Adikku, lagi-lagi mendesak ibuku. Menanyainya dengan lugas,”Ibu, mengapa ayah tidak ada?”
Aku hampir tertawa. Adikku yang bodoh. Dari kamar aku hanya mendengarkan. Menunggu jawaban fantastis apa lagi yang akan dilontarkan ibuku.
“Ayahmu sedang ke pulau yang jauh,”dulu sekali ibuku menjawab pertanyaan adikku. Berganti tahun, adikku terus bertanya,”Ibu, mengapa ayah tidak hadir di antara kita?”
Lalu, ibuku menjawab,”Ayahmu sedang terapung di tengah lautan. Pemerintah sedang sibuk menangani pemberontakan di mana-mana, dan tidak sempat mengurusi ayahmu.”
Lalu, beranjak tahun, adikku kembali bertanya, sekarang dia sudah kelas 6, dan ibuku sudah tidak ada alasan untuk mencari-cari alasan lagi.
“Ayahmu pergi. Mungkin memang benar dia ke sebuah pulau nun jauh di sana. Atau bisa jadi dia terapung selamanya di atas lautan dan dilahap hiu.”
Ibunya menghela napas, lalu menaikkan satu alis, seperti yang biasa dilakukannya untuk mengatakan,”Yah mau gimana lagi.”
Adikku, terdiam sesaat, lalu menyeletuk,”Aku lebih suka kemungkinan yang kedua, Ibu.”
Aku tertawa dari dalam kamar. Lalu keluar, dan memeluk dua sandaran hatiku.”Sudah, sudah. Siapa pun bisa menjadi ayah dan ibu.”
Ibu mengangguk. Mengusap air mata. Mengenang, dulu sekali, dua puluh tahun yang lalu, ketika cinta begitu menggelegak, hingga akhirnya mereka menikah meski perbedaan kasta saat itu merupakan hal yang sangat tabu untuk dilanggar.
Di suatu mushala yang sempit, dengan syahdu, dan gaun yang dijahit sendiri oleh Ibu, mereka menikah. Mengaitkan cincin emas yang bertahtakan berlian. Tentu saja, meski ini pernikahan yang sangat sederhana, Haidar, tetap mengusahakan mengadakan cincin termahal untuk ibuku, Fayruzia, dengan menjual harga dirinya, memohon kepada ayah kandungnya sendiri.
Ya. Mungkin saat itu cinta memang menjadi pengait dan semangat mereka. Membina rumah tangga, lima tahun lamanya, dengan bahagia. Hingga akhirnya, di pagi yang buta, Ibu meraup adikku yang masih merah dengan panik, membangunkan tidur pulasku, lalu setengah berlari meninggalkan kontrakan kami, bersama Ayah yang tampak pucat mengikuti di belakang.
“Fa, segera tinggalkan kota ini. dan naik perahu ini,”kata Ayah kepada Ibu saat itu. Raut mukanya terlihat sangat lelah. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat itu. Lalu ayah membimbingku naik perahu, menciumku di kening, lalu mengangkatku ke atas sekali.”Putri Ayah, jaga ibu dan adikmu, ya. Suatu saat kita akan bertemu.”
Lalu kami bertolak. Menuju suatu pulau antah berantah. Meninggalkan segala macam peradaban manusia, dan terombang ambing merintis kehidupan baru di sebuah pulau terpencil.
Ya. Mungkin cinta lah yang membuat ibu tetap bertahan. Setiap hari meniti hutan yang belum terjamah, lalu memunguti makanan untuk kami, anak-anaknya yang bodoh dan tidak tahu apa-apa.
Lalu, satu minggu kemudian, seorang kurir datang, bersama beberapa tukang, lalu membangunkan kami rumah yang sederhana.
Entah, mungkin inilah bentuk keberadaan ayah yang masih hidup nun jauh di sana. Lalu secara berkala, datanglah beragam fasilitas, peralatan memasak, dan dipan serta lemari. Selama berbulan-bulan demikian, hingga akhirnya terjalinlah semacam hubungan kekeluargaan dengan para kurir yang secara bergiliran dikirim ke pulau.
