twitter


Si Manis
Semua kucing yang pernah kumiliki kunamai manis. dan aku yang memang sejak kecil terlahir sebagai seorang yang melankolis dan lebai, pernah membuat cerpen tentang si manis generasi 1.
kalo si manis di foto itu mah generasi 5, dan sekarang entah nasibnya gimana. sepertinya semenjak aku pindah dari rumah simbah, si manis generasi 5 juga ikut minggat.

dulu waktu aku kecil, aku punya si manis generasi 1. nasibnya kuakui sungguh malang. tiap hari kutunggangi hingga eongannya tercekat dan matanya melotot-melotot. dan ketika dia memutuskan untuk kabur dari rumah, yang baginya seperti sarang harimau, eh, dia malah masuk sarang buaya. alias. dia menemui ajalnya dengan naas. dia tertabrak mobil yang lalu lalang di jalan depan rumah.
kasian si manis. setelah 5 tahun yang dia habiskan di rumahku hingga beranak pinak sampai 4 generasi, akhirnya tidak semanis namanya. saat itu aku yang masih kecil, menangisi dia. meski aku terkadang kejam, tapi dalam lubuk hatiku terdalam aku menyayanginya.
huhuuhu

si manis generasi 11

Akhirnya ketika aku SMA, aku punya si manis generasi 11. sayang eksistensinya di rumahku tidak bertahan lama. kucing ini diberikan oleh teman SMAku namanya Wanda. nah, kata Wanda, si manis generasi 11 ini tuh ndemenakke. tapii. .

sehari di rumah, prahara besar menghantui gara-gara si manis ini. dia boker di sembarang tempat. yah, mungkin bukan kesalahan dia sepenuhnya sih. mungkin emang rumahku terlihat seperti toilet terbuka atau dia memang belum terbiasa.
dia boker di karpet, di kursi, dan yang paling parah, dia pup di kamarnya ibu.
langsung lah, tiga hari kemudian, dia diungsikan ke dusun tetangga, dimasukkan dalam karung. hehehe.
kasian nanti yang nemuin tuh karung berisi si manis generasi 11, dapat jackpot pup kucing setiap hari.
dan sekarang. . aku lagi gak miara hewan apa pun.
sepertinya aku memang tidak berbakat memiliki piaraan.
sebelum si manis generasi 11 ini aku punya piaraan tikus marmut. eh, belum ada 24 jam, dia uda mati diterkam kucing tetangga. ganti bulan, aku miara tikus lagi, eh, dia malah lepas entah kemana.
ah, yasudah. semoga amal dan ibadah semua mantan piaraanku itu diterima di sisi-Nya. amin. .


Perjalananku kali ini adalah. .
 Jawa Barat.

Bosscha!!!
Ahahaha. Bosscha!!!! malam hari sekitar pukul delapan kami tiba di Bosscha. dingin dan senyap mencekam. namun semua itu tak sebanding dengan pengalaman yang kami dapat di dalam sini.
pertama kali aku pegang teleskop raksasa ini. tapi ternyata teleskop ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan teleskop-teleskop di luar negeri. ah, memang negeri kita ini sedikit tertinggal.
aku ingat, dulu kami mengamati satelit-satelit di sekitar Uranus. hohoho. yang terucap saat itu hanyalah syukur dan takjub. Allahu Akbar!
lalu. . perjalanan kedua di Jawa Barat adalah. .
Tangkuban Perahu

Di sini. . huaahh!!! sangat lah keren. .
pengalaman mencemplungkan telur ke sumber air panasnya hingga matang. . hehehe. kalo aku yang nyemplung gimana jadinya ya?
lalu ke pusat-pusat perbelanjaannya. . semuanya lah. maklum. sebulan di bandung, tanpa kerjaan jelas. hehehe. jelas dink.
yah. . gak menarik dah. di mana-mana yang namanya toko atau mall ya gitu-gitu aja. hoho. not so fascinating and attractive. . .
lalu. .
ke pangandaran. . menikmati senja. .
oh senja. . aku selalu jatuh cinta pada senja. di mana pun senja itu berada.
Senja. .
Fotonya damaged, tapi tetap saja indah. .
senja memang memukau dan menghipnotis. rasanya tiap menikmati senja, hari-hari ku berlalu dengan cepat dan inilah akhirnya. entah mengapa setiap menghayati senja, air mataku memaksa keluar.
entah karena memang senja seolah-olah menggambarkan titik zenith di mana aku harus beristirahat untuk segala kepenatanku menjalani hidup. .
gak tau juga. rasanya aku ingin melihat senja dengan partikel cahayanya yang menghilang terbenam perlahan-lahan setiap hari.
setiap sore. meski kering air mataku, tetap saja kerinduanku akan senja tak terobati. .


anna kiki
Kiki adalah sahabatku sejak SMA hingga sekarang. sahabatku yang spesial. yang rame, lucu, cantik, manis, dan ceria.
kami berkenalan ketika hari pertama pendaftaran SMA. saat itu kami duduk bersebelahan. biasa lah, sesama orang bantul, ada chemistry yang spesial hingga kami bisa secara kebetulan duduk bersebelahan.
lalu dia, yang berasal dari SMP 2 Bantul, menyapaku.
saat itu dia belum menanyai namaku. tapi dia tau-tau langsung bercerita. dia bilang, dia punya teman namanya Anki.(Anki ini sahabatku sejak SMP). lalu dia melanjutkan, Anki ini punya temen namanya Anna yang katanya mau daftar di SMA 1 juga. tapi si Kiki ini gak tau yang mana orangnya. katanya, kan lumayan kalo sejak awal bisa kenal dan dekat, ke depannya bersekolah di tempat sejauh ini jadi terasa ringan deh, katanya.




Anna Kiki yang cantik  :)





aku menahan ketawa saat itu. salah sendiri gak tanya-tanya nama dulu.
terus aku mengulurkan tangan, kik, kenalin, aku Anna. hehehe
dia langsung melongo. sebenarnya banyak hal yang dia ceritakan tentang aku. aku heran, ternyata aku lumayan famous, sampe -sampe ada orang yang gak aku kenal bisa tau aku sedetail itu.
dan sejak saat konyol itu, jadilah kami sahabat dekat. .
Persahabatan adalah jalinan yang pantang putus


"Welcome to Makassar,"said The Cock
Sekitar dua tahun yang lalu sang ayam jantan menyapaku. betapa manisnya negeri ayam jantan dari timur itu. dan betapa tak terlupakannya kenangan indah di sana.
di pantai Losari misalnya. meski pantainya memang sekarang penuh kotoran dan limbah minyak, kejayaannya di masa lampau masih tampak bekas-bekasnya.
Losari Beach in evening
Lalu aku pergi ke Bantimurung. objek dengan gua karang dan batunya yang begitu memukau. yang begitu kaya dengan jutaan spesies kupu-kupu yang anggun dan cantik. serta air terjun yang hunjamannya sejuk menyegarkan kulit yang penat setelah perjalanan panjang.
Gua Bantimurung

manstap! aku menelusuri alur dalam gua yang gelap. rintik air tanah yang merembes dari stalakmit dan stalaktitnya membuat aroma khas yang menguar meresap ke dalam rongga paru-paruku.
Fort Rotterdam, yang gak jauh beda ma Vredeburg Jogja-kuuu

dan perjalanan terakhir adalah Fort Rotterdam. benteng kemenangan Pattimura sang Pahlawan Makassar.

seruuu. . seminggu di Makassar benar-benar unforgettable moment. . . hoho. kapan lagi aku bisa ke sana ya?
semoga segera . . amiin. .


Masa kelulusan adalah masa yang paling indah. apalagi lulus dari SMA. perasaan yang menggelegak antara bahagia, lega, namun sedih dan takut bercampur menjadi satu.
nah, pasti salah satu hal yang gak bakal terlewat dari kenangan masa kelulusan adalah foto kelulusan.


yayan, anna, mutia in action. :D


 adegan di atas sebaiknya jangan ditiru. hehehehe. daripada nanti dibalang pake pacul sama pak yang terpotret di belakang tuh. hehehe.
mungkin kejahiliyahan ini juga yang membuat karirku tidak sesukses teman-temanku yang lain.
ah, tapi bodo amat. yang penting sudah pernah menginjakkan kaki di UI selama dua hari.
Pojok UI
 Nah. memang tanaman di atas tampak familiar bukan? tapi backgroundnya spesial. yah, tidak usah dibahas lagi. aku jadi terngiang-ngiang masa lalu yang begitu manis. haiah lebai.

dan akhirnya sekarang saya bangga dengan almamater baru saya yaituuu. . jreng jreng. .

mahasiswa antusias berdemonstrasi

inilah pernik kecil yang membuat aku akhirnya bangga juga berada di tempat ini. betapa teman-temanku dengan semangatnya yang menggelora berjajar-jajar dan meneriakkan jargon-jargon kemenangan demi membela saudaranya di Palestina.
dan Bapak berjubah putih di sebelah kiri itu, dengan bangga aku akui sebagai dosenku. hohohoho.

aku sadar sepenuhnya, bahwa masa depanku ada di tanganku, bukan ada di telapak kaki almamater. jadi, mari kita sama-sama saling menerima dengan kerendahan hati dari mana pun kita berasal dan dari jurusan apa pun kita berada saat ini.  persaudaraan memang mengenal perbedaan, namun tidak mengenal perselisihan, apalagi kecongkakan hati antara satu dengan yang lain.

aku adalah Estianna Khoirunnisa, yang kuliah di universitas swasta, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.









Rofi sedang berpose saat pengajian PPPA

Namanya Rofi. Nama lengkapnya Rofi’ah. Di kampungku dia lebih populer dipanggil Rofi, sementara di sekolahnya, dia lebih dikenal sebagai Rofi’ah.
Semenjak kelas tiga SMA, aku sering berpapasan dengannya di pinggir jalan besar tempat perhentian bus. Badannya yang ramping – kata yang kuhaluskan untuk menyebut badan kecilnya yang kurus dan kerdil. Matanya yang juling, dan fokus matanya yang bergeser sehingga untuk membaca tulisan di depan mukanya membuat dia harus menelengkan kepala kecilnya ke samping.
Lantas, kuketahui dua tahun kemudian, kelainan apa yang diderita tetanggaku itu. Nama kelainannya adalah trisomi 21, atau sindrom Down.
Aku begitu antusias mencari informasi mengenai kelainan kromosom yang satu ini. Dan satu fakta yang membuatku terhenyak: Penderita sindrom Down sangat jarang yang mampu bertahan lebih dari 50 tahun.
Perasaan iba dan berdosa tiba-tiba menyeruak. Tahun ini Rofi menginjak usia 27 tahun, sudah memasuki paruh kedua usia prediksi maksimal bagi penderita sindrom Down. Kembali kuingat, dulu, karena tergesa-gesa, kuturunkan Rofi di belokan yang masih jauh dari sekolahnya. Saat itu, aku berpikir, Rofi kan sudah terbiasa jalan dari sini. Kali ini dia jalan juga gak masalah. Aku uda telat, nih. Saat itu aku belum tahu fakta bahwa jasmani penderita sindrom Down itu sangat lemah karena organ-organnya memang tidak berdiferensiasi secara sempurna, terutama jantungnya.
Lain hari, aku dimintai tolong meng-sms-kan gurunya pesan bahwa dia tidak berangkat sekolah karena tidak enak badan. Aku sudah mengetik pesan yang dia inginkan, lalu ketika dia mengeluarkan buntalan kertas yang berisi nomor gurunya, aku meringis. Rofi menggelengkan kepalanya, lalu mengeja tulisannya sendiri dengan susah payah. Nol. . satu. . delapan. . nol. . satu. . nol. . nol. . empat. . Sembilan. . nol. . tiga. . enam. . satu. . tujuh. . nol. . tujuh. . satu. . nol. .
Delapan belas digit nomor handphone. Saat itu aku memutar-mutar handphone-ku, lalu mengulurkan tangan untuk menyalin nomor yang dia tulis. Setengah sangsi smsku bakal terkirim, karena setahuku, digit maksimal nomor handphone tahun 2008 tuh cuma 12, akhirnya aku bermain gambling. Mengambil dua belas nomor yang ‘mirip’ nomor handphone. Kebanyakan tidak terkirim.
Sedikit bĂȘte, saat itu, aku bilang ke Rofi, nomornya salah. Gak bisa dikirimi sms.
Rofi tetap ngotot. Dan aku, setelah itu tidak mengungkit-ungkit sms itu berhasil atau tidak. Ketika ditanya, aku jawab aja, udah aku kirim.
Aku mengutuk diriku saat itu. Sikapku yang begitu tidak manusiawi. Bagaimanapun, tetanggaku adalah keluargaku juga. Andai sejak dulu aku tahu bahwa IQ penderita sindrom Down tidak lebih dari 70, pasti saat itu aku akan lebih sabar dan memahami, bahwa mampu menuliskan angka saja sudah merupakan suatu pencapaian besar untuk ukuran penderita sindrom Down.
Masih dapatkah aku memperbaiki kelalaianku di masa lalu? Meski aku tahu pasti dia sudah lupa betapa jahatnya aku dulu sebagai seorang yang seharusnya bersikap lebih baik lagi.
***

Bulan Ramadhan tahun 2010, seperti biasa, aku ikut tarawih. Udah memasuki malam keduapuluh. Seperti biasa, semakin akhir Ramadhan, semakin ngantuk rasanya di tiap rakaat shalat Tarawih. Seperti biasa pula, sehabis shalat tarawih, kami mengaji bersama. Namun, malam itu tidak biasa. Rofi, yang memang senang menjejeriku waktu shalat, sehabis mengaji, dia merangkak ke arahku. Lalu mengatakan sesuatu yang lebih mirip gumaman. Aku beringsut mendekatinya, lalu memintanya mengulangi perkataannya.
“Mbak Anna, besok anterin buka bersama di sekolah ya. Habis ashar,”serunya terbata-bata.
Aku gamang. Jawab gimana ya. Pasalnya besok aku ada buka bersama MISC juga. Gak enak sama temen-temen kalo gak nongol. Tapi, kasian juga Rofi kalo aku gak mengiyakan. Ya udah lah, toh MISC tanpa aku pun tidak masalah, tapi kalo Rofi tanpa aku, kasian, nanti ibunya juga kerepotan. Ibunya, yang sudah tua, terkadang mengantar Rofi ke sekolahnya yang berjarak sepuluh kilometer. Jarak sejauh itu, di zaman sekarang mana ada yang mau bersusah payah mengayuh sepeda untuk menempuhnya. Tapi, Ibu Rofi bersedia. Bukan karena ingin menghemat bensin sepertiku sehingga terkadang memilih untuk membonceng teman alih-alih mengendarai motorku sendiri. Tapi karena kendaraan yang dia punya hanyalah sepeda itu.
Sepeda lusuh yang setiap pagi dikendarainya untuk berjualan di pasar. Uban yang telah mewarnai rambut Uwak Darto tidak membuatnya berhenti bekerja. Tentu saja dia masih dan selalu mempunyai tanggungan nyawa yang mesti dia hidupi, Rofi ini. meski anak-anaknya yang lain sudah dewasa dan sudah mampu mencari nafkah sendiri, tetap saja secara naluriah dia tahu diri untuk tidak merepoti anak-anaknya yang lain yang sudah memiliki tanggungan hidup sendiri.
Aku terdiam sebentar, lalu aku jawab,”Ya. Besok kuanterin. Besok habis ashar, ke rumahku ya.”
Seketika senyum yang begitu polos terkembang di wajahnya. Aku membalas tersenyum. Lalu satu-persatu kami pulang ke rumah masing-masing, mendatangi ranjang empuk untuk mengistirahatkan raga agar siap menyambut esok fajar.
Paginya, aku takut Rofi lupa akan kesepakatan kita semalam, lantas aku mendatangi rumahnya. Di pintu depan, Uwak Darto sedang menyiapkan dagangan di atas sepeda yang akan dikendarainya menuju pasar.
Uwak Darto menyambutku dengan raut muka terkejut. Yah, wajar sih. Seperti celetukan Uwak Darto,”Tumben Mbak Anna. Ada apa?”
Aku tersenyum,”Mau ketemu Rofi, Wak.”
Uwak Darto menunjuk ke bagian belakang rumahnya.”Coba tengok di dekat sumur, Mbak. Rofi sepertinya sedang mencuci.”
Aku beranjak ke arah telunjuk Uwak. Di sana aku jumpai Rofi sedang menimba. Subhanallah. . dia tidak tampak sakit-sakitan seperti yang divoniskan oleh teori para pakar di berbagai literature.
Aku memastikan ulang, bahwa nanti sore aku jadi nganterin dia buka bersama. Itu saja. Lalu aku kembali pulang. Lewat di serambi rumahnya, Uwak Darto menanyaiku lagi, ada urusan apa dengan anak bungsunya itu.
“Em. . tadi malam saya diminta Rofi untuk mengantar dia buka bersama di sekolahnya. Ini tadi saya hanya memastikan saja.”
Uwak langsung berkaca-kaca.”Oh. . Uwak pikir ada apa. Syukur, Alhamdulillah ada yang nganterin Rofi. Daripada Uwak anterin naik sepeda. Besok kamu ikut pengajian dan buka bersamanya sekalian aja ya. Nanti pulangnya bareng lagi.”
Aku mengiyakan, lalu pamitan. Lantas aku berjalan pulang, dan berangkat ke kampus untuk kuliah pagi.
***

Yang membuat aku mengagumi Kamila, adalah karena dia memang berjiwa pemimpin, dan pantas menjadi pemimpin. Aku suka kebijaksanaannya, kemampuannya, serta kemauannya mendengarkan alasan bawahannya di MISC. Seperti kasusku hari ini. Setelah kuliah pertama, perlahan kuhampiri Kamila yang selalu duduk di barisan depan. Lalu aku berkata kepadanya,”Mil, nanti sore sepertinya aku gak bisa ikut buka bersama MISC.”
Reaksinya tenang, dan penuh pengertian, seperti yang selalu kutemukan dari beberapa sosok pemimpin.
“Emang kamu ada acara apa?”
Dia gak perlu menyinggung betapa penting acara buka bersama MISC ini. Soalnya dia pasti tau kalo aku juga udah sadar tanpa perlu diingatkan lagi. Betapa setahun yang kita lalui dengan jungkir balik. Suka duka ngedit materi kuliah yang bejibun, hingga semua itu membuat MISC begitu rekat, seperti saudara setubuh.
Kujelaskan padanya,”Aku mau nganterin tetanggaku buka bersama di sekolahnya. Dia. .”
Kupaparkan bagaimana kondisi Rofi. Lalu Kamila mengangguk.’Iya. Gak papa. Mending kamu temenin dia aja.”
Aku mengangguk penuh terima kasih. Pukul dua belas, kuliah selesai, lalu break shalat sampai pukul setengah satu. Setelah itu, aku bertolak ke parkiran, cabut ke toko busana muslim. Membolos dua mata kuliah di blok ini.
Sejak kelas tiga SMA, pokoknya sepanjang ingatanku, mukena Rofi yang itu-itu saja. Entah mukenanya itu pernah dicuci atau enggak. Entah baunya seperti apa. Aku jadi miris melihat mukenanya yang udah buluk itu. Jadilah sekarang aku berkelana di tempat ini, untuk membelikan Rofi mukena baru.
Alasan sebenarnya, kemaren aku juga habis beli mukena parasit baru, dan sebenarnya aku ingin memberikan mukena lamaku. Tapi waktu kuamati mukena lamaku di bawah cahaya yang lumayan terang, jadi keliatan jelas kalo mukenaku itu udah buluk juga. Penuh bintik-bintik hitam pertanda kejorokanku yang malas ngelap muka setelah wudhu. Kata Bapakku, masak mukena jelek gitu mau dikasihin ke orang lain?
***
Siang pun beranjak menjadi sore. Masih terbayang ekspresi bahagia Rofi menerima mukenaku tadi. Sekarang dia bertengger ceria di belakangku. Kami berpacu menuju sekolahnya, SLB Marsudi Putra.
Sesampainya di sana, kulihat belasan manusia seperti Rofi. Aku menelan ludah. Rasanya sedikit asing. Beberapa dari mereka bersikap seperti manusia normal. Mereka menyiram halaman serta menyapu ruangan yang nantinya digunakan untuk buka bersama. Sedangkan sebagian yang lain duduk saja dan bercanda satu sama lain.
Tikar pun digelar. Kami duduk. Saat itulah aku mulai bimbang. Apakah aku akan tetap di sini hingga buka nanti? Apakah aku benar-benar ingin melewatkan kesempatan berkumpul dengan teman-teman MISC dan memilih berada di sini bersama Rofi?
Satu jam lamanya aku duduk dalam kebimbangan. Kuperhatikan orangtua manusia-manusia seperti Rofi tetaplah orangtua bagi mereka yang penuh dengan curahan kasih sayang dan perhatian. Orang-orang seperti Rofi pun tetaplah manusia meski kemampuan mereka di ambang batas. Salah satu dari mereka diminta untuk melafalkan shalawat Nabi, meski salah, tidak ada yang membenarkan. Kami semua bukan mempermasalahkan bagaimana lafal sesungguhnya shalawat Nabi tersebut. Sekali lagi, kami, yaitu aku dan orangtua dari manusia-manusia dengan retardasi mental ini sudah mampu menerima keterbatasan mereka. Bisa saja pihak sekolah menyetel kaset shalawat Nabi, alih-alih meminta tolong kepada salah seorang dari mereka untuk mendendangkannya. Namun, inilah yang disebut dengan pendidikan. Membiasakan hal yang baik dan benar, meski corat marut, perlahan proses ini akan menelurkan hasil yang indah pada akhirnya.
Aku menikmati suasana hangat yang dipancarkan oleh manusia-manusia ini. Namun ternyata nafsu manusiaku yang menang, alih-alih simpatiku kepada Rofi. Kukatakan kepadanya,”Rofi, Mbak Anna mau ke Jogja dulu, buka bersama. Nanti pokoknya jangan pulang dulu sebelum kujemput ya.”
Yah, kupikir inilah win-win solution agar aku dapat mengikuti kedua agendaku sore ini. Sebelumnya aku berpamitan dulu kepada guru Rofi, dan menitipkannya hingga aku kembali lagi.
Entah bagaimana perasaan Rofi yang kutinggalkan begitu saja seperti ini. Apakah dia memiliki perasaan seperti manusia normal lainnya juga? Aku tidak tahu. Meski begitu, hati kecilku merasa bersalah kepadanya karena meninggalkannya begitu saja seperti ini.
Sudah setengah perjalanan menuju lokasi buka bersama. Ternyata letaknya nun jauh di utara. Dekat UGM. Hujan deras mengguyur bumi, membuatku basah. Rasanya sedih sekali apalagi harus melihat Kamila ikut basah kuyup juga karena menjemputku yang tidak mengetahui lokasi tepatnya.
Sesampainya di lokasi, yaitu warung “Inyong”, aku langsung berbuka. Hatiku cemas memikirkan Rofi. Jika aku tak segera pulang, buka bersama di sekolahnya keburu usai juga. Butuh waktu satu jam perjalanan untuk kembali ke sana.
Kuputuskan untuk menyimpan kekhawatiranku itu nanti saja. Sekarang adalah sekarang, pikirku. Aku akan menikmati saat-saat kebersamaan ini dahulu.
Kami melanjutkan foto-foto setelah shalat Maghrib. Setelah beberapa kali jepret, kuputuskan sudah saatnya aku bertolak pulang. Rasanya tak enak juga, tadi datang terakhir, sekarang pulang duluan.
Kusampaikan ucapan undur diriku kepada teman-teman. Lalu segera kukenakan mantol, kembali menerobos hujan dan menuju sekolah Rofi.
***
Seperti yang sudah aku cemaskan, buka bersama di sekolahnya telah usai. Ya Allah, mana Rofi? Sekolahnya pun telah digembok. Lampu-lampu telah dipadamkan, serta ruangan-ruangan sudah terkunci rapi. Beberapa waktu lamanya aku melayangkan pandangan dari luar gerbang, berharap menemukannya di dalam sana. Nihil. Hatiku was-was sekarang, apakah dia sudah pulang? Ya. Pasti sudah. Sekarang sudah pukul tujuh, mungkin salah seorang gurunya berbaik hati mengantarkannya pulang, yakinku.
Masih dengan rintik hujan mengiringi, kuputuskan untuk pulang. Semoga saja Rofi benar-benar telah tiba di rumahnya dengan selamat. Setengah jam kemudian, aku sudah berada di depan rumahnya. Kuketuk pintu rumahnya, namun tidak ada tanggapan. Kuulangi beberapa kali lagi. Dan pamannya yang membukakan.
“Rofi sudah pulang, Lek?” tanyaku.
“Belum tuh dek. Kurang tau juga. Mungkin langsung ke masjid sama Uwak Darto. Coba dicek di sana dulu,”jawabnya. Lalu aku mengucapkan terima kasih dan berpamitan.
Aku tiba di rumah dengan selamat, dan kulihat bapak ibuku duduk di lincak depan rumah, menantiku pulang. Ceramah setelah shalat Isya berkumandang dari kedua masjid yang melingkungi rumahku. Belum usai mantol kulepas, bapak langsung memarahiku.
“Rofi di mana?? Tadi ibunya nyariin. Kamu gak bisa diamanahi tanggungjawab ya. Kalo menyanggupi menemani, ya ditemani sampai selesai sampai pulang dengan selamat. Sekarang, di mana Rofi?”seru bapak keras. Aku tertunduk. Bagaimana ini? Hatiku jadi kacau balau.
Kukenakan kembali mantolku. Lalu dengan khawatir yang memuncak, aku bertolak menuju sekolahnya lagi yang berjarak dua puluh menit dari rumah.
Ku perhatikan lagi setiap detail sekolah Rofi dari luar gerbang. Berharap dia ada di salah satu titik di dalam sana. Kutanyai penjual jamu yang sudah hampir menutup warungnya. Mereka pun menjawab tidak tahu. Kutelusuri jalan yang mungkin dia lewati. Kuputari sekolahnya. Lalu kuberdo’a, semoga Rofi baik-baik saja. Jika nanti dia kutemukan, tidak akan kutinggalkan dia seperti hari ini. Hingga akhirnya kutanyai orang yang duduk-duduk di sebuah bengkel motor.
“Pak, tahu salah satu guru SLB Marsudi Putra situ gak? Adik saya belum pulang juga dari tadi waktu buka bersama. Mungkin diantarkan gurunya atau bagaimana. Saya khawatir sekali,”kataku tersendat-sendat. Air mataku sudah hampir menetes.
Aku diberitahu alamat salah satu guru dekat situ. Bapak Rohmat namanya. Sesampainya di rumah Bapak Rohmat, aku beruluk salam. Lalu aku dipersilakan masuk. Rupanya beliau masih di masjid, seperti lazimnya masjid-masjid di bulan Ramadhan yang selalu ramai hingga jauh malam.
Sembari menanti dengan penuh kekhawatiran, aku berbincang-bincang dengan ayah Bapak Rohmat dan istrinya. Dari beliau berdua aku jadi tahu, bahwa SLB Marsudi Putra adalah satu-satunya SLB yang ada di daerahku. Pengajarnya terbatas, demikian pula sarana dan prasarananya. Apalagi pengawasan terhadap penyandang retardasi mental dan gangguan jiwa memang harus ekstrim, karena sedikit saja kecolongan, mereka dapat berkeliaran kemana saja. Lalu baru aku tahu, setiap detik, pintu gerbang memang harus dikunci, untuk mengantisipasi agar siswa tidak keluar gerbang.
Ada tempat di mana siswa yang tidak dijemput biasanya menunggu. Lokasinya ada di sebelah bangunan sekolah persis. Tadi meski aku mengitari sekolah, aku tidak sampai mengecek bangunan itu. Karena bangunan yang dideskripsikan mereka memang sangat tidak mencolok.
Lama aku menunggu. Hingga akhirnya Bapak Rohmat kembali. Lalu kami berangkat menuju tempat Rofi kemungkinan besar menunggu. Dalam perjalanan yang beberapa menit namun terasa seperti setahun itu, perasaanku benar-benar penuh ketidakpastian. Beragam pikiran dan prasangka buruk membayangi.
Hingga akhirnya kami sampai. Bangunan di sebelah sekolah itu rupanya digembok juga. Beberapa detik kemudian pintu pun dibuka. Bapak Rohmat memanggil nama Rofi berkali-kali.
Tidak ada jawaban. Lalu sesosok manusia nampak. Rofi! Aku lega sekali. Seolah batu besar telah diangkat dari dalam otakku.
Kuucapkan terima kasih kepada Bapak Rohmat. Lalu kuantar Rofi pulang ke rumahnya. Lain kali, jika memang ada lain kali, takkan kubiarkan Rofi sendiri lagi.
***



