Pagi datang lagi,
diiringi taburan sinar matahari mengusir kabut dan dingin yang melingkungi kota
Salatiga. Aku berjalan, menyusuri bekas langkahku selama delapan bulan
terakhir. Lima menit kemudian pintu IGD sudah membayang di pelupuk mata. Tampak
banyak kendaraan berjajar di halaman. Sepertinya pasien sedang membludak.
Segera kutaruh tas di kamar koas, lalu menuju ruang tindakan.
“Dokter, tolong!”suara laki-laki
dari ranjang paling ujung memanggil. Semua tim medis sedang menangani pasien. Aku
bergegas menghampiri dan memeriksa. Tampak beberapa luka robek di sekujur badan
pasien. Rupanya ia mengalami kecelakaan kerja sewaktu mengurus proyek bangunan.
Langsung kunyalakan lampu, mengambil peralatan tindakan, dan menjahit luka
pasien.
“Sudah selesai, Pak.
Silakan istirahat dulu, setelah ini Bapak difoto rontgen karena ada kecurigaan
kaki Bapak cidera.”
Bapak itu mengangguk
lemah dan membisikkan terima kasih yang nyaris tak terdengar. Aku tersenyum,
lalu duduk sejenak sembari membuka handphone. Kuketikkan nama Ibu, lalu kutulis
pesan,”Bu, besok sore aku pulang ya. Uang sakuku sudah habis.”
Tak berapa lama sms
balasan masuk. Dari Ibu.”Ya. Kok lama tidak ada kabar?”
Tanganku gemetar
sesaat. Kugigit bibir, menahan sesak yang tiba-tiba menghimpit. Tidak biasanya nada
pesan Ibu seperti ini. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di rumah selama aku
pergi.
“Kabarku baik, Bu.
Hanya mengirit pulsa saja kok. J Ibu baik kan?” balasku.
Tak ada jawaban pesan
dari Ibu. Aku terus berdoa semoga Ibu baik-baik saja. Memang sudah tiga minggu
aku sama sekali tidak menghubungi Ibu. Terlalu banyak alasan untuk itu, padahal
aku tahu sepele sekali meluangkan waktu sedetik dua detik untuk sekedar
mengirim pesan,”Apa kabar, Bu? Anakmu di sini baik-baik saja.”
Hari cepat sekali
bergulir menjadi gelap. Aku menata lembaran pakaian di lemari. Menyuci sudah,
menyeterika sudah, membersihkan kamar juga sudah tuntas. Tiba-tiba terdengar
bunyi chat masuk. Dari kakakku.
“Fay..,”sapanya.
Aku membalas cepat.”Ya?
What’s wrong?”
“Pinjamkan garpu tala
dong.”
Dahiku mengernyit. Lalu
kuketik,”What’s for? Kakak ujian ulang stase THT?”
Tampak kakakku sedang
mengetikkan sesuatu, namun lama sekali. Bermenit-menit kutunggu balasannya, tak
kunjung muncul. Kulihat sinyal di ujung kanan, tak ada masalah. Kakakku tak mau
menjawab rupanya. Lalu kubalas,”Ya sudah. Besok ya. Aku sekalian pulang.”
Keesokan paginya, aku
berangkat seperti biasa. IGD tampak sepi. Aku lewat saja, sembari mengamati
kalau-kalau ada pasien. Terdengar lengkingan monitor vital sign yang berkelip
merah. Langkahku kubawa menuju poli THT. Poli di lantai dua ini masih sunyi,
namun layar komputer sudah menyala. Artinya Bu Nur, perawat poli ini sudah ada,
mungkin ia sedang pergi ke pendaftaran, mengambil rekam medis pasien. Kuputuskan
menunggu sebentar, sembari mengamati ruangan yang bercat putih itu. Ada banyak
garpu tala di rak, tentu tak masalah jika meminjam satu saja, pikirku. Bu Nur
pun muncul, membawa setumpuk berkas warna kuning. Aku menyalaminya, lalu
kusampaikan maksudku.
“Ambil saja, tapi
kembalikan ya,”jawab Bu Nur.
Aku tersenyum dengan
buncah bahagia.”Terima kasih, Bu.”
Setelah jaga IGD, aku
mengemas barang-barang yang akan kubawa pulang akhir pekan ini. Barang bawaanku
melulu kertas-kertas tugas yang akan aku kerjakan selama liburan, ditambah
garpu tala pesanan kakak. Tak sampai setengah jam aku siap berangkat.
Dua jam kemudian rumah
bercat hijau setengah jadi itu hadir di depan mata. Aku mengatur napas, lalu
masuk. Ruang tamu dan ruang keluarga hening. Tapi aroma sup mengalir dari pintu
dapur. Terdengar celoteh adikku yang sedang belajar berjalan. Ibuku tersenyum
menyambutku. Kusalami dan kucium tangannya dengan takzim. “Kakak mana?”tanyaku.
“Di kampus. Ia sibuk
mengerjakan tesis akhir-akhir ini,”jawab Ibu.
Aku memutuskan untuk
beristirahat sejenak sembari menunggu kakak pulang. Malamnya kami berjumpa,
lalu ia menyambut garpu tala dariku.
“Terima kasih,”ucapnya.
Aku mengangguk, lalu duduk di tepi ranjang, siap mendengarkan ceritanya yang
biasanya mengalir deras.
“Garpu tala ini,”kalimatnya
terputus, lalu memainkan benda itu sebelum melanjutkan bicara,”untuk memeriksa
Ibu.”
Aku kaget, tapi sebisa
mungkin kutahan rasa cemas yang tiba-tiba menelisip di hatiku.
“Kenapa Ibu?”tanyaku
pelan.
“Ibu sering tidak
menjawab jika diajak berkomunikasi. Saat dipanggil pun, responnya lama.”
Hening sesaat.
“Mengapa tidak ke rumah
sakit saja?”tanyaku.
“Sudah pernah
kutawarkan. Tapi ekspresi Ibu langsung berubah saat itu. Perasaanku jadi tidak
enak,”kakakku berhenti sejenak, lalu berkata,”Bahkan aku memintamu membawa
garpu tala ini pun Ibu jangan sampai tahu.”
Hatiku mencelos. Bayangan-bayangan
masa lalu berkelebatan dalam ingatanku. Ibu yang tak pernah kenal lelah
membanting tulang demi kelangsungan studi kedokteran sekaligus S2 dua anak
perempuannya. Padahal masih ada dua adikku yang sedang berjuang pada
tingkatannya masing-masing. Aku memainkan buku Managing Human Resources yang
teronggok di depanku.
Kakakku melanjutkan,”Sepertinya
kita punya masalah mesin air. Aku sudah tidak tahan dengan bunyi bisingnya. Bisa
jadi penurunan pendengaran Ibu karena mesin air kita itu.”
“Ya sudah diganti saja,
kita coba hilangkan causanya. Mungkin akan ada perbaikan kondisi Ibu,”aku
menanggapi.
Kakakku menghela napas.”Kemarin
aku pergi ke toko bangunan, dan harganya sekitar lima ratus ribu. Tapi aku
kurang tahu mesin itu sesuai atau tidak dengan pipa-pipa yang sudah terpasang
di rumah kita.”
“Hmm.. Bilang saja ke
Bapak. Biar Bapak yang memutuskan.”
Kakakku memandangku,
lekat.”Sudah. Kata Bapak, uangnya belum ada.”
Saat ini ingin rasanya
kumaki diriku jika ingat pesanku kepada Ibu mengenai uang saku. Kapan aku bisa
memberi kepada beliau? Kerjaanku hanya meminta dan meminta, bahkan hingga usia
sebesar ini dan Ibuku sudah serenta sekarang. Sekilas aku teringat tabunganku,
cukuplah untuk sekedar mesin air.
“Besok coba aku lihat
apa yang bisa aku lakukan soal mesin air itu,”ujarku.
Pagi membangunkanku
lewat telisik berkas cahaya yang menyelinap dari jendela kamarku. Aku segera
bersiap mengemban misi mendapatkan mesin air untuk rumah kami.
Aku tiba di sebuah toko
bangunan yang cukup besar dan dekat dengan rumah. Toko ini terkenal sangat
ramai dan pelayanannya sangat baik, karena ada teknisi yang bersedia datang ke
rumah untuk memeriksa kompatibilitas barang yang dibeli. Tak lama kemudian tiba
giliranku dilayani.
“Mesin air, yang sangat
tenang, tidak berisik,”ujarku sewaktu ditanya apa yang kubutuhkan.
Karyawan toko itu
menunjukkan beberapa pilihan mesin air. Aku terhenyak, ternyata harganya empat
kali lipat perkiraanku. Aku pasrah, biarlah tabunganku terkuras. Kapan lagi aku
bisa memberi sesuatu kepada keluargaku? Batinku.
“Yang itu saja,”tunjukku.”Minta
tolong dipasangkan di peralatan air kami di rumah, bisakah?”pintaku.
Karyawan itu
mengangguk. Lalu mesin air pilihanku dibungkus, sementara aku menuju kasir.
“Mbak,”aku mendengar
suara laki-laki yang familiar. Tanganku terhenti dari menggeledah isi tas,
mencari dompet. Aku mencari sumber suara itu.
“Halo Bapak!”pekikku.
Rupanya pasien yang pernah kurawat di IGD bekerja di sini.
“Apa kabar?”sapaku. Senang
sekali bisa bertemu orang yang pernah kurawat, di kampung halamanku pula. Aku mengamatinya
sekilas, ia tampak sehat. Bekas lukanya sudah melebur menjadi daging.
Bapak itu menuliskan
sesuatu di struk yang harus kubayar, lalu ia kembalikan kepada petugas kasir. Aku
menduga ia pasti seseorang yang penting di sini, entah pemilik atau atasan.
“Harganya sekian, Mbak.”
Aku melihat layar. Diskon!
Hatiku membuncah bahagia. Aku menahan diri untuk tidak tertawa senang.”Terima
kasih, Pak.”
Setelah itu, mesin air
kami tak pernah berisik lagi. Aku merasa sedikit tenang ketika kembali ke
Salatiga. Setidaknya rumah kami menjadi semakin nyaman dihuni, dan keluargaku
terhindar dari polusi. J