Ilmu
yang bermanfaat seperti air yang mengalir,
Tak
ada putusnya, tak habis sepanjang masa
Aku mematung di hadapan
papan pengumuman itu. Suasana lengang, jam kantor sudah berakhir, namun mataku
tercenung membaca tulisan di kertas putih yang kusut itu. Ini dia, kesempatan
yang selama ini kunanti-nanti. Namun bulir keringat itu akhirnya menjejak
lantai, saat kueja kata-perkata, rupanya satu jam lalu pendaftaran sudah
ditutup. Bahuku melorot, dan aku berjalan meninggalkan tempat itu dengan gontai.
Apakah begini saja? Aku
bertanya pada diriku. Bahkan kesempatan itu tak sempat kucium baunya, tahu-tahu
sudah lenyap. Kugali kepingan harapan di masa lalu, ketika aku selalu terpukau setiap
kali menghirup kerasnya bau formalin yang menguar dari potongan daging
telanjang di hadapanku. Aku datang dengan keingintahuan yang selalu terpuaskan
oleh penjelasan detail dari para asisten. Aku datang dengan kebodohan yang
terhalau jauh-jauh setiap selesai praktikum anatomi.
Di sinilah aku
sekarang, sebagai mahasiswa tahun keempat yang berharap dapat membalas
jasa-jasa pengajarku dahulu. Aku ingin mengajar. Aku ingin bertutur seperti
seorang pendongeng yang menggerakkan hati dan pikiran pendengarnya. Tanganku
meraih telepon genggam yang tersembunyi di dalam saku tas gendongku. Setengah
putus asa aku mengirim pesan panjang lebar kepada beberapa orang yang aku tahu,
dokter-dokter yang dahulu pernah mengajarku. Inilah usaha terakhirku, tekadku.
Dokter, maaf
mengganggu. Saya Estianna, Pendidikan Dokter 2009. Saya ingin mendaftar sebagai
asisten anatomi, namun rupanya pendaftaran sudah ditutup. Apakah tidak ada
perpanjangan waktu lagi? Terima kasih.
Sebuah nomor membalas
pesanku dengan ramah,”Maaf, saya kurang tahu mengenai pendaftaran. Coba hubungi
penanggungjawabnya.”
Dari waktu ke waktu, semuanya
menanggapi dengan jawaban serupa. Namun di penghujung hari terdapat jawaban
yang membesarkan hati.”Silakan Dek. Dikumpulkan saja besok pagi.”
Seketika aku memekik
bahagia. Aku sedang memasuki kesempatan itu, dan akankah sampai di sini saja?
@@@
Hidup itu benarlah seperti tangga, setiap detiknya menentukan
tingkatan posisi kita. Seperti saat ini, aku sedang berada di ujung tangga, dan
hasilnya akan menentukan apakah aku dapat menjejak dengan mantap ataukah
terpaksa menggelinding jatuh. Aku memandangi papan tulis hitam di hadapanku.
Sementara itu tanganku saling meremas dengan gelisah. Lihatlah di sekitarku dua
puluh mahasiswa dengan kualitas terbaik, sementara aku, detik demi detik
dihimpit perasaan khawatir dan rendah diri.
Beragam pikiran berkecamuk dalam benakku. Ketika giliranku
tiba, detak jantungku berderap seperti kuda balap. Entahlah, aku hampir
melupakan semua yang kupelajari. Kegugupan ini benar-benar egois, bahkan aku
menjelaskan tanpa berpikir benar atau salah. Satu-satunya hal yang kuingat
adalah, kenangan ketika mendengarkan penjelasan asisten. Dan sebisa mungkin aku
berusaha untuk menampilkan kenangan itu.
“Baik, saya akan menjelaskan mengenai tengkorak atau cranium.
Cranium terbagi menjadi dua, yang atas ini disebut calvaria,”ujarku sembari
mengacungkan tangan kananku yang memegang calvaria.”Sedangkan yang ini disebut
basis cranii.”
