Dira mengucek-ucek matanya. Ups. Rupanya jam telah menunjukkan pukul empat. Cepat disingkapkannya selimut yang melingkupi tubuhnya, menggeliat sebentar, berdo’a, lalu bergegas bangun. Dengan muka masih terkantuk-kantuk, dia cebar-cebur sekenanya. Alhasil, lima menit saja mandinya selesai sudah. Sambil menggigil, dia mematut-matut diri di depan cermin. Lalu, seperti biasa, berteriak panik hingga membangunkan seisi rumah.
“Ummi. . . siapin sarapan ya. .”
Ummi rupanya masih tidur. Terpaksa bangun karena anak semata wayangnya itu. “Iyaa. .”
“Ummi. . . jilbab cokelat Dira mana?” lagi-lagi Dira berteriak.
“Di lemari bawah. . “
“Ummi. . . gamis bunga-bunga Dira kok gak ada ya?”
“Minta tolong Abi sana, sayang. . Ummi lagi masak nih..”
Jadilah Dira memanggil-manggil Abinya. Rupanya Abi masih tidur. Dengan tidak sabar dia mengguncang-guncang Abinya. “Bi. . Bantuin siap-siap. .”
“Ergh. . Iya.. “Abi langsung bangun. Lalu mencubit pipi anaknya yang chubby itu.
“Masih kurang apa lagi nih, Puteri?”
“Hehe. Bantuin cari gamis Dira, ya, Bi. .”
Jadilah keluarga kecil itu sibuk mengobrak-abrik seisi rumah demi persiapan anak tersayang mereka yang akan mengikuti seminar hari ini.
“Mukena sudah, mushaf sudah, alat tulis sudah, novel sudah, sarapan sudah,”Dira mengabsen satu-persatu isi tasnya. Lalu berteriak sambil memegang kepalanya,”OMG! Tiket!”
Lagi dia menggeledah kamarnya, dibantu oleh orangtuanya. Akhirnya ketemu juga. Dan jam telah menunjukkan pukul lima. Dira harus segera berangkat ke stasiun.
Dengan takzim, dia mencium tangan Abi dan Ummi.”Dira berangkat dulu, ya Bi. . Mi. . “
“Iya, sayang. . Ati-ati. Abi dan Ummi doain Dira selalu. . Ingat, niatkan setiap kegiatan karena Allah, ya Sayang. . Dan petiklah setiap hikmah yang ada dalam setiap langkah yang Dira ambil. .awali hari dengan 3 S, Syukur, Semangat, dan Senyuman. .dan S satu lagi, Sarapan. . “ Abi tak lupa memberi wejangan kepada anaknya itu.”dan satu lagi,” Umminya menambahkan,”Jangan lupa berdo’a ya, Sayang. . Oya, nanti pulangnya sebelum jam 6 ya. . Abi sama Ummi mau ke tempat Bulik. . Esta lagi sakit, nanti kita jenguk, ya, Sayang. .”
Dira mengangguk dalam.”Iya Bi. . Mi. .pokoknya nanti Dira sampai rumah sebelum jam 6. .”
Lalu dia menaiki motornya. Tersenyum pada orangtuanya. “Assalamu’alaikum . .”pamitnya.
Abi dan Ummi menjawab, sambil melambaikan tangan,” Wa’alaikumussalam, Sayang. .”
Dira memacu motornya dengan kencang. Di spedometernya jarum penunjuk mengarah pada angka seratus. Jalanan masih sangat lengang rupanya. Lampu jalan menerangi derapnya, seolah mengantarkannya ke tempat tujuannya. Dira bersenandung ria, meskipun giginya bergemeletuk menahan dingin yang merasuk hingga serasa tulang-tulangnya membeku. Jalanan berkabut dan berembun. Sang surya baru menebarkan bayangan jingga, dan geliat aktivitas baru akan dimulai. Dira tersenyum, membayangkan akan seperti apa seminar hari ini.
Dan tak terasa sampai sudah ia di stasiun. Dira celingukan. Pasalnya, dia belum melihat batang hidung teman-temannya. Olala, sepertinya dia kepagian. Dira menggerutu. Gimana sih, katanya ontime. .
Akhirnya dia membuka sarapannya, melihat lauk kesukaannya, ati ampela sambal pedas dan oseng-oseng kangkung, lalu mendekatkan hidungnya, menikmati aroma masakan buatan Ummi yang sangat sangat lezat. Dia menyantapnya dengan lahap, sendirian, di bangku stasiun di pojok. Di dekatnya ada pos satpam, sehingga dia tidak perlu khawatir ada preman-preman yang katanya sering mangkal di stasiun itu.
Akhirnya teman-temannya datang. Mereka bersalam-salaman, menanyakan kabar, dan bertukar cerita seputar persiapan pagi ini. Lalu kereta datang. Mereka bergegas masuk ke dalam gerbong, dan kereta pun bertolak menuju Solo.
Dira duduk dengan kakak angkatannya, Kak Indah. Cantik sekali, batin Dira. Anggun dan alim, tambahnya. Dia membandingkan dirinya sekilas. Lalu tersenyum sendiri. Beda sekali dengannya yang seenaknya, bandel, dan rame. Dira menyapa kak Indah,”Hai Kak. .”
Kak Indah tersenyum. “Pagi, Dek. .”
“Nanti duduk bareng ya, pas seminar. .”ujarnya.
“Boleh. .”
“Kak Indah mau baca buku apa?”tanyanya ketika kak Indah mengeluarkan buku dari tasnya.
“Prophetic Learning. Udah pernah baca?”
Dira menjadi antusias. “Udah, Kak. Bagus! Bikin semangat!” sahut Dira keras.
Serta merta kak Indah menatapnya,”Ssst. . jangan keras-keras ya Dek. .”
Dira langsung tergagap.”Oh. . iya. Afwan, Kak.”
Dira manyun. Lalu seperti biasanya, dia menikmati pemandangan persawahan di kejauhan. Dia memandangi bentuk-bentuk awan. Dan dia tertawa-tawa sendiri, melihat ada awan yang bentuknya mirip paha ayam, ada yang bentuknya mirip donat. Rasa laparnya serta merta terbit lagi. Bosan, dia mengeluarkan novelnya. The Harsh Cry of The Heron. Buku favoritnya sepanjang masa.
Dira membacanya dengan tekun. Mengimajinasikan setiap babak ceritanya. Kisah cinta antara Lord Otori Takeo dan Lady Shirakawa, pengkhianatan Arai Zenko, dan pengorbanan yang begitu besar dari Lady Shigeko. Hingga akhirnya ramalan kematian Takeo yang menjadi kenyataan: Mati di tangan puteranya sendiri. Lalu matanya mulai pedas. Dia menatap ke bangku di depannya. Rupanya Tari sedang menatapnya juga. Mereka tersenyum. Akhirnya mereka malah bercanda, tebak-tebakan tidak jelas. Lalu tertawa terbahak-bahak.
Ups. Tahu-tahu kak Indah mendesis ke arahnya.”Sst. . jangan berlebihan tertawanya, Dek. .”
Mereka seketika terdiam. Dira mulai merasa tidak nyaman. Lalu rona mukanya menjadi kusut. Sedih. Dia mengeluarkan pemutar musiknya, memutar lagu favoritnya. Lalu melanjutkan membaca.
Akhirnya mereka sampai di Solo. Begitu turun, telah ada bis yang akan mengantar mereka serombongan menuju tempat seminar.
Dira terpesona dengan acara seminar hari ini. Begitu syahdu dan Islami. Dia bersemangat mengikuti setiap sesi seminar. Dan dia duduk di sebelah kak Indah, seperti janji mereka di kereta tadi. Dan tiba-tiba di tengah sesi kedua, handphone-nya bergetar.
Dari: +628572xxxxxxx
Diraaa. . . . kamu ikut seminar ya?? Aku di sayap kiri. . . Cindy.
Dira celingukan gembira. Cindy! Sahabatnya semasa SMA. Dira hanya melihat siluet kabur orang-orang yang memenuhi auditorium. Pasalnya matanya minus cukup banyak, namun dia masih bandel untuk tidak mengenakan kacamata.
Tidak berhasil menemukan sosok Cindy di deretan ratusan orang yang ada di depannya, dia mengiriminya pesan,”Kamu di mana? Aku gak liat.”
Tak lama berselang, Cindy membalas,”Pake baju oranye.”
Dira menyipitkan matanya. Dilihatnya ada tiga orang yang mengenakan baju oranye. Tapi ada satu orang yang melambai-lambai ke arahnya. Aha! Itu Cindy!
Dira tersenyum lebar. Sangat bahagia. Air matanya hampir menitik.
Dia kembali fokus pada acara seminar, sembari tetap tersenyum. Ah, rasanya aku rindu sekali padanya, batin Dira.
Akhirnya break ishoma. Dira bergegas menghampiri Cindy. Lalu mereka berpelukan melepas rindu. Cindy, temannya yang sangat pintar, baik, dan bijak itu, ternyata tidak berubah. Dia malah terlihat semakin dewasa, batin Dira mencermati sahabatnya itu.
Lalu acara seminar dilanjutkan lagi. Tiba-tiba handphone Dira bergetar. Kali ini panggilan dari Ummi.
“Assalamu’alaikum, Ummi, ada apa? Dira masih seminar.”
“Esta, Sakitnya tambah parah. Sekarang dia di rumah sakit, Sayang. Nanti begitu acara seminarnya selesai, langsung pulang, ya. . Kita jenguk Esta bareng-bareng. .”
“Iya, Mi. . Dira usahain.”