Bintang Ular Laut dari Krakal
Pernah kami begitu dekat. pun pernah kami begitu lekat. meski tak luput pula kami terlempar telak begitu jauhnya.
seperti inilah yang namanya dinamika persahabatan. tak bisa tidak. persahabatan pasti akan menghadapi batu ujian di tengah-tengah perjalanannya. aral lintang serta oak dan semak tentu tak akan jauh-jauh dari lintasannya.
namun persahabatan yang kuat tentu tidak akan terusik karena itu semua. kuharap persahabatanku pun demikian.
foto ini mengingatkanku akan kenangan manis kami. di salah satu pantai wonosari yang masih penuh akan pesona alamiahnya. pantai krakal, dan sundak.
ingatkah teman-teman, foto kita yang ini?
atau foto kita yang ini?

beragam manuver kita lakukan. mulai dari manuver terbang, manuver nungging, dan banyak lagi gaya gila yang tak ada habisnya.
saat itu, yang ada hanya tawa, gurau, hingga suara parau.
meski perjalanan jauh yang kita tempuh hingga penat raga kita, keindahan pantai dan kebersamaan kita seolah-olah sontak mengusir semua kepenatan itu.
terima kasih sahabat.
segala pengertian yang tercurah,
segala pengorbanan yang tertumpah, 
segala perhatian yang terbuncah,
segala tawa yang tergelak,
serta segala air mata yang terburai
kuharap akan selalu menjadi pengikat kita dalam persahabatan ini.

kita saling menularkan benih-benih kemajuan,
kita saling menebarkan kebiasaan-kebiasaan pemenang,
kita saling membuyarkan lamunan kemunduran,
dan kita akan sukses bersama,
dalam jalan sahabat.

***


mengapa di setiap kepergian selalu ada tetesan air mata?
mengapa di setiap punggung yang berbalik selalu ada sedu sedan?
aku dapat memahami bagaimana rasanya menjadi seorang yang sendirian. di mana sejak kehidupan fana yang mampu kuingat tidak ada satu nyawa pun yang datang. maupun yang pergi.
maupun yang berkesan.
hingga detik ini.
kutahu untuk siapa cinta itu bersemayam di hatimu. pun aku tahu untuk siapa seharusnya cintaku berlabuh. pada dia kan?