Lama kemudian aku masih berkutat dengan tulang-belulang itu. Lima
menit yang diberikan ternyata terasa sangat lama. Aku hampir kehabisan bahan
cerita, dan banyak hal mulai terlupa. Akhirnya tanda waktu habis pun berbunyi.
Tidak, aku yakin sekali saat itu penampilanku bukanlah yang terbaik. Aku merasa
terjatuh dalam jurang yang tak bertepi. Benar-benar gagal rasanya. Mungkin sebagian
perasaan ini muncul karena aku tahu bahwa nilaiku sama sekali bukanlah yang
terbaik. Aku kembali ke tempat dudukku dengan lunglai.
“Kamu tampak gugup,”temanku, Arisa berkomentar.
Aku mengangguk, ya, aku pun merasa demikian. Pikiran rendah
diri yang sejak awal kumiliki mewujud menjadi kegugupan yang sebisa mungkin
kusembunyikan dalam suara lantangku tadi. Ah, banyak yang bilang seharusnya
harapan sekecil apa pun tetap ada. Namun dalam hatiku, harapan itu sudah pupus.
Lihatlah, belasan orang yang memiliki IPK lebih baik dariku, padahal kesempatan
yang ada hanya untuk delapan orang, tentu dari situ saja aku sudah kalah.
Aku memandang langit
sore itu, gelap. Segera kutepis semua perasaan yang berkecamuk hari itu dan
beranjak pulang. Mungkin Tuhan memiliki rencana lain.
@@@
Ibu sudah pulang rupanya. Gemuruh guntur susul menyusul, dan
langit gelap, seolah memendam beban berat yang belum dicurahkan. Tak lama
kemudian hujan deras mengguyur rumahku. Ya. Rumahku yang selalu menjadi tempat
berteduh, namun di kala hujan, aku harus bergegas memasang ember-ember untuk
menadah air yang menyelinap dari atap. Aku menghampiri ibuku yang sedang
berbaring, dan kuceritakan pada ibu,”Tadi aku seleksi microteaching anatomi Bu. Penampilanku rasanya sangat buruk.”
Ibu mengangguk-angguk, sebagai guru, tentu ibuku paham
bagaimana rasanya mengajar. Dan Ibu pun mulai bercerita,”Pertama kali mengajar
di depan murid, Ibu juga merasa gugup. Tapi sebisa mungkin ibu menyampaikan apa
yang Ibu tahu. Lagipula, segala sesuatu tak melulu dinilai dengan menang atau
kalah. Kamu sudah mencoba, dan itu menjadi pengalaman berharga yang tak
dimiliki orang lain.”
Aku tersenyum, sedikit terhibur. Setidaknya aku adalah anak
ibuku, dan rasanya aku sudah berusaha sebisaku untuk menyampaikan apa yang
kuingat.
Ibu melanjutkan,”Ibu tak masalah apabila kamu menjadi asisten
atau tidak. Kamu sudah menjadi mahasiswa kedokteran saja Ibu sudah bahagia.
Karena selama ini banyak yang meremehkan Ibu, bisakah Ibu menyekolahkan kamu
hingga seperti ini? Dan Ibu juga sering bertanya, bisakah Ibu? Lihatlah,
kenyataan melampaui pikiran Ibu, dan juga melampaui pikiran orang lain. Karena
Ibu selalu berdo’a dan bermimpi untukmu.”
Aku mengusap air mata yang menggenang. Lalu kubisikkan pada
hatiku untuk menelisipkan sedikit do’a dan harapan agar hasil seleksi tadi
menjadi lebih baik.
@@@
Satu minggu berlalu, aku sudah hampir melupakan seleksi
anatomi yang ternyata diumumkan hari ini. Tiba-tiba saja, Arisa yang kemarin
ikut seleksi bersamaku mendatangiku dan menyalamiku. “Selamat ya.. Kamu
diterima sebagai asisten anatomi.”
