Rofi sedang berpose saat pengajian PPPA |
Namanya Rofi. Nama lengkapnya Rofi’ah. Di kampungku dia lebih populer dipanggil Rofi, sementara di sekolahnya, dia lebih dikenal sebagai Rofi’ah.
Semenjak kelas tiga SMA, aku sering berpapasan dengannya di pinggir jalan besar tempat perhentian bus. Badannya yang ramping – kata yang kuhaluskan untuk menyebut badan kecilnya yang kurus dan kerdil. Matanya yang juling, dan fokus matanya yang bergeser sehingga untuk membaca tulisan di depan mukanya membuat dia harus menelengkan kepala kecilnya ke samping.
Lantas, kuketahui dua tahun kemudian, kelainan apa yang diderita tetanggaku itu. Nama kelainannya adalah trisomi 21, atau sindrom Down.
Aku begitu antusias mencari informasi mengenai kelainan kromosom yang satu ini. Dan satu fakta yang membuatku terhenyak: Penderita sindrom Down sangat jarang yang mampu bertahan lebih dari 50 tahun.
Perasaan iba dan berdosa tiba-tiba menyeruak. Tahun ini Rofi menginjak usia 27 tahun, sudah memasuki paruh kedua usia prediksi maksimal bagi penderita sindrom Down. Kembali kuingat, dulu, karena tergesa-gesa, kuturunkan Rofi di belokan yang masih jauh dari sekolahnya. Saat itu, aku berpikir, Rofi kan sudah terbiasa jalan dari sini. Kali ini dia jalan juga gak masalah. Aku uda telat, nih. Saat itu aku belum tahu fakta bahwa jasmani penderita sindrom Down itu sangat lemah karena organ-organnya memang tidak berdiferensiasi secara sempurna, terutama jantungnya.
Lain hari, aku dimintai tolong meng-sms-kan gurunya pesan bahwa dia tidak berangkat sekolah karena tidak enak badan. Aku sudah mengetik pesan yang dia inginkan, lalu ketika dia mengeluarkan buntalan kertas yang berisi nomor gurunya, aku meringis. Rofi menggelengkan kepalanya, lalu mengeja tulisannya sendiri dengan susah payah. Nol. . satu. . delapan. . nol. . satu. . nol. . nol. . empat. . Sembilan. . nol. . tiga. . enam. . satu. . tujuh. . nol. . tujuh. . satu. . nol. .
Delapan belas digit nomor handphone. Saat itu aku memutar-mutar handphone-ku, lalu mengulurkan tangan untuk menyalin nomor yang dia tulis. Setengah sangsi smsku bakal terkirim, karena setahuku, digit maksimal nomor handphone tahun 2008 tuh cuma 12, akhirnya aku bermain gambling. Mengambil dua belas nomor yang ‘mirip’ nomor handphone. Kebanyakan tidak terkirim.
Sedikit bête, saat itu, aku bilang ke Rofi, nomornya salah. Gak bisa dikirimi sms.
Rofi tetap ngotot. Dan aku, setelah itu tidak mengungkit-ungkit sms itu berhasil atau tidak. Ketika ditanya, aku jawab aja, udah aku kirim.
Aku mengutuk diriku saat itu. Sikapku yang begitu tidak manusiawi. Bagaimanapun, tetanggaku adalah keluargaku juga. Andai sejak dulu aku tahu bahwa IQ penderita sindrom Down tidak lebih dari 70, pasti saat itu aku akan lebih sabar dan memahami, bahwa mampu menuliskan angka saja sudah merupakan suatu pencapaian besar untuk ukuran penderita sindrom Down.
Masih dapatkah aku memperbaiki kelalaianku di masa lalu? Meski aku tahu pasti dia sudah lupa betapa jahatnya aku dulu sebagai seorang yang seharusnya bersikap lebih baik lagi.
***
Bulan Ramadhan tahun 2010, seperti biasa, aku ikut tarawih. Udah memasuki malam keduapuluh. Seperti biasa, semakin akhir Ramadhan, semakin ngantuk rasanya di tiap rakaat shalat Tarawih. Seperti biasa pula, sehabis shalat tarawih, kami mengaji bersama. Namun, malam itu tidak biasa. Rofi, yang memang senang menjejeriku waktu shalat, sehabis mengaji, dia merangkak ke arahku. Lalu mengatakan sesuatu yang lebih mirip gumaman. Aku beringsut mendekatinya, lalu memintanya mengulangi perkataannya.
“Mbak Anna, besok anterin buka bersama di sekolah ya. Habis ashar,”serunya terbata-bata.
Aku gamang. Jawab gimana ya. Pasalnya besok aku ada buka bersama MISC juga. Gak enak sama temen-temen kalo gak nongol. Tapi, kasian juga Rofi kalo aku gak mengiyakan. Ya udah lah, toh MISC tanpa aku pun tidak masalah, tapi kalo Rofi tanpa aku, kasian, nanti ibunya juga kerepotan. Ibunya, yang sudah tua, terkadang mengantar Rofi ke sekolahnya yang berjarak sepuluh kilometer. Jarak sejauh itu, di zaman sekarang mana ada yang mau bersusah payah mengayuh sepeda untuk menempuhnya. Tapi, Ibu Rofi bersedia. Bukan karena ingin menghemat bensin sepertiku sehingga terkadang memilih untuk membonceng teman alih-alih mengendarai motorku sendiri. Tapi karena kendaraan yang dia punya hanyalah sepeda itu.
Sepeda lusuh yang setiap pagi dikendarainya untuk berjualan di pasar. Uban yang telah mewarnai rambut Uwak Darto tidak membuatnya berhenti bekerja. Tentu saja dia masih dan selalu mempunyai tanggungan nyawa yang mesti dia hidupi, Rofi ini. meski anak-anaknya yang lain sudah dewasa dan sudah mampu mencari nafkah sendiri, tetap saja secara naluriah dia tahu diri untuk tidak merepoti anak-anaknya yang lain yang sudah memiliki tanggungan hidup sendiri.
Aku terdiam sebentar, lalu aku jawab,”Ya. Besok kuanterin. Besok habis ashar, ke rumahku ya.”
Seketika senyum yang begitu polos terkembang di wajahnya. Aku membalas tersenyum. Lalu satu-persatu kami pulang ke rumah masing-masing, mendatangi ranjang empuk untuk mengistirahatkan raga agar siap menyambut esok fajar.
Paginya, aku takut Rofi lupa akan kesepakatan kita semalam, lantas aku mendatangi rumahnya. Di pintu depan, Uwak Darto sedang menyiapkan dagangan di atas sepeda yang akan dikendarainya menuju pasar.
Uwak Darto menyambutku dengan raut muka terkejut. Yah, wajar sih. Seperti celetukan Uwak Darto,”Tumben Mbak Anna. Ada apa?”
Aku tersenyum,”Mau ketemu Rofi, Wak.”
Uwak Darto menunjuk ke bagian belakang rumahnya.”Coba tengok di dekat sumur, Mbak. Rofi sepertinya sedang mencuci.”
Aku beranjak ke arah telunjuk Uwak. Di sana aku jumpai Rofi sedang menimba. Subhanallah. . dia tidak tampak sakit-sakitan seperti yang divoniskan oleh teori para pakar di berbagai literature.
Aku memastikan ulang, bahwa nanti sore aku jadi nganterin dia buka bersama. Itu saja. Lalu aku kembali pulang. Lewat di serambi rumahnya, Uwak Darto menanyaiku lagi, ada urusan apa dengan anak bungsunya itu.
“Em. . tadi malam saya diminta Rofi untuk mengantar dia buka bersama di sekolahnya. Ini tadi saya hanya memastikan saja.”
Uwak langsung berkaca-kaca.”Oh. . Uwak pikir ada apa. Syukur, Alhamdulillah ada yang nganterin Rofi. Daripada Uwak anterin naik sepeda. Besok kamu ikut pengajian dan buka bersamanya sekalian aja ya. Nanti pulangnya bareng lagi.”
