Saat
itu dini hari. Jarum jam menunjuk ke angka dua dan bergerak detik demi detik.
Aku masih berselimutkan alam mimpi, berlari-lari di antara indahnya pelangi dan
bunga-bunga dengan aroma semerbak yang berwarna-warni. Tiba-tiba semuanya buyar
oleh sentuhan dingin di ujung kakiku. Tangan itu benarlah tangan manusia. Aku
langsung terduduk, dengan kepala yang sangat pusing karena belum sepenuhnya
sadar.
“Ada
apa?” gumamku. Pandanganku masih kabur karena sebenarnya aku baru tidur dua jam
yang lalu. Dengan meraba-raba aku meraih kacamata yang ada di meja belajar.
Rupanya tetanggaku, Pak Dirjo dan Bu Dirjo yang menggendong anaknya.
“Naufal
demam dan ada bercak-bercak di kulitnya,”sahut Pak Dirjo dengan muka pias. Aku
menyentuh dahi Naufal, dan memang demamnya cukup tinggi. Pantas saja ibuku
mengizinkan mereka membangunkanku pada jam-jam segini.
Segera
kuambil termometer yang ada di dalam kotak peralatan medisku. Lalu kusentuhkan
pada dahi Naufal. Astaga! 38 derajat celcius! Aku memandangi Naufal, lalu
menyapanya, mencoba mengajaknya berinteraksi sedikit. Untunglah ia masih sadar.
Kemudian kuambil penlight dan kuarahkan pada wajah Naufal. Bercak di kulitnya
tampak sangat jelas, memenuhi setiap jengkal kulit wajah dan lehernya.
Aku
memutar otak sembari memeriksa kondisinya. Apa yang harus kulakukan di saat
seperti ini? Gelar dokter pun belum kukantongi, dan statusku masih menjadi
mahasiswa tahun ketiga. Saat itulah Ibu Dirjo menyodorkan bungkusan plastik
kepadaku. “Mbak, selama ini, ini yang saya minumkan pada anak saya.”
Aku
sedikit terkejut begitu membuka plastik itu. “Obat warung, Bu?”
Bu
Dirjo mematung. Ia hampir membuka mulut ketika Pak Dirjo menyela,”Saya yang
membelikan, Mbak. Saya kira obat itu bisa diminum siapa saja.”
Kepalaku
bertambah pusing. Inilah masalahnya, dan sangat sering kujumpai. Keluarga
semacam ini membutuhkan penjelasan, dan inilah satu-satunya yang mampu
kulakukan sekarang, batinku.
“Mari
Pak, Bu, kita berbicara di ruang tamu saja.”
Kami
beranjak ke ruang tamu. Orang tuaku melanjutkan istirahatnya, sementara aku
pergi ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka. Pak Dirjo sesekali memandangi
anaknya dengan bulir-bulir keringat yang menetes satu persatu. Bu Dirjo
mengusap dahi Naufal yang mengerang kesakitan.
“Begini
Pak, Bu. Jadi sebenarnya awalnya Naufal kenapa?”
Bu
Dirjo menjawab dengan suara bergetar,”Kemarin batuk-batuk dan demam. Kemudian
saya beri obat itu tiga kali sehari. Tapi tiba-tiba muncul bercak kemerahan di
tubuhnya.”
Aku
mengangguk-angguk mendengarkan keluh kesah mereka. Rasanya sedih sekali.
Kebanyakan orang yang aku jumpai tidak pernah memeriksakan keluhannya ke
dokter, yang terpenting adalah obat. Dan bagi mereka, obat itu dapat berupa apa
saja, asalkan pernah digunakan, dan pernah menyembuhkan.
“Sudah
ke dokter, Bu?”tanyaku lembut.
Bu
Dirjo berpandangan dengan suaminya. Lalu menjawab dengan lirih,”Kami takut,
Mbak. Kami tak ada uang.”
Aku
mencoba menatap mata mereka. Dan kutemukan rasa ketidakberdayaan itu.
Tatapan-tatapan sendu cerminan negeri ini. Aku terlalu sering melihatnya, dan
setiap kali mendapati pancaran mata itu, hatiku sakit. Apa yang akan aku
lakukan kelak? Akankah mereka merasa tak berdaya di hadapanku? Akankah mereka
takut aku merampas satu-satunya keping uang yang mereka miliki?
Aku mengusap wajahku. Lalu terpekur
beberapa saat, hingga akhirnya aku melanjutkan bicara. “Pak, Bu. Saya hanya
bisa memberi saran, sebaiknya pagi ini juga Bapak membawa Naufal ke Puskesmas.
Saya yakin keluarga Bapak dilindungi oleh asuransi kesehatan negara ini. Jadi
Bapak tidak perlu khawatir mengenai biaya. Dan untuk kondisi Naufal, ada
baiknya obat warung tadi jangan dilanjutkan. Kemungkinan obat itu kurang sesuai
untuk Naufal. Sementara ini Ibu bisa memberi kompres hangat dan banyak air
putih.”
Aku memandang lurus ke matanya, dan
mencari secercah harapan yang dapat kupegang. Kusentuh punggung tangan Bu
Dirjo, lalu berkata dengan lembut,”Jika Tuhan mengizinkan, Naufal akan sehat
seperti sediakala, Bu. Ibu cukup berusaha dan berdo’a yang banyak.”
