir begitu cepat. Sama seperti sekarang ini. Begitu banyak tugas yang mengantri. Belum dikerjakan. Begitu banyak amanah, dan kepercayaan yang harus digenggam. Ga sanggup sih, tapi tak ada pilihan lain. Sekarang sebenarnya kembali lagi pada diriku sendiri.
Bagaimana aku harus bisa mengatur waktu dan mengalokasikannya untuk semua kewajiban harian. Bagaimana aku harus tetap merasa enjoy dan menikmati setiap detiknya. Untuk itu aku perlu mencari motivasi.
Satu-satunya motivasi yang terlintas dalam benakku adalah ibuku. Dialah yang memberikan senyuman terindah, semangat terbesar, dan cinta tertulus. Aku masih sanggup berada di Salatiga dengan baik, terutama adalah karena dia. Meski setiap detik rasa rindu datang menyergap, selalu ada cara untuk mengobatinya.
Aku mencuci, sembari teringat betapa telatennya ibu di rumah merawatku dulu. Aku menyeterika, sembari terngiang nasihat ibu setiap hari dulu. Aku menata kamar, sembari terbayang suara omelan ibu setiap kali aku nakal. Semua pekerjaan rumah itu aku lakukan hanya untuk mengobati rindu, tak lebih. Bukan karena kiriman bulanan yang sedikit, bukan karena aku terlalu rajin. Inilah obat rindu itu.
Dan too many things to do, membawaku kembali ke realita bahwa aku adalah grown up yang memikul semua tanggung jawab dan akibat di atas pundakku. Aku tak berani bilang betapa berat sesungguhnya, untuk apa? Orang yang mendengar pun tak akan mampu mengurangi. Yang bisa kulakukan hanyalah menjalaninya. Setiap pagi terbangun dengan rutinitas follow up, visite, dan jaga. Dan beberapa kewajiban lain yang secara sadar diri harus kukerjakan setiap harinya seperti shalat, mengaji, terutama belajar. Tugas-tugas terus merubung, pegal dan lelah rasanya. Aku sampai khawatir kakiku lepas saking seringnya digunakan berjalan, jemariku pun sudah mulai tebal, saking kerapnya kami menulis. Dan otakku? Sudah panas sejak dulu.
Yang kukatakan pada diriku, dan seharusnya selalu kukatakan setiap saat, adalah semua ini pasti akan ada akhirnya. Jika aku kuat dan tegak di atas kakiku sendiri seberapa pun kuatnya angin berhembus, akhirnya akan manis terasa. Aku tahu ini benar. Dan aku percaya. Dan aku akan selalu bersemangat,, though too many things to do.
:)    :)   :)    :)

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .