Bulan Syawal tiba setelah bulan Ramadhan. Bulan ini disambut dengan gegap gempita, riuh rendahnya teriakan kemenangan. Karena pada tanggal 1 Syawal setiap muslim merayakan hari raya kemenangan, bagi mereka yang berhasil menundukkan hawa nafsu lahiriah dan batiniahnya selama bulan Ramadhan.
Ada beberapa poin yang tak dapat lepas dari kekhasan bulan syawal ini. What are they? Check this out!
Fenomena Mudik
Setiap tahun, tak dapat dipungkiri lagi, mudik menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu bagi setiap orang. Entah dia yang akan didatangi saudara-saudaranya dari berbagai pelosok kota, atau malah dia yang akan mendatangi sanak familinya di ujung kota yang lain.
Kalo disuruh bicara tentang mudik, pasti yang langsung terloncat dari tutur kita adalah macet, macet, dan macet. Teman saya kemarin bercerita, misalnya saja perjalanan dari Cilacap ke Purwokerto yang hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam, molor banget jadi tiga jam. Lalu kenalan saya yang lain juga mengeluhkan hal yang sama, waktu tempuh ke Solo dari Jogja yang biasanya hanya memakan waktu dua jam, molor jadi empat jam. Serta bayang-bayang malaikat maut yang mengintai setiap pemudik, fakta bahwa kecelakaan lalu lintas meningkat pesat selama musim mudik.
Apakah pernah terlintas di benak teman-teman, lalu yang salah sebenarnya siapa sih?
Kita gak bisa, kan, menyalahkan aparatur negara yang jumlahnya tiba-tiba jadi serasa sangat sedikit dibandingkan para pemudik yang berjubel. Atau malah nyalahin yang mudik? Atau nyalahin jalan raya yang sempit, terjal, bolong-bolong seperti kawah, dan berbatu-batu (lebai mode on)?
Saya benar-benar menyayangkan sebenarnya, kalau ada kendaraan di tengah kemacetan malah memukul-mukul klakson, membuat kendaraan lain pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Atau di tengah lampu merah yang berganti menjadi hijau, lalu dari belakang terdengar kendaraan mengklakson tak putus-putus hingga rasanya jebol gendang telinga saya, rasanya ingin saya bentak orang itu, “Saya juga tahu lampu sudah hijau! Gak usah nglakson-nglakson! Sabar donk!!”
Nah. Sikap di atas adalah sikap yang keliru ya sebenarnya, untung aja baru niat. Hehe. Saya jadi ingat wejangan dr. Zaenal M. SOFRO, lagi-lagi setiap detik kita sebenarnya tak luput dari pembelajaran dan perbaikan. Atau istilahnya trial, but not errors. Bahwa manusia memiliki otak primitif, yaitu otak reptil, yang semata-mata mengatur hawa nafsu, emosi, lapar, dan pertahanan diri. Jangan sampai kita jatuh di bawah bayang-bayang otak reptil kita. Sedikit-sedikit gampang meledak, lapar sedikit langsung bĂȘte, bahkan, sekedar senyum aja rasanya berat banget.
Di tengah antrian mudik, kita seharusnya berusaha menahan diri, tidak untuk menggerundel, bersungut-sungut, atau memaki-maki. Siapa yang mau kita maki? Dibutuhkan pemakluman yang besar, serta toleransi tinggi bahwa kepentingan setiap orang yang mudik tuh sama, ingin menuju kampung halaman tercinta segera dan dengan selamat.
Kembali lagi ke hati nurani yang secara cerdas mampu memilah sikap manusia yang beradab. Bagaimana seharusnya kita bersikap selama mudik, yang mungkin bagi sebagian orang memang suatu ritual yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. It depends on your choice, guys!
Air Mata Ampunan
Entah sudah pernah diadakan survey atau belum, tapi bagi saya, hari yang paling, paling banyak tertumpah air mata, isak tangis, dan senyuman yang begituuuu indah dan cakep, adalah hari raya Idul Fitri. Memang terbukti, bahwasanya zat ekskresi satu-satunya yang gak bikin jijik, alih-alih malah bikin keliatan bersinar-sinar mukanya, hanyalah air mata. Tears.
Anak-anak mendatangi orangtuanya. Lalu cucu-cucu mendatangi kakek-neneknya. Dan sepupu, serta kerabat jauh yang jarang berjumpa saling beruluk salam dan maaf. Indah nian hari-hari di bulan Syawal ini. Karena pada bulan ini sajalah, kata maaf bertebaran dan dosa-dosa berjatuhan seperti benang sari yang tersebar oleh desau angin.
Namun dari pengamatan saya, terkadang tetap saja begitu bubar maaf-maafan dengan si fulan, misalnya, kembali kita membuat luka hatinya. Entah karena memang kebiasaannya demikian, atau karena menganggap bulan Syawal masih lama usai?
Na’udzubillahi min dzalik.
Last point, Muhasabah, euy!
Ini nih sebenarnya yang penting harus kita sadari semasa kita menapaki bulan Syawal. Satu kutipan yang menegakkan bulu roma,
Barangsiapa lebih baik daripada hari kemarin, beruntunglah ia.
Barangsiapa sama dengan hari kemarin, rugilah ia.
Dan barangsiapa lebih buruk dari hari kemarin, sungguh ia celaka.
Di bulan Syawal, seharusnya kita manfaatkan untuk melakukan evaluasi mengenai amalan-amalan kita di bulan Ramadhan. Apakah sudah baik? Kalo udah, sok atuh dipertahankan. Kalo belum, let’s improve it. Gak mau, kan, termasuk golongan orang yang celaka?
Memang kalo gak berjama’ah, amalan ibadah tuh rasanya beraat banget. Kemarin pas Ramadhan, ngajinya sehari bisa dua juz. Berhubung pas uda lewat Ramadhannya, sehari paling banter satu juz, dua lembar, atau malah dua halaman. But, it is okay, guys. It is called a process. Kita, termasuk saya, gak bisa sekonyong-konyong berubah. Tapi memang manusia yang lebih utama adalah dia-dia yang mampu mempertahankan kualitas ibadahnya selama dan setelah Ramadhan. Allaahumma amiin.
Ini nih, satu hadits yang semoga dapat menyemangati kita untuk senantiasa mengaji Al Qur’an:
“Bacalah al-Quran, karena sesungguhnya al-Quran itu akan menjadi Syafa’at (penolong) bagi pembacanya di hari kiamat ”
( H.R. Muslim )
Eits, tapi, kita masih diberi bonus loh di bulan Syawal ini. Sebut saja namanya Puasa Syawal. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.“(H.R. Muslim)
So, let’s compete in the blessed ways! (translate: mari berlomba-lomba dalam jalan yang diberkati!)
Darkannarchy_