Ketika memasuki usia sekolah, beragam fasilitas untuk belajar juga dikirim. Hingga akhirnya aku harus melanjutkan sekolah di luar pulau kecil itu. Meninggalkan dua belahan hatiku sendirian.
Setiap pukul tiga dini hari kami telah mendayung, menuju pulau terdekat. Ibu akan bekerja sebagai guru, sementara aku dan adikku sekolah. Begitu berjalan setiap hari. Dan kami akan kembali pulang pada pukul 8 malam. Kami telah mematikan harapan akan keberadaan ayah di antara kami.
Karena harapan itu sangat-sangat mustahil. Suatu hari, ibu kedatangan salah satu kurir. Dia berkeringat dingin dan pucat. Rupanya, dia membawa kabar dari seberang. Sebuah kertas bermotif mawar merah, tertera nama dua manusia dengan tinta emas, dibubuhi dengan pita putih yang mengikatnya. Ibu langsung gemetar. Lalu jatuh terduduk di lantai dengan tangis memilukan. Bahkan sebelum membuka surat itu, ibu sudah tahu isinya.
Ya. Selama ini kami dan ayah tidak pernah berkomunikasi. Pun tidak sepucuk kata pun yang dititipkan ayah untuk kami. Yang kami tangkap dari kesan para kurir, ayah menyelundupkan kami ke pulau ini untuk menyelamatkan kami dari amukan orangtua ayah. Dan ayah tidak ingin menitipkan kata-kata karena ayah tidak tahan memikirkan kami yang sengsara dan merindukan kami.
Namun, kenyataannya? Sekarang ayah akan menikah. Apakah maksud semua ini, Ayah? Pernah suatu hari aku berdialog dengan bintang-bintang, mengandaikan salah satunya adalah bintang jelmaan ayah yang akan menjawab semua rasa ingin tahuku.
Lantas, pagi harinya, ibu memutuskan untuk meninggalkan pulau itu. Meninggalkan semua kenangan pahit itu. Saat itu adikku berusia tiga tahun. Kami pergi tanpa permisi, karena memang tuan rumah tidak akan peduli. Kurir-kurir itu akan datang lagi seminggu kemudian, dan saat itu adalah waktu yang tepat untuk pergi dari pulau terkutuk ini.
Kami mendayung. Dan mendayung. Meninggalkan semua kenangan pahit. Meninggalkan semua harapan palsu, dan dusta dari segala macam bentuk perhatian ayah.
Kami memulai segalanya dari nol. Ibu memiliki cukup tabungan untuk membeli rumah kecil di dekat kompleks sekolahku dan adikku. Lalu, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, hidup kami berlanjut seperti biasa. Hingga detik ini, saat adikku sudah cukup dewasa untuk menelan racun pahit keluarga kami.
Ya. Kisah ini bukan kisah cinderella. Bukan pula kisah puteri tidur. Kisah ini hanyalah satu potong dari sekian juta serpihan kisah serupa di dunia ini. sekarang, kami bisa menerima, bahwa ibu kami adalah ayah kami juga. Samar-samar aku masih mampu mengingat raut wajah ayah, ketika bercengkerama dengan kami dulu. tapi manusia tidak selamanya ingat bukan? Mungkin begitu pula ayah. Sekarang, kami sudah bahagia. Mampu menerima dengan lapang dada. Dan di akhir minggu, rekreasi yang paling menyenangkan adalah pantai. Memandangi laut lepas, lalu sunyi. Ibu dengan pikirannya sendiri, pasti memikirkan ayah yang begini atau begitu. Aku pun terdiam, namun lebih sering memikirkan hidupku saat ini, sekolahku, dan kawan-kawanku. Sedangkan adikku, entahlah. Aku tidak paham dan tidak mampu mengira-ira isi otak anak kecil.
Singgasana emas, 2 Juli 2010 pukul 11:55 waktu handphone. 11:57 waktu laptop.
Don't Ever Forget Why You were Born to This World!
Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .
July 4, 2010 at 9:03 AM
semoga bukan kisah nyata, hehe...
like this
"11:55 waktu handphone. 11:57 waktu laptop"
maksudnya ap nih, ngakak ane... haha