Aku mengiyakan, lalu pamitan. Lantas aku berjalan pulang, dan berangkat ke kampus untuk kuliah pagi.
***
Yang membuat aku mengagumi Kamila, adalah karena dia memang berjiwa pemimpin, dan pantas menjadi pemimpin. Aku suka kebijaksanaannya, kemampuannya, serta kemauannya mendengarkan alasan bawahannya di MISC. Seperti kasusku hari ini. Setelah kuliah pertama, perlahan kuhampiri Kamila yang selalu duduk di barisan depan. Lalu aku berkata kepadanya,”Mil, nanti sore sepertinya aku gak bisa ikut buka bersama MISC.”
Reaksinya tenang, dan penuh pengertian, seperti yang selalu kutemukan dari beberapa sosok pemimpin.
“Emang kamu ada acara apa?”
Dia gak perlu menyinggung betapa penting acara buka bersama MISC ini. Soalnya dia pasti tau kalo aku juga udah sadar tanpa perlu diingatkan lagi. Betapa setahun yang kita lalui dengan jungkir balik. Suka duka ngedit materi kuliah yang bejibun, hingga semua itu membuat MISC begitu rekat, seperti saudara setubuh.
Kujelaskan padanya,”Aku mau nganterin tetanggaku buka bersama di sekolahnya. Dia. .”
Kupaparkan bagaimana kondisi Rofi. Lalu Kamila mengangguk.’Iya. Gak papa. Mending kamu temenin dia aja.”
Aku mengangguk penuh terima kasih. Pukul dua belas, kuliah selesai, lalu break shalat sampai pukul setengah satu. Setelah itu, aku bertolak ke parkiran, cabut ke toko busana muslim. Membolos dua mata kuliah di blok ini.
Sejak kelas tiga SMA, pokoknya sepanjang ingatanku, mukena Rofi yang itu-itu saja. Entah mukenanya itu pernah dicuci atau enggak. Entah baunya seperti apa. Aku jadi miris melihat mukenanya yang udah buluk itu. Jadilah sekarang aku berkelana di tempat ini, untuk membelikan Rofi mukena baru.
Alasan sebenarnya, kemaren aku juga habis beli mukena parasit baru, dan sebenarnya aku ingin memberikan mukena lamaku. Tapi waktu kuamati mukena lamaku di bawah cahaya yang lumayan terang, jadi keliatan jelas kalo mukenaku itu udah buluk juga. Penuh bintik-bintik hitam pertanda kejorokanku yang malas ngelap muka setelah wudhu. Kata Bapakku, masak mukena jelek gitu mau dikasihin ke orang lain?
***
Siang pun beranjak menjadi sore. Masih terbayang ekspresi bahagia Rofi menerima mukenaku tadi. Sekarang dia bertengger ceria di belakangku. Kami berpacu menuju sekolahnya, SLB Marsudi Putra.
Sesampainya di sana, kulihat belasan manusia seperti Rofi. Aku menelan ludah. Rasanya sedikit asing. Beberapa dari mereka bersikap seperti manusia normal. Mereka menyiram halaman serta menyapu ruangan yang nantinya digunakan untuk buka bersama. Sedangkan sebagian yang lain duduk saja dan bercanda satu sama lain.
Tikar pun digelar. Kami duduk. Saat itulah aku mulai bimbang. Apakah aku akan tetap di sini hingga buka nanti? Apakah aku benar-benar ingin melewatkan kesempatan berkumpul dengan teman-teman MISC dan memilih berada di sini bersama Rofi?
Satu jam lamanya aku duduk dalam kebimbangan. Kuperhatikan orangtua manusia-manusia seperti Rofi tetaplah orangtua bagi mereka yang penuh dengan curahan kasih sayang dan perhatian. Orang-orang seperti Rofi pun tetaplah manusia meski kemampuan mereka di ambang batas. Salah satu dari mereka diminta untuk melafalkan shalawat Nabi, meski salah, tidak ada yang membenarkan. Kami semua bukan mempermasalahkan bagaimana lafal sesungguhnya shalawat Nabi tersebut. Sekali lagi, kami, yaitu aku dan orangtua dari manusia-manusia dengan retardasi mental ini sudah mampu menerima keterbatasan mereka. Bisa saja pihak sekolah menyetel kaset shalawat Nabi, alih-alih meminta tolong kepada salah seorang dari mereka untuk mendendangkannya. Namun, inilah yang disebut dengan pendidikan. Membiasakan hal yang baik dan benar, meski corat marut, perlahan proses ini akan menelurkan hasil yang indah pada akhirnya.
Aku menikmati suasana hangat yang dipancarkan oleh manusia-manusia ini. Namun ternyata nafsu manusiaku yang menang, alih-alih simpatiku kepada Rofi. Kukatakan kepadanya,”Rofi, Mbak Anna mau ke Jogja dulu, buka bersama. Nanti pokoknya jangan pulang dulu sebelum kujemput ya.”
Yah, kupikir inilah win-win solution agar aku dapat mengikuti kedua agendaku sore ini. Sebelumnya aku berpamitan dulu kepada guru Rofi, dan menitipkannya hingga aku kembali lagi.
Entah bagaimana perasaan Rofi yang kutinggalkan begitu saja seperti ini. Apakah dia memiliki perasaan seperti manusia normal lainnya juga? Aku tidak tahu. Meski begitu, hati kecilku merasa bersalah kepadanya karena meninggalkannya begitu saja seperti ini.
Sudah setengah perjalanan menuju lokasi buka bersama. Ternyata letaknya nun jauh di utara. Dekat UGM. Hujan deras mengguyur bumi, membuatku basah. Rasanya sedih sekali apalagi harus melihat Kamila ikut basah kuyup juga karena menjemputku yang tidak mengetahui lokasi tepatnya.
Sesampainya di lokasi, yaitu warung “Inyong”, aku langsung berbuka. Hatiku cemas memikirkan Rofi. Jika aku tak segera pulang, buka bersama di sekolahnya keburu usai juga. Butuh waktu satu jam perjalanan untuk kembali ke sana.
Kuputuskan untuk menyimpan kekhawatiranku itu nanti saja. Sekarang adalah sekarang, pikirku. Aku akan menikmati saat-saat kebersamaan ini dahulu.
Kami melanjutkan foto-foto setelah shalat Maghrib. Setelah beberapa kali jepret, kuputuskan sudah saatnya aku bertolak pulang. Rasanya tak enak juga, tadi datang terakhir, sekarang pulang duluan.
Kusampaikan ucapan undur diriku kepada teman-teman. Lalu segera kukenakan mantol, kembali menerobos hujan dan menuju sekolah Rofi.
***
Seperti yang sudah aku cemaskan, buka bersama di sekolahnya telah usai. Ya Allah, mana Rofi? Sekolahnya pun telah digembok. Lampu-lampu telah dipadamkan, serta ruangan-ruangan sudah terkunci rapi. Beberapa waktu lamanya aku melayangkan pandangan dari luar gerbang, berharap menemukannya di dalam sana. Nihil. Hatiku was-was sekarang, apakah dia sudah pulang? Ya. Pasti sudah. Sekarang sudah pukul tujuh, mungkin salah seorang gurunya berbaik hati mengantarkannya pulang, yakinku.
Masih dengan rintik hujan mengiringi, kuputuskan untuk pulang. Semoga saja Rofi benar-benar telah tiba di rumahnya dengan selamat. Setengah jam kemudian, aku sudah berada di depan rumahnya. Kuketuk pintu rumahnya, namun tidak ada tanggapan. Kuulangi beberapa kali lagi. Dan pamannya yang membukakan.
“Rofi sudah pulang, Lek?” tanyaku.