Aku terkaget-kaget. Benarkah? Ibu benar rupanya, do’a dan
harapanku terkabul. Hatiku penuh dengan sukacita. Ternyata tak ada gunanya
memandang rendah pada diri sendiri meski nilai jelek atau penampilan terasa
kurang. Karena penilaian itu sesungguhnya datang dari orang lain. Jadi, percaya
dirilah, maka hasilnya pasti akan lebih baik jika kita percaya diri,
dibandingkan jika merasa rendah diri.
Tak terasa beberapa hari setelah pengumuman itu aku mulai
mengajar. Sobotta yang hampir satu tahun teronggok tak berdaya kini mendekam
dalam tasku. Jemariku menelusuri dinding lorong yang dingin dan lembab. Bau formalin
mulai masuk ke dalam rongga dadaku. Setiap langkah aku berbisik pada diriku,
aku pasti bisa. Dan beberapa wajah adik kelas yang berpapasan denganku
menyunggingkan senyum lalu menyapa, “Mari Dok..”
Hatiku membuncah bahagia. Panggilan itu, panggilan yang salah,
namun aku menikmatinya. Tapak kakiku memasuki ruangan asisten yang telah
dipenuhi oleh dokter-dokter. Awalnya aku masih merasa kikuk ketika berinteraksi
dengan dokter-dokter itu. Namun perlahan-lahan, setelah bersama beberapa lama suasana
mulai mencair. Panggilan dokter yang dahulu selalu kupakai, mulai tergantikan
dengan panggilan “Mbak” atau “Mas”. Aku merasa memiliki kakak-kakak yang
mengajariku dengan sabar dan baik hati.
“Kamu turun ya,”ujar Mas Dito,”Aku mau jadi admin dulu.”
Aku mengiyakan. Semalam aku sudah belajar hingga
terkantuk-kantuk. Aku mendatangi sebuah meja yang dikelilingi sembilan
mahasiswa. Tiba-tiba ada panggilan dari meja sebelahnya,”Sini saja Dok, sini
saja.”
Aku tersenyum. Kemarin memang aku mengajari mereka, dan senang
sekali melihat tanggapan mereka yang antusias mengharapkanku untuk kali kedua.
Lalu aku menyambut panggilan mereka,”Okee..”
Begitulah, siapa sangka nilai tinggi ternyata bukan jaminan
diterima menjadi pengajar. Dan siapa sangka sebenarnya nilaiku biasa saja,
bukan yang terbaik. Seperti keajaiban kan? Semoga ini dapat menjadi batu
loncatan di masa depan. Semoga ini dapat menjadi amal jariyahku yang tak
putus-putus. Ada satu hal yang menarik selama menjadi asisten anatomi. Semua
mahasiswa belajar hanya berfokus pada pretest, padahal bukan itu esensinya.
Laporan yang sempurna dan benar pun sebenarnya sangat penting. Banyak sekali
kesalahan tulis pada laporan karena ternyata hasil menyontek. Selain itu,
banyak keluhan bahwa anatomi seolah-olah tak mudah menempel di ingatan. Ya.
Sebagai masukan, sebaiknya belajarlah dari modul praktikum yang dicocokkan
dengan gambar-gambar di Sobotta. Hal itu akan membuat anatomi tak mudah terlupa
begitu saja, karena memahami dan menghapal mentah-mentah adalah dua hal yang
berbeda jauh.
Apakah sampai di sini
saja? Tidak. Bagiku, impian itu seperti tembang yang harus selalu kudendangkan.
Begitu pun dengan kalian, bermimpilah untuk hari ini. Bermimpilah untuk satu
jam ke depan, untuk satu detik di depan mata. Karena harapan itu selalu ada. Lagipula
usaha kita berbanding lurus dengan harapan, impian, dan do’a kita. Dan mimpi
terbesarku adalah menjadi dokter yang mengajarkan ilmu, dan juga mengajarkan
kebaikan. Apa impian kalian?
@@@