Bulan Syawal tiba setelah bulan Ramadhan. Bulan ini disambut dengan gegap gempita, riuh rendahnya teriakan kemenangan. Karena pada tanggal 1 Syawal setiap muslim merayakan hari raya kemenangan, bagi mereka yang berhasil menundukkan hawa nafsu lahiriah dan batiniahnya selama bulan Ramadhan.
Ada beberapa poin yang tak dapat lepas dari kekhasan bulan syawal ini. What are they? Check this out!
Fenomena Mudik
Setiap tahun, tak dapat dipungkiri lagi, mudik menjadi aktivitas yang ditunggu-tunggu bagi setiap orang. Entah dia yang akan didatangi saudara-saudaranya dari berbagai pelosok kota, atau malah dia yang akan mendatangi sanak familinya di ujung kota yang lain.
Kalo disuruh bicara tentang mudik, pasti yang langsung terloncat dari tutur kita adalah macet, macet, dan macet. Teman saya kemarin bercerita, misalnya saja perjalanan dari Cilacap ke Purwokerto yang hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam, molor banget jadi tiga jam. Lalu kenalan saya yang lain juga mengeluhkan hal yang sama, waktu tempuh ke Solo dari Jogja yang biasanya hanya memakan waktu dua jam, molor jadi empat jam. Serta bayang-bayang malaikat maut yang mengintai setiap pemudik, fakta bahwa kecelakaan lalu lintas meningkat pesat selama musim mudik.
Apakah pernah terlintas di benak teman-teman, lalu yang salah sebenarnya siapa sih?
Kita gak bisa, kan, menyalahkan aparatur negara yang jumlahnya tiba-tiba jadi serasa sangat sedikit dibandingkan para pemudik yang berjubel. Atau malah nyalahin yang mudik? Atau nyalahin jalan raya yang sempit, terjal, bolong-bolong seperti kawah, dan berbatu-batu (lebai mode on)?
Saya benar-benar menyayangkan sebenarnya, kalau ada kendaraan di tengah kemacetan malah memukul-mukul klakson, membuat kendaraan lain pun ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Atau di tengah lampu merah yang berganti menjadi hijau, lalu dari belakang terdengar kendaraan mengklakson tak putus-putus hingga rasanya jebol gendang telinga saya, rasanya ingin saya bentak orang itu, “Saya juga tahu lampu sudah hijau! Gak usah nglakson-nglakson!  Sabar donk!!”
Nah. Sikap di atas adalah sikap yang keliru ya sebenarnya, untung aja baru niat. Hehe. Saya jadi ingat wejangan dr. Zaenal M. SOFRO, lagi-lagi setiap detik kita sebenarnya tak luput dari pembelajaran dan perbaikan. Atau istilahnya trial, but not errors. Bahwa manusia memiliki otak primitif, yaitu otak reptil, yang semata-mata mengatur hawa nafsu, emosi, lapar, dan pertahanan diri. Jangan sampai kita jatuh di bawah bayang-bayang otak reptil kita. Sedikit-sedikit gampang meledak, lapar sedikit langsung bĂȘte, bahkan, sekedar senyum aja rasanya berat banget.
Di tengah antrian mudik, kita seharusnya berusaha menahan diri, tidak untuk menggerundel, bersungut-sungut, atau memaki-maki. Siapa yang mau kita maki? Dibutuhkan pemakluman yang besar, serta toleransi tinggi bahwa kepentingan setiap orang yang mudik tuh sama, ingin menuju kampung halaman tercinta segera dan dengan selamat.
Kembali lagi ke hati nurani yang secara cerdas mampu memilah sikap manusia yang beradab. Bagaimana seharusnya kita bersikap selama mudik, yang mungkin bagi sebagian orang memang suatu ritual yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan. It depends on your choice, guys!
Air Mata Ampunan
Entah sudah pernah diadakan survey atau belum, tapi bagi saya, hari yang paling, paling banyak tertumpah air mata, isak tangis, dan senyuman yang begituuuu indah dan cakep, adalah hari raya Idul Fitri. Memang terbukti, bahwasanya zat ekskresi satu-satunya yang gak bikin jijik, alih-alih malah bikin keliatan bersinar-sinar mukanya, hanyalah air mata. Tears.
Anak-anak mendatangi orangtuanya. Lalu cucu-cucu mendatangi kakek-neneknya. Dan sepupu, serta kerabat jauh yang jarang berjumpa saling beruluk salam dan maaf. Indah nian hari-hari di bulan Syawal ini. Karena pada bulan ini sajalah, kata maaf bertebaran dan dosa-dosa berjatuhan seperti benang sari yang tersebar oleh desau angin.
Namun dari pengamatan saya, terkadang tetap saja begitu bubar maaf-maafan dengan si fulan, misalnya, kembali kita membuat luka hatinya. Entah karena memang kebiasaannya demikian, atau karena menganggap bulan Syawal masih lama usai?
Na’udzubillahi min dzalik.
Last point, Muhasabah, euy!
Ini nih sebenarnya yang penting harus kita sadari semasa kita menapaki bulan Syawal. Satu kutipan yang menegakkan bulu roma,
Barangsiapa lebih baik daripada hari kemarin, beruntunglah ia.
Barangsiapa sama dengan hari kemarin, rugilah ia.
Dan barangsiapa lebih buruk dari hari kemarin, sungguh ia celaka.
Di bulan Syawal, seharusnya kita manfaatkan untuk melakukan evaluasi mengenai amalan-amalan kita di bulan Ramadhan.  Apakah sudah baik? Kalo udah, sok atuh dipertahankan. Kalo belum, let’s improve it. Gak mau, kan, termasuk golongan orang yang celaka?
Memang kalo gak berjama’ah, amalan ibadah tuh rasanya beraat banget. Kemarin pas Ramadhan, ngajinya sehari bisa dua juz. Berhubung pas uda lewat Ramadhannya, sehari paling banter satu juz, dua lembar, atau malah dua halaman. But, it is okay, guys. It is called a process. Kita, termasuk saya, gak bisa sekonyong-konyong berubah. Tapi memang manusia yang lebih utama adalah dia-dia yang mampu mempertahankan kualitas ibadahnya selama dan setelah Ramadhan. Allaahumma amiin.
Ini nih, satu hadits yang semoga dapat menyemangati kita untuk senantiasa mengaji Al Qur’an:
“Bacalah al-Quran, karena sesungguhnya al-Quran itu akan menjadi Syafa’at (penolong) bagi pembacanya di hari kiamat ”
( H.R. Muslim )
Eits, tapi, kita masih diberi bonus loh di bulan Syawal ini. Sebut saja namanya Puasa Syawal. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa sepanjang tahun.“(H.R. Muslim)
So, let’s compete in the blessed ways! (translate: mari berlomba-lomba dalam jalan yang diberkati!)
Darkannarchy_


Akhirnya, setelah molor seminggu, artikel ini jadi juga. padahal tadi bikinnya gak nyampe seharian, paling cuma 2 jam. wahahaha. inspirasi memang harus dicari, dan tak pelak, juga harus dinanti. .