“Belum tuh dek. Kurang tau juga. Mungkin langsung ke masjid sama Uwak Darto. Coba dicek di sana dulu,”jawabnya. Lalu aku mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
Aku tiba di rumah dengan selamat, dan kulihat bapak ibuku duduk di lincak depan rumah, menantiku pulang. Ceramah setelah shalat Isya berkumandang dari kedua masjid yang melingkungi rumahku. Belum usai mantol kulepas, bapak langsung memarahiku.
“Rofi di mana?? Tadi ibunya nyariin. Kamu gak bisa diamanahi tanggungjawab ya. Kalo menyanggupi menemani, ya ditemani sampai selesai sampai pulang dengan selamat. Sekarang, di mana Rofi?”seru bapak keras. Aku tertunduk. Bagaimana ini? Hatiku jadi kacau balau.
Kukenakan kembali mantolku. Lalu dengan khawatir yang memuncak, aku bertolak menuju sekolahnya lagi yang berjarak dua puluh menit dari rumah.
Ku perhatikan lagi setiap detail sekolah Rofi dari luar gerbang. Berharap dia ada di salah satu titik di dalam sana. Kutanyai penjual jamu yang sudah hampir menutup warungnya. Mereka pun menjawab tidak tahu. Kutelusuri jalan yang mungkin dia lewati. Kuputari sekolahnya. Lalu kuberdo’a, semoga Rofi baik-baik saja. Jika nanti dia kutemukan, tidak akan kutinggalkan dia seperti hari ini. Hingga akhirnya kutanyai orang yang duduk-duduk di sebuah bengkel motor.
“Pak, tahu salah satu guru SLB Marsudi Putra situ gak? Adik saya belum pulang juga dari tadi waktu buka bersama. Mungkin diantarkan gurunya atau bagaimana. Saya khawatir sekali,”kataku tersendat-sendat. Air mataku sudah hampir menetes.
Aku diberitahu alamat salah satu guru dekat situ. Bapak Rohmat namanya. Sesampainya di rumah Bapak Rohmat, aku beruluk salam. Lalu aku dipersilakan masuk. Rupanya beliau masih di masjid, seperti lazimnya masjid-masjid di bulan Ramadhan yang selalu ramai hingga jauh malam.
Sembari menanti dengan penuh kekhawatiran, aku berbincang-bincang dengan ayah Bapak Rohmat dan istrinya. Dari beliau berdua aku jadi tahu, bahwa SLB Marsudi Putra adalah satu-satunya SLB yang ada di daerahku. Pengajarnya terbatas, demikian pula sarana dan prasarananya. Apalagi pengawasan terhadap penyandang retardasi mental dan gangguan jiwa memang harus ekstrim, karena sedikit saja kecolongan, mereka dapat berkeliaran kemana saja. Lalu baru aku tahu, setiap detik, pintu gerbang memang harus dikunci, untuk mengantisipasi agar siswa tidak keluar gerbang.
Ada tempat di mana siswa yang tidak dijemput biasanya menunggu. Lokasinya ada di sebelah bangunan sekolah persis. Tadi meski aku mengitari sekolah, aku tidak sampai mengecek bangunan itu. Karena bangunan yang dideskripsikan mereka memang sangat tidak mencolok.
Lama aku menunggu. Hingga akhirnya Bapak Rohmat kembali. Lalu kami berangkat menuju tempat Rofi kemungkinan besar menunggu. Dalam perjalanan yang beberapa menit namun terasa seperti setahun itu, perasaanku benar-benar penuh ketidakpastian. Beragam pikiran dan prasangka buruk membayangi.
Hingga akhirnya kami sampai. Bangunan di sebelah sekolah itu rupanya digembok juga. Beberapa detik kemudian pintu pun dibuka. Bapak Rohmat memanggil nama Rofi berkali-kali.
Tidak ada jawaban. Lalu sesosok manusia nampak. Rofi! Aku lega sekali. Seolah batu besar telah diangkat dari dalam otakku.
Kuucapkan terima kasih kepada Bapak Rohmat. Lalu kuantar Rofi pulang ke rumahnya. Lain kali, jika memang ada lain kali, takkan kubiarkan Rofi sendiri lagi.
***