Bu Dirjo mengangguk. Tak lama
kemudian pasangan itu pun undur diri. Bu Dirjo meremas tanganku sambil
terisak,”Terima kasih Dek. Maaf mengganggu di saat seperti ini. Saya doakan
semoga Dek Nisa bisa menjadi dokter yang mampu mengobati pasien-pasiennya kelak.
Mampu menyembuhkan orang-orang yang sakit di masa depan..”
Aku tersenyum.”Amiiin. Tetapi Ibu,
saya tidak bisa memberikan kesembuhan. Saya bukan Tuhan. Tangan ini hanya
perantara-Nya. Kesembuhan itu sempurna berasal dari Yang Di Atas.”
Keluarga itu pun berpamitan lalu
hilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian, aku tercenung dalam
remang-remang lampu kamar. Hariku diawali dengan sebuah refleksi, akan jadi
dokter seperti apakah aku kelak? Akankah aku mampu menaungi jiwa dan raga
orang-orang yang menderita di sekitarku?
@@@
Beberapa hari kemudian, Naufal sudah
tampak ceria dan sehat seperti sediakala. Aku tersenyum sembari melambaikan
tangan dari halaman rumah. Seperti biasa, setiap hari Rabu dan Sabtu aku
menjadi asisten praktikum anatomi di kampus. Pagi ini pun demikian. Dinginnya
udara pukul enam merasuki tulang dan membekukan bibirku. Embun menetes dari
dedaunan yang menaungi jalan dan memburamkan kaca mataku. Ya, perjalanan ke
kampus memakan waktu hampir satu jam, dengan menerobos hutan dan menjajaki kaki
bukit yang masih perawan.
Aku berjalan di sepanjang lorong
gelap laboratorium anatomi. Tapak-tapak kakiku terpantulkan di sekujur dinding
dingin nan lembab itu. Lihatlah di depan sana, bahkan ketika pintu belum dibuka,
adik-adik kelas calon dokter itu begitu antusias untuk belajar. Mereka
bergelosotan di lantai yang aku yakin sangat dingin dan kotor. Aku tersenyum ke
arah mereka dan mempersilakan mereka masuk untuk memulai praktikum.
“Selamat pagi, Adik-adik. Sekarang
kita akan belajar praktikum anatomi ya. Sebelum praktikum, alangkah baiknya
apabila kita berdo’a terlebih dahulu demi kelancaran pembelajaran kita. Setelah
itu kita pretest ya. Berdo’a dipersilakan.”
Setelah pretest, aku mendatangi satu
meja yang dikelilingi beberapa mahasiswa. Antusiasme dan ketertarikan itu
terpancar dari berpasang-pasang mata yang berbinar. Aku tersenyum bahagia. Lalu
kupegang benda manusia yang telanjang di hadapanku dan memulai pelajaran dengan
lantang,”Adik-adik, tahukah kalian betapa hebatnya organ ini? Mari kita
pelajari bersama setiap bagiannya.”
Aku menjelaskan setiap detail bagian
dari otak manusia, dan seketika aku teringat akan kejadian Naufal dan
keluarganya. Kemudian aku bertanya, kepada adik-adik kelasku itu.”Nah, sekarang
ada kondisi, misalnya kalian sudah menjadi dokter, dan ada pasien datang tengah
malam ke rumah kalian membawa anaknya yang kesakitan. Apakah kalian akan
membantunya atau mengabaikannya?”
Aku memandangi wajah-wajah polos itu
satu persatu. Ada hal penting yang harus mereka tahu di samping semua hal
berbau medis dan eksak. Inilah salah satunya. Sesuatu mengenai hati dan moral
luhur. Dan aku memiliki andil untuk menyampaikannya. Tak berselang lama, seseorang
yang duduk paling jauh dariku menjawab dengan lantang,”Membantu!”
Lalu
jawaban yang sama susul menyusul. Aku tersenyum lebar, lalu bertepuk
tangan.”Selamat! Ternyata kalian semua memiliki sistem limbik di otak kalian,
dan rupanya berfungsi dengan sangat baik. Sistem limbik inilah yang berperan
sebagai otak emosi, otak perasaan, seperti sedih, senang, takut, marah. Dan
sistem limbik juga menghasilkan perasaan kasih sayang dan welas asih, seperti
keputusan kalian pada pertanyaan saya tadi.”
Dan praktikum hari itu berakhir
dengan kelegaan karena aku berhasil menyampaikan pesan mulia itu. Sebagai
mahasiswa kedokteran, aku pun terjun di kegiatan BEM dan organisasi kerohanian
Islam. Selain itu, aku juga senang berbagi ilmu kepada teman maupun kepada adik
kelas di laboratorium. Aku benar-benar memimpikan suatu saat kelak aku tak
sekedar menjadi dokter, namun juga mampu mengajarkan kebaikan dan ilmu yang
bermanfaat. Aku ingin menjadi pendidik, yang mengajarkan nilai dan moral yang
mulia. Aku ingin menjadi pelindung orang-orang lemah itu. Mencegah mereka dari
kesakitan, menjauhkan mereka dari duka, dan menjadi perantara Tuhan untuk
menyampaikan bahwa segala sesuatu ada penawarnya kecuali kematian. Dan satu
lagi, aku akan melindungi keping-keping uang mereka, bukan malah merampasnya.
Apa
impian kalian?
@@@