semoga bermanfaat di sini,

Memberi dengan Hati

“Bersedekahlah ketika engkau dalam keadaan sehat, sedang berhemat, takut miskin, dan mendambakan kekayaan. Janganlah menunda hingga menjelang ajal engkau baru mengatakan ‘Ini untuk si Fulan dan itu untuk si Fulan,’ padahal kesempatan itu telah berlalu.” (Muttafaq ‘Alaih)
Sering kita temui di sekitar kita, fakta bahwa bersedekah, atau berinfaq dimaknai sebagai ajang untuk membuang hal-hal yang tidak sukai, atau barang-barang yang kita anggap kurang berharga. Sebagai contoh, kotak infaq di masjid-masjid disesaki dengan uang receh, atau uang dengan nominal kecil. Di baksos-baksos, yang disebut pakaian pantas pakai adalah pakaian lusuh, buluk, ketinggalan jaman, atau berbau apak pertanda sudah mengeram di gudang sejak lama.
Dan ketika diminta untuk bershadaqah, padahal di dompet kita ada beberapa lembar uang puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, kita lebih memilih untuk melewatkan momen bershadaqah itu, hanya karena tidak adanya uang dua ribuan, seribuan, bahkan uang receh, yang kita tidak akan merasa berat hati untuk disumbangkan.
Padahal Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk lalu kamu nafkahkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (QS. Al Baqarah: 267)
Dari ayat di atas, dapat kita ambil pelajaran berharga, bahwa berikanlah barang yang kita sukai. Yang masih kita sayangi. Mungkin karena harganya yang mahal, karena masih bermanfaat, atau untuk pakaian, karena jahitannya masih bagus, warnanya masih cemerlang, atau karena mereknya yang terkenal.
Ditegaskan pula dalam ayat itu, Allah Maha Kaya, Maha Terpuji. Allah tidak membutuhkan sedekah kita yang sangat-sangat kecil dibanding nikmat berlimpah-Nya yang Dia anugerahkan kepada kita. Sekali lagi, bersedekah adalah kebutuhan kita, dan kewajiban kita jika kita masih memiliki empati kepada sesama. Bersedekah adalah bukti rasa syukur kita. Bersedekah akan membersihkan hati kita dari sifat kikir dan bakhil, membersihkan harta kita dari kemungkinan haram, mengubur noktah-noktah kemiskinan yang angkanya masih cukup tinggi di Indonesia.
Setiap muslim bersaudara. Dan sebuah hadits menekankan bahwa setiap muslim terhadap muslim yang lain laiknya manusia dengan satu tubuh. Jika jemari kita sematkan cincin emas, tentu akan senang jemari dan hati kita jika ia dapat berkata. Namun jika jemari itu kita tunjamkan ke sampah yang bau, tentu murkalah kita sebagai pemilik tubuh. Begitu pun dalam memberi, hendaknya selalu kita pertimbangkan apa yang akan kita beri, apakah itu sesuatu yang dapat disebut ‘pantas’ atau tidak, berharga dan bermanfaat atau tidak.
Dengan hati, kita memberi. Sertakan keikhlasan dan raut muka yang ceria berseri-seri dalam setiap sedekah kita. Buah sedekah itu akan terasa manis dan menghangatkan hati kita, yaitu ketika orang lain pun juga senang menerima sedekah kita. Ikhlas dalam bersedekah bukan berarti kita memberi sesuatu yang bernilai kecil, lalu kita lupa akannya. Tapi ikhlas sesungguhnya adalah ketika kita memberikan barang yang kita masih ada keperluan akannya, barang yang kita cintai, lalu kita berikan kepada orang lain sehingga orang lain akan berkecukupan dan bersuka hati sama seperti kita yang bersuka hati ketika masih memilikinya.
Seperti kisah tiga fulan yang terkapar di padang gurun dengan sekantung air yang tersisa. Masing-masing saling mengutamakan yang lain. hingga syahid lah ketiganya.
Mulailah untuk memberi dengan harta kita yang paling baik, yang kita pilih karena kita cintai, yang halal, tidak ada syubhat di dalamnya, tidak ada maksiat, dan tidak pula ada keharaman.
Mulailah memberi dengan hati.

***


Hidup. apa yang perlu dikritisi dari hidup? hanya apabila hidup itu jalannya bungkuk, atau merangkak, bahkan malah berjalan dengan kepala terbalik.
ya. hidup tidak akan pernah terungkap jelas karena seperti pujangga bertutur, hidup adalah misteri. namun satu hal yang pasti telah menjadi hukum semesta Islam, hidup yang lebih buruk dan perjalanannya menukik ke bawah adalah hidup yang celaka. sementara hidup yang kurvanya datar-datar saja adalah hidup yang merugi.
hidup itu akan bermakna bukan dari kacamata sang pemilik hidup. hidup seseorang akan tampak bermakna apabila orang lain mengatakan demikian.
hidup seseorang bahkan bisa jadi merupakan hidup yang penuh dedikasi dan penuh prestasi, namun dapat pula bagi orang lain, hidup orang tersebut nonsense.


Yuhuuuu. . .
Darkannarchy datang dengan kisah cinta. Oke. Aku gak menyangkal kata-kata ku sendiri kalo cerita cinta itu membosankan dan menjemukan. Tapi suka-suka aku lah. Lagian aku masih merdeka. Dan cerita cinta belum dilarang.

Alkisah di suatu gubuk reot namun penuh cinta, di suatu negeri asing di mana setahun hanya ada 365,25 hari, dan satu hari hanya ada 23 jam 56 menit, sebuah keluarga kecil namun saling mencintai hidup dengan bersahaja.
“Mboookkkeeeee. . . “ terdengar panggilan mesra seperti suara kambing mengembek.
“Puaaakkkeeee . . .”sahutan suara cempreng menimpali.
Saudara-saudara, perhatikan nada panggilan mereka ini terbiasa berteriak karena mereka ini terlahir dari hutan amazon dan baru kemaren berganti peradaban dari jaman paleoneozoikumlitikum ke jaman milenium.
“mbreneee mbooookkkeeee. . . .”
Mbok’e bergegas bangkit, lalu, yah namanya juga spesies paleoneozoikumlitikum di mana mata mereka udah dua sih, tapi di samping gitu deh, kayak ayam, dan telinganya di pucuk kepala sama di punggung, mbok’e tahu-tahu terjembab kesandung kakinya yang berjumlah tiga.
“adoooohhhhh. . . . . pakeeeee. . tulungi dinda, pakeee. . . “
Pak’e langsung lari terbirit-birit mendekat. Lalu menarik tangan sang adinda. Dan menuntunnya ke bak cuci piring.
“Mbookkee. . ndak papa to? Mriki kula ulapi lukanipun. . cup. Cup. Cup.”
Aih. Begitulah setiap hari kemesraan yang ditunjukkan oleh sepasang spesies paleoneozoikumlitikum itu. Benar-benar bikin iri.
Suatu hari sepulang dari macul di hutan amazon, pak’e terperanjat hingga jantungnya hampir copot. Di depan rumahnya mbok’e lagi senam poco-poco.
“ealah mbok’e. . lagi stress po pie? Tengah wengi kok senam poco-poco. Bok mijetin kakanda ki lo.”sapa pak’e sembari melepas topinya. Lalu melepas kepalanya. Lalu melepas tangannya satu persatu, lalu melepas kakinya satu-persatu.
Mbok’e lantas mengambil ampelas di atas meja. Lalu mengampelas kepala pak’e hingga mengkilap, dan mengampelas bagian-bagian tubuh pak’e yang lain.
“Dinda, kau kurang pintar memijit rupanya. Ambilkan saja palu godam di belakang pintu. Itu lebih menyenangkanku,”kata pak’e dengan nada lembut.
Mbok’e berkaca-kaca atas kritikan suaminya tercinta. Meski pak’e memprotes dengan nada yang halus nan lembut, namun sensor wanitanya tetap saja terlalu halus untuk kritikan paling halus sekali pun.
Mbok’e pun mengambilkan palu godam, lalu tanpa dinyana-nyana oleh pak’e, tiba-tiba kepalanya dihantam dengan palu godam seberat lima ton itu.
“Uwadooohh mbok’e. . . dinda. . . sayang. . . cinta. . . honey. . . lorooo. .  alon-alon wae. Dengan tekanan 0,099 pascal wae. . dinda ngopo eu kok bersemangat tenan??”seru pak’e sambil mengaduh-aduh ketika kepalanya dihantam oleh mbok’e.
“Aku sedhih tuenuan puak’e. . “isak mbok’e kalap. Lalu ingusnya berjatuhan ke mana-mana seperti hujan regional.”Akhu khi suwensuwitiph tuwenan puak’e. . hiks hiks.”
Pak’e Cuma merem melek dan bergoyang ke kanan ke kiri ke belakang dan memutar, karena badannya sudah diprithili oleh mbok’e tadi. Jadi dia tidak dapat berpindah ke mana-mana.
Lantas cepat tangannya yang sudah prithil juga, memainkan handphone yang sedari tadi digenggamnya. Lalu dikirimnya sms ke ibunya di hutan madagaskar.
To: my loobbly mummy
Mummy, bangunlah dari petimu sebentar, dan bukalah bebatan kainmu. Ini istriku tercinta sedang marah besar karena aku kritik. Apa yang harus aku lakukan untuk menetralkan amarahnya? Thankiu mummy tercinta.
Tak berapa lama, terasa handphonenya bergetar. Berhubung handphonenya terletak di genggaman tangannya, dan tangannya jauh dari matanya, lalu dibenturkannya handphonenya ke tanah, dan handphonenya langsung bertransformasi menjadi media huruf Braille. Mulailah dia meraba-raba. Lalu bibirnya komat-kamit menghapal.
“Istriku tercinta, dengarkanlah dahulu kakanda. Ada kata-kata yang kakanda ingin sampaikan kepada adinda tercinta.”
Mbok’e langsung makseeettt. .terdiam slow motion, dan berhenti bergerak. Palu godam menggantung di udara.
“iiyaa pak’e. . menopo. . gek mpun dipun medharaken sabdanipun. .”
“..... glek. . .”pak’e menelan ludah. Lalu matanya terpejam, dan terdengar suara berat menggema seperti datang dari alam baka, dan tiba-tiba angin sepoi-sepoi berhembus membuat beberapa rambut mbok’e berkibar menutupi wajahnya. Dan seperti di pelem-pelem cinta, mbok’e mengibaskan rambutnya ke belakang, ups, tapi, glodaaaakkk!!! Olala. Rambutnya yang panjang itu nyangkut di tiang listrik.
“adhuh. . ah, lanjutkan, pak’e.”pinta mbok’e. berhubung rambutnya nyangkut di tiang listrik, kebetulan sekali, lalu mbok’e yang pintar memainkan harpa ketika dulu menjabat sebagai peri di olympus, lantas memetik rambutnya. .”dhooeeeng. . theooott. . tiing. . triltroltong. .”bunyi petikan rambutnya.
Pak’e melanjutkan apa yang akan disampaikannya.
“oh, adindaku, i dont care. . aku sayang kamu de’. .”
Seketika mbok’e kejang. Lalu lampu padam. Dan pertunjukan selesai.
Hahahahaha. Krik.krik. sebelum pemain-pemainnya dilempari parang, linggis, atau gergaji, mereka memilih kabur.