Dira mengernyitkan dahi. Memutar otak bagaimana caranya bisa langsung kabur begitu acara seminar selesai. Tadi di awal acara dia sudah diwanti-wanti untuk mengikuti sesi foto-foto begitu acara ini usai. Dan akhirnya seminar pun usai sudah.
Dengan takut-takut, Dira meminta izin pada kak Indah,”Kak, aku pulang dulu, ya. . Sepupuku masuk rumah sakit. Aku diminta segera pulang. .”
Kak Indah masih tampak tenang, tapi nadanya berubah,”Dira, setelah ini masih ada acara foto-foto. Nanti pulangnya bareng-bareng, ya.”
Dira hampir saja kehabisan kesabaran.”Tapi ini penting, Kak. Aku juga udah janji bakal langsung pulang begitu acara seminarnya kelar. Lagian kalo pulangnya nanti-nanti, bisa-bisa aku kemaleman sampe rumah.”
Kak Indah masih belum mengizinkan. “Jangan egois, Dek. . kamu tadi datang ke sini bareng-bareng, jadi pulangnya juga harus bareng-bareng. Memangnya kamu bisa pulang sendiri? Kamu tahu jalan pulang?”
Dira terperangah. Egois? Aku berusaha memenangkan kalian berdua! Antara seminar dan kepentingan keluarga! Tapi mengapa aku dicap egois?? Dira hampir meledak. Tapi ditahannya semua kata-katanya.
“Tahu, Kak. Aku pulang sama Cindy. Dia orang sini. Dia yang akan memastikan aku sampai rumah dengan selamat. Aku janji. Maaf gak bisa ikut acara ini sampai akhir. Maaf gak bisa pulang bareng-bareng.”
Untungnya Kak Indah ternyata memperbolehkan,”Ya sudah. Hati-hati ya, Dek. . jangan lupa pamitan sama kak Shinta juga ya. .”
Dira langsung pergi setelah sebelumnya mengucap salam. Lalu dia menghampiri Cindy, menggamitnya menuruni tangga, sementara kak Indah mengikutinya dengan pandangan mata dan senyuman dari kejauhan.
Akhirnya mereka sampai di stasiun. Cindy memberi pengarahan singkat di mana membeli tiket, dan kereta mana yang harus ditumpangi.
“Makasi, ya, Cind. . Kamu baik banget. Assalamu’alaikum,”pamitnya sambil menyeka air mata.
“Iya. Dah, buruan,”Cindy tersenyum padanya.
Dira bergegas membeli tiket. Hampir saja dia ketinggalan kereta. Karena begitu dia naik, kereta tersebut langsung mengumumkan bahwa mereka akan segera berangkat. Leganya hati Dira, karena tak perlu menunggu satu jam lagi.
Dalam kereta, Dira termenung. Benarkah aku egois? Batinnya galau. Salahkah aku pulang duluan? Air matanya tak mau berhenti. Dia begitu terpukul. Dia merasa tidak siap diingatkan dan dikritik dengan cara demikian. Sikapku masih belum dewasa. Sikapku tidak anggun. Tingkahku belum mencirikan bahwa aku seorang muslimah, Dira mengutuki dirinya. Dia menginsyafi pikirannya yang penuh emosi tadi. Tidak pada tempatnya aku menjelaskan dengan penuh emosi, karena orang akan menjadi lebih sulit menangkap inti penjelasanku, Dira mengintrospeksi dirinya.
Dira sedih sekali. Terutama karena menyadari apa yang dikatakan kak Indah benar. Dia masih belum dapat mengendalikan sikapnya. Mengendalikan cara tertawanya yang kadang kelewatan. Dan, mengenai keegoisannya, dia menyadari terkadang egonya begitu kuat. Tapi, kali ini dia yakin, ini adalah pilihan langkah terbaik. Dia ingin memenangkan keduanya. Win-win solution. Mengikuti acara seminar hingga selesai telah berhasil dilaksanakannya, dan sekarang dia berpacu dengan waktu, memenuhi janji pada orangtuanya untuk pulang ontime pukul enam.
Dira tersenyum. Sekarang dia mengerti, begitu sulit menempatkan diri di mata orang lain yang baru dikenalnya. Dia berusaha memaafkan kesalahpahaman antara dia dan Kak Indah. Mengusir segala prasangka dan amarah. Kak Indah belum mengenalku, batinnya. Dan aku harus berubah mulai sekarang. Jadi wanita muslimah yang seimbang antara penampilan dan sikapnya. Aku ingin seperti kak Indah yang dewasa, cantik, dan pintar mengendalikan sikap, tekadnya.
Dira menuruni kereta sendirian, dengan air muka yang sendu, tapi dengan kesadaran baru: berubah menjadi lebih baik.
Singgasana Emas, Pukul 5: 28, 30 Mei 2010
Don't Ever Forget Why You were Born to This World!
Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .