Hari minggu kemarin adalah my perfect day. Senang dan duka datang silih berganti dalam jeda tipis. Gimana enggak, paginya masih hepi hepi hepi, sorenya bad banget. Pagi jam 5 aku bertolak dari Salatiga menuju Jogja, Alhamdulillah jalanan sudah ramai. Aktivitas kehidupan mulai menyala. Dingin menggigit tulang, kabut memeluk puncak-puncak bukit, dan kota masih tampak bercahaya dari atas sana. Aku sampe rumah jam setengah delapanan, sebelumnya mampir dulu ke kosannya Triya, mengembalikan amanah rok darinya. Sampai rumah, aku kangen-kangenan sama keluarga dulu, becanda sama dek Huda, seneng banget bisa pulang setelah seminggu berkutat dengan dunia koas yang menuntut perhatian penuh.
Setelah itu aku pergi ke rumah Bu Warni untuk mengurus tas, alhamdulillaah tasnya selesai banyak dan bagus-bagus pula. Tapi Bu Yus lagi sakit jadi nggak ada tas yang selesai dijahit. Gak kecewa sih, aku bisa maklum soal itu. Trus di rumah ibu pamer kalung 20 gramnya, cieh gaya banget ibu nih. Kalung mahalnya dipinjemin ke aku, trus enak gitu, nempel banget di leherku. Haha.
Aku juga dapet pinjeman buku anestesi terbitan dokter dari RS Panembahan Senopati tempat koas kakak. Lumayanlah ada bahan untuk belajar. Siangnya aku ke rumah dosenku yang mau beli tas, alhamdulillaah laku tiga tas. Hoho. Lumayan banget lah hepi.
Aku belajar untuk bersyukur, karena hal-hal baik dan buruk yang hadir dalam kehidupanku tidak ada yang sia-sia. Semuanya adalah caraku untuk belajar, untuk menjadi lebih baik dengan pemikiran yang dinamis. Sore itu aku bercerita pada kakak tentang upayaku membantu dia namun salah orang. Jadi ceritanya ada mr. x yang tampaknya laki-laki idaman, sholeh, berkenalan dengan kakak di media sosial. Aku pikir, tentu baik sekali jika perkenalan ini berlanjut. Dengan antusiasme seorang saudara, aku ingin membantu memberikan informasi tentang kakakku seandainya mr.x ingin mengetahui sesuatu tentangnya. Tapi ternyata aku salah orang, karena dua suku nama depannya sama, namun nama belakangnya berbeda.
Reaksi kakakku? Katanya, sekali lagi aku berani mencampuri urusan kehidupannya, dia akan mengikatku di pasar dan meneriakiku pelacur. Katanya aku Cuma bikin malu dan menurunkan harga dirinya. Dengan nada keras, dia mengucapkan kata-kata yang unbelievable. Haha. Hebat sekali.
Pelajaran buatku, bahwasanya ada orang yang memiliki double standards. Bagaimana tidak, kepada keluarga dia bersikap begini, namun kepada orang lain dia bersikap begitu. Bukan berarti karena kita bersaudara, aku harus bisa menelan semua kata-kata kurang ajarnya. Bukan berarti karena kita saudara, aku jadi harus memaklumi semua sikap immature-nya.
Apa gunanya sekolah hingga S2 jika emosi aja masih seenak udel keluar, jika amarah masih semudah itu terpicu, dan tata krama berbicara masih sekasar itu, serta sikap merendahkan orang lain masih seperti orang ga sekolah.
Aku ga bilang aku bebas dari salah. Tentu aku pun punya banyak salah ke dia. Mudah bagiku untuk meminta maaf. Apa salahnya meminta maaf setelah kita mungkin menyakiti hati orang lain? Okelah, ada teori bahwasanya gelas pecah tidak akan utuh hanya dengan sekadar maaf, tapi mengucapkan maaf setelah cekcok masih lebih baik daripada tidak sama sekali kan?
Dunia kami dibatasi oleh jurang yang disebut komunikasi. Kapan aku bisa berkomunikasi dengan wajar sama dia? Niatku becanda aja dianggep serius, menyinggung perasaan. Alamak. Aku mencoba bersikap sewajarnya seperti teman, becanda, tapi yang ada malah emosi. Yasudahlah. Mungkin memang jurang itu terlalu sulit untuk dijembatani. Dia tidak pernah bisa memposisikan dirinya sebagai aku, yang dia inginkan hanya dimengerti dan dimengerti. Tapi jelas aku juga males ngertiin orang kayak gitu jadinya. Hehe. yasudahlah kita hidup sendiri-sendiri saja. terima kasih.