Singgasana emas.
16:21 pm. 24 Juli 2010



18:49 Waktu Laptop. Singgasana Emas
kemarin

Hari ini tamat sudah aku membaca Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas – nya Andrea Hirata. Novel yang penuh makna. Benar. Lalu aku teringat seorang sosok sentral dalam hidupku. Mungkin karena terbayang tokoh Syalimah, alias Ibunya Enong Maryamah Karpov sang Juara Catur, a.k.a istrinya Zamzani, seorang suami penuh cinta kasih.
Ibu.
Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu. Ibu.
Ingin kuucapkan seribu, bahkan sejuta kata ibu dari lubuk hatiku terdalam. Agar ibu mendengar. Agar ibu tersentuh dan tersipu.
Ibu. Aku bahkan tidak mampu menjadi pahlawan-mu. Dua hari aku mengenyam hari libur nasional. Tentu saja bukan hari libur nasional Negara Republik Indonesia. Hanya semata-mata hari libur nasional milik Estianna Khoirunnisa.
Apa kerjaanku? Bersenang-senang. Memanjakan diriku sendiri dan nafsuku yang tersedak tercekat belum tersalurkan kemarin-kemarin. Dan, tentu saja. Lantas, aku diomeli ibu.
Hehehehe. Aku ini memang seperti keledai tuli yang tumpul dalam ranah kerumahtanggaan. Tidak bisa memasak. Ogah mencuci. Malas menyapu. Mandi pun hanya sekali sehari dan sekadar formalitas.
Aku menyadari betapa aku ini tidak ada manfaatnya sedikitpun di rumah ini.
Oke lah. Cukup meratapi nasibku sendiri. Ibuku saja lah yang akan aku bicarakan. Ibuku yang penuh dedikasi kepada keluargaku yang kurang bisa berterima kasih. Bukan keluargaku. Mungkin aku saja yang tidak bisa menghargai ibuku.
Yah. Suatu hari nanti pasti aku akan menjadi ibu. Inilah satu-satunya cara menyadarkan otak bebalku bahwa mengabdi tanpa protes dan tanpa pamrih itu wajib bagi seorang anak.
Mengapa? Karena tentu saja aku tidak ingin punya anak yang pemalas dan keras kepala seperti aku saat ini.
Jika ditanya, ingin anak seperti apa aku kelak. Aku dengan yakin menjawab, aku ingin anak yang penurut kepada orangtua, menghormati kepada orangtua, bersikap manis dan santun kepada orangtua dan orang lain, serta humoris yang tidak kelewatan.
Nah. Itu lah keinginanku yang begitu menggelegak. Kesadaran manusia normal pasti akan tergelitik manakala dihadapkan pada impian yang sebesar itu. Dalam hubungan ibu dan anak pun berlaku hukum sebab akibat, karma dan simalakama.
Jika aku tetap begini, tidak menjadi begitu, maka dapat dipastikan anakku kelak akan begini. Bahkan tidak dapat dipungkiri bisa jadi lebih buruk moralnya. Amit-amit.
Jadi, mulai sekarang, dengan saksi tulisan ini, ada beberapa poin yang akan mulai kuubah atas dasar latar belakang yang bertele-tele di atas.
Pertama, aku akan rajin membersihkan rumah. tanpa disuruh. Tanpa perlu berkata nanti-nanti. Tanpa perlu melempar tanggungjawab kepada kakakku. Tanpa perlu mengeles dan bersilat lidah.
Kedua, aku akan rajin beribadah. Wajib dan sunnah. Di keluargaku dari kakek buyut sampai cucu cicit, anak yang paling membanggakan dan disayang adalah anak yang alim, rajin ibadah, serta santun. Tentu saja niatanku memperbaiki kualitas ibadahku bukan demi meningkatkan pamorku di mata keluarga besar, namun semata-mata ingin berubah menjadi lebih baik. Oke. Alasan klise memang, tapi memang hanya itu saja alasannya.
Ketiga, aku ingin belajar memasak. Omaigoooottt. Aku ini orang yang paling bodoh urusan dapur. Membedakan merica, ketumbar, dan lain-lain istilah perbumbuan pun aku masih kagok. Mengulek pun aku tak becus. Menggoreng pun sering gosong. Merebus pun sering sampai asat. Bisa terjadi prahara nantinya di kehidupan rumah tanggaku kelak jika aku masih begini. Kata orangtua di desa-desa dahulu, istri tuh dicintai suaminya karena masakannya. Olala. Aku harus mulai mengintervensi dapur sejak sekarang.
Keempat, aku ingin belajar kedokteran semaksimal mungkin. Tentu saja karena sekarang aku kuliah di kedokteran. Jadi sudah menjadi protokol yang retoris, mahasiswa kedokteran belajar bidang kedokteran. Di sini mengapa kutekankan, agar aku tidak melenceng. Tidak tergoda oleh iming-iming ehem, cinta sebelum waktunya mungkin? Hehehehe. Oke. Sepertinya aku sudah tergoda. Kita bahas nanti. Aku harus menenggak sebanyak mungkin samudra keilmuan hingga saatnya kelak dapat kuterapkan dalam koridor jas putih yang telah legal secara hukum.
Kelima. Oke. Kuputuskan lima dulu lah targetku. Ini target terakhir. Apa ya. Cinta. Hehehehe. Aku ingin membahagiakan teman-temanku tercinta, dan orang-orang yang jabatannya bukan temanku namun juga kucintai. Aku ingin memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan. Hak. Kewajiban. Truth. Humanity. Rights. Duty. Waawww. . itu target yang sangat luas. Tapi sejajar dengan target-target yang lain, kok. Karena terlalu sering saja aku mendengar empat target pertama, jadi terasa biasa, sepele, atau malah disepelekan? Kelima ini, cinta. Aku akan memperjuangkan cinta. Cinta kepada semuanya. Karena cinta, aku memberi. Karena cinta, aku berkorban. Karena cinta, aku tertawa. Karena cinta, aku berduka. Karena cinta, aku bahagia.
Kusebut lima hal di atas, five turning points of darkannarchy’s stupid life. judul yang cukup panjang. Kusingkat FTPDSL. Ef Te Pe De Es El. Ups. Salah. Harusnya kalo pake ejaan kemlinggis jadi Ef Ti Pi Di Es El.
Tertanda,
Estianna Khoirunnisa
(Tiba-tiba ada backsound. Krik. . Krik. . Krik. .) dan penulis dilempari tomat busuk.

The End



Wow. Empat notes ku begitu, ehem, dark??
Gelap. Kelam.
Atau malah melankolis?
Aku sedang sakit jiwa rupanya. Yang aku bahas melulu soal putus cinta. Ah, aku sudah terlalu sering merasakan putus cinta. Dan tentu saja, jika sering putus cinta, aku pasti sering merasakan jatuh cinta. Tapi, rasanya, mengumbar perasaan jatuh cinta adalah tindakan yang tabu dan memalukan.
Cerita dan kisah tentang tragedi putus cinta akan lebih dinikmati publik. Dan cinta yang dibumbui intrik pengkhianatan, bunuh-membunuh, tikam-menikam, menempati puncak rating dengan peminat terbesar.
Siapa bilang? Aku.
Hehe.
Entah mengapa, menulis kisah putus cinta itu lebih menyenangkan buatku. Karena, perasaan putus cinta itu sama saja. Sedih. Duka. Air mata berderai-derai.
Tapi, perasaan jatuh cinta itu tidak sama setiap kali aku jatuh cinta. Rasanya, ehem, xxx yyy zzz bla bla bla ting tong!
Nah, tidak perlu kudefinisikan. Daripada pembaca bosan dan kecewa.
Hehe.
Ah. Bagaimana ya, dilematis sekali.
Uke. Sekilas info. Hari ini aku progress test. Dan sejak semalam semangatku telah menguap tak tahu rimbanya. Yah, cukup silang indah saja. Eh, salah. Cukup asal klik aja.
Aneh. Dalam hidupku, aku menemukan orang yang secara alamiah bisa membuatku berduka. Hebat sekali kemampuan orang ini. secara tidak sadar, dia bisa membuatku bersedih, menangis, dan merasa buruk.
Kalo aku mengadakan voting, harus kuapakan orang ini, kira-kira ada yang mau nge-vote?
Hehe.
Sayangnya pilihan jawabannya tidak ada. Jadi anggap saja pertanyaan terbuka.
Oke. Terima kasih atas perhatiannya.

5:57 waktu laptop.
Singgasana emas.



Tangisan pilu memecah tengah malam. Meratap-ratap. Memohon-mohon. Kuselidiki, siapa yang sedang menangis, dan untuk apa dia menangis, serta kepada siapa dia menangis. Aku, hansip kampung ini, tidak asing lagi dengan suara ini.
Aku berjalan pelan-pelan, jangan sampai membangunkan bahkan semut yang sedang terlelap. Lalu, sampai di depan pintu rumah. aku berjalan ke salah satu jendela kamarnya. Lalu aku terhenyak, terpaku, menyimak.
“Tuhan. . tolong kembalikan dia. . Tuhan. .”lalu disela sedu sedan tak henti-henti.”Tuhan. . anak-anakku butuh makan. . anak-anakku butuh hidup normal. . anak-anakku butuh dia. .”
Lalu terdengar sedu sedan lagi.
Sepertinya si wanita itu berdo’a dalam sepi. Dia tidak berkata-kata lagi. Tangisannya putus-putus. Dan suaranya semakin serak hingga akhirnya habis. Airmatanya aku yakin pasti sudah mengering sejak dulu.
Ya. Betapa kasihan sekali nasibnya. Menurut pendapatku, sebaiknya dia cari suami baru saja alih-alih meratapinya tiap malam. Sungguh kurang kerjaan sekali.
Atau mungkin dia mau kunikahi?
Ah, tidak perlu bahas ide itu. Sudah basi. Dia tidak akan bergeming. Yang ada di pikirannya hanya suaminya yang tidak bertanggungjawab itu. Ingin kucincang dan kugorok lehernya kalau aku bertemu muka dengannya.
Wanita itu konon ditinggal suaminya begitu saja. Setelah sepuluh hari menikah. Dan diketahui si wanita itu telah mengandung anak si suami tidak punya perasaan itu. Ya. Lahir lah kembar tiga.
Aku tidak terlalu ingat nama ketiganya. Yang pasti, mereka bertiga adalah wanita pula. Cantik-cantik parasnya.
Ah. Kasihan sekali wanita itu. Sepuluh hari, bayangkan, hanya sepuluh hari. Ah. Aku jadi ikutan pusing nanti. Sudah. Lupakan saja.

23:03 waktu laptop
Singgasana emas.





Detik ini, orang yang paling ingin kulupakan adalah dia. Aku menghadap jendela. Tengah malam. Yang ada hanyalah bintang-bintang yang tersenyum penuh pengertian. Vega-nya Lyra, Altair-nya Aquila, dan Antares-nya Scorpio, seolah-olah melambai-lambai dan berbisik,”hapuskan air matamu. .kami akan melipur dukamu. .”
Aku jengah. Merasa terkadang tertipu. Walau lebih sering aku terpikat. Namun, didukung suasana hati yang kelam, kali ini aku memilih membalikkan badan, bersiap menutup jendela, ketika di langit melintas komet Halley. Aih. 76 tahun sekali. Beruntungnya aku.
Huah. Geje banget. Aku lagi terserang penyakit stress dan autis yang digabung membentuk penyakit melankolis yang senang memikirkan hal-hal geje. Hei. Hei. Bagaimana bisa aku merasa kehilangan padahal aku memang tidak memiliki apa-apa?
Bagaimana bisa aku terluka, padahal aku tidak memiliki perasaan?
Seperti inilah definisi orang stress. Merasakan yang wajarnya tidak dirasakan orang lain. mengangankan yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia seorang pun di muka bumi, ya kecuali orang stress ini.
si orang stress ini tidak tahu makna hidup. Kerjaannya hanya memikirkan satu titik hitam, yang besar, namun terkadang mengerut, dan dari dalam lubang hitam itu keluar benda aneh berbentuk mirip segitiga dan berwarna darah.
Entah mengapa, benda itu membuatnya selalu, dan pasti mengucurkan air mata. Apakah di kehidupan sebelumnya dia mengalami kisah tragis dan menyakitkan dengan benda itu?
Si orang stress lalu melukis. Yang dilukisnya adalah kaca mata. Yang pecah. Yang hancur. Yang bobrok. Tergenang darah.
Lalu dia merinding. Diraihnya lukisan itu, lalu dengan kalap, disobek-sobeknya, dihancurkannya, diinjak-injaknya.
Lalu dilemparkannya ke langit. Dia merasa lebih baik.

5:36 waktu laptop.
Singgasana Emas.

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .