twitter


Hari yang sangat bahagia yang sudah lama dinanti akhirnya datang juga. Seorang akhwat yang cimahi dia menyebut dirinya, Ssssst…bukan nama daerah yang ada di jawa barat lohHhh,,heee, maksudya”centil manja ala hidup islami”. Dia adalah ukhti Zei seorang aktivis kampus dengan segudang kegiatan. Katanya itu melambangkan sedikit tentang dirinya.

Kebahagiaan yang tidak ternilai taranya setelah menuntut ilmu 4 tahun di kampus matahari terbit ini, akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Ia duduk paling depan, bersama teman seperjuangannya, teman yang mengerti akan dirinya, teman yang membawa dirinya dari jaman yang gelap kejaman terang benderang (waduh…kayak kartini aja heee ).

Satu persatu nama disebutkan dan akhirnya tibalah nama Zei disebutkan. Saat Padek ingin menyerahkan piagam yang menandakan ia t’lah mejadi seorang sarjana keperawatan, Zei mencuri pandang kearah kiri, dilihatnya wanita yang paruh baya itu mengeluarkan gerimis dan reda karena teriknya matahari, yang didampingi anak tertuanya. Seorang ibu yang kuat, sabar, penuh kasih sayang dan penyemangat bagi anak-anaknya. Beliau adalah ibu Zei.

(Zei kaget) Padek memanggilnya, “ayo buruan” dan akhirnya piagam itu nyampai juga ketangannya, pertanda Zei sudah sah jadi sarjana keperawatan, pikirannya langsung berkelana (mengingat perjuangan Rufaidah, perawat muslimah pertama).

Dia pun mendapat nilai yang sangat memuaskan sebanding dengan usahanya selama ini. Walaupun seorang aktivis dia tidak pernah mengabaikan amanah orang tuanya. Makanya ia pun lulus tepat waktu. Orang tuanya sangat bangga pada dirinya. Acara wisuda pun selesai, sekarang giliran foto-foto keluarga heee, tiba2 Zei dan keluarganya terpisah. Mereka saling mencari dikerumunan orang banyak. Ibu paruh baya itu kembali lagi kedalam sportorium sepertinya mencari berlian yang hilang, (beliau melihat kesana-kemari belum juga menemukannya).

“kak, kemana aboen\(nama kesayangan)" kata ibu itu. Kakak Zei :“gak tau mak, paling kumpul dengan kawannya”. Setelah lama mencari akhirnya ibu itu tertuju pada anak gadis yang anggun dan cantik, mengenakan kebaya warna merah marun yang tidak asing lagi baginya. “abon” sapa beliau. Zei pun menoleh dan langsung menghampiri ibunya, memeluk dan menciumnya sambil berkata “terimakasih mak, atas do’a mak aku bisa seperti sekarang”. (Air hujan pun turun kembali) “ boen, kamu sudah membahagiakan mak dan keluarga. Kamu sudah menjadi anak yang soleha dan berbakti pada orang tua seperti yang diinginkan ayah mu”.

Ya, Zei ingat dengan cerita ibunya 6 tahun silam waktu ia duduk di kelas X1 SMA. Ia berasal dari Sumatra. Waktu liburan semester, seperti biasa Zei pulang ke desa yang jarak 1,5 jam dari kota tempat ia menuntut ilmu untuk melepas kangen. Setelah dua hari di desa seperti biasa ibunya mengajak Zei pergi ke kebun untuk menemani beliau. Waktu itu musim panen sahang (lada). Itu hal yang menyenangkan bagi Zei. Hanya Zei dan ibunya yang kekebun karena kakaknya ada urusan dengan bisnisnya. Sesampai di kebun mereka pun langsung memetik sahang. Mereka larut dengan alunan musik radio zaman orde baru itu. Tiba-tiba Zei bertanya : “ mak, kapan ayah meninggalkan kita?”.
“ kok pertanyaannya gitu” sahut ibunya.
“ ya aku kangen aja, tadi malam aku mimpi ada seorang bapak memanggil ku dengan sebutan anak ku, kamu membuat ku bahagia, udah gitu aku terbangun”.
“ waktu kamu berumur 8 bulan boen”
“bearti seumuran aku ayah udah ninggalin kita” kata Zei.
“ ya, 9 tahun ayah mu sakit-sakitan dan gak bisa bekerja, alhamdulillah Acu mu (paman) yang membantu mak menghidupi kakak-kakak mu. Lalu lahirlah kamu.

Waktu masih bayi ayah mu mengendong mu dan berkata pada mak,”Na, anak ini yang akan menolong aku nanti, yang akan membahagiakan keluarga”. Mak bilang : “ mana mungkin bisa nolong kamu yah,orang dia masih kecil”. Ayah berkata : “ lihat aja nanti Na, kalau tidak percaya”. Waktu kamu berumur 8 bulan beliau menghembuskan nafas terakhirnya.“ mak…(dari jauh kakaknya Zei memanggil) ayo kita foto keluarga”.

Dia adalah seorang kakak yang sangat baik, gigih, tegas, tetapi penyayang dan tak pernah lelah mencari nafkah untuk keluarganya dan membiayai adiknya yang sekarang baru saja sarjana. Seorang kakak yang hebat, pengganti ayah bagi adik-adiknya. Selesai berfoto dengan gaya yang narsis bersama keponakannya yang imut2 heee. kakak Zei, Ayuknya dan ponakan2nya pulang duluan kepenginapan, tinggallah Zei dan ibunya. Mereka berjalan menuju taman Firdaus (taman didekat maskam), dengan sedikit membawa makanan untuk ikan-ikan yang slalu menanti kedatangannya. Sebentar lagi mereka akan kehilangan sang dermawati yang slalu menemani mereka setiap pagi.

 Mereka duduk sambil mengamati gerik-gerik ikan sambil menaburkan sedikit rezeki untuk mereka. “ mak setelah ini aku profesi 1,3 tahun untuk ngambil gelar Ners,” (celetus Zei dengan nada manja). “Setelah itu pulang kedaerah kan?”
“ tentulah mak ku sayang”
, aku pengen menjadi agent of change,dan………(sambil tertawa) ” kata Zie.
Kata ibu “ apalagi?”
“heeee s’tlah 2 tahun bekerja aku mau ngelanjutin S2 ngambil spesialis jiwa minimal di Malaysia, Mak ngizinkan?”. “Tentu aboen, selagi itu yang terbaik untuk mu” sahut ibunya.
“Ya, Allah itu Maha Pengabul do’a hamba2nya ya mak, akhirnya cita-cita ku terkabul. Aku seperti mimpi mak”.
“Makanya jangan pernah kamu berpaling dariNya anakku,” sahut ibunya.
Kumandang adzan memecahkan percakapan mereka, lalu mereka menuju rumah Allah.


Dira mengucek-ucek matanya. Ups. Rupanya jam telah menunjukkan pukul empat. Cepat disingkapkannya selimut yang melingkupi tubuhnya, menggeliat sebentar, berdo’a, lalu bergegas bangun. Dengan muka masih terkantuk-kantuk, dia cebar-cebur sekenanya. Alhasil, lima menit saja mandinya selesai sudah. Sambil menggigil, dia mematut-matut diri di depan cermin. Lalu, seperti biasa, berteriak panik hingga membangunkan seisi rumah.
“Ummi. . . siapin sarapan ya. .”
Ummi rupanya masih tidur. Terpaksa bangun karena anak semata wayangnya itu. “Iyaa. .”
“Ummi. . . jilbab cokelat Dira mana?” lagi-lagi Dira berteriak.
“Di lemari bawah. . “
“Ummi. . . gamis bunga-bunga Dira kok gak ada ya?”
“Minta tolong Abi sana, sayang. . Ummi lagi masak nih..”
Jadilah Dira memanggil-manggil Abinya. Rupanya Abi masih tidur. Dengan tidak sabar dia mengguncang-guncang Abinya. “Bi. . Bantuin siap-siap. .”
“Ergh. . Iya.. “Abi langsung bangun. Lalu mencubit pipi anaknya yang chubby itu.
“Masih kurang apa lagi nih, Puteri?”
“Hehe. Bantuin cari gamis Dira, ya, Bi. .”
Jadilah keluarga kecil itu sibuk mengobrak-abrik seisi rumah demi persiapan anak tersayang mereka yang akan mengikuti seminar hari ini.
“Mukena sudah, mushaf sudah, alat tulis sudah, novel sudah, sarapan sudah,”Dira mengabsen satu-persatu isi tasnya. Lalu berteriak sambil memegang kepalanya,”OMG! Tiket!”
Lagi dia menggeledah kamarnya, dibantu oleh orangtuanya. Akhirnya ketemu juga. Dan jam telah menunjukkan pukul lima. Dira harus segera berangkat ke stasiun.
Dengan takzim, dia mencium tangan Abi dan Ummi.”Dira berangkat dulu, ya Bi. . Mi. . “
“Iya, sayang. . Ati-ati. Abi dan Ummi doain Dira selalu. . Ingat, niatkan setiap kegiatan karena Allah, ya Sayang. . Dan petiklah setiap hikmah yang ada dalam setiap langkah yang Dira ambil. .awali hari dengan 3 S, Syukur, Semangat, dan Senyuman. .dan S satu lagi, Sarapan. . “ Abi tak lupa memberi wejangan kepada anaknya itu.”dan satu lagi,” Umminya menambahkan,”Jangan lupa berdo’a ya, Sayang. . Oya, nanti pulangnya sebelum jam 6 ya. . Abi sama Ummi mau ke tempat Bulik. . Esta lagi sakit, nanti kita jenguk, ya, Sayang. .”
Dira mengangguk dalam.”Iya Bi. . Mi. .pokoknya nanti Dira sampai rumah sebelum jam 6. .”
Lalu dia menaiki motornya. Tersenyum pada orangtuanya. “Assalamu’alaikum . .”pamitnya.
Abi dan Ummi menjawab, sambil melambaikan tangan,” Wa’alaikumussalam, Sayang. .”
Dira memacu motornya dengan kencang. Di spedometernya jarum penunjuk mengarah pada angka seratus. Jalanan masih sangat lengang rupanya. Lampu jalan menerangi derapnya, seolah mengantarkannya ke tempat tujuannya. Dira bersenandung ria, meskipun giginya bergemeletuk menahan dingin yang merasuk hingga serasa tulang-tulangnya membeku. Jalanan berkabut dan berembun. Sang surya baru menebarkan bayangan jingga, dan geliat aktivitas baru akan dimulai. Dira tersenyum, membayangkan akan seperti apa seminar hari ini.
Dan tak terasa sampai sudah ia di stasiun. Dira celingukan. Pasalnya, dia belum melihat batang hidung teman-temannya. Olala, sepertinya dia kepagian. Dira menggerutu. Gimana sih, katanya ontime. .
Akhirnya dia membuka sarapannya, melihat lauk kesukaannya, ati ampela sambal pedas dan oseng-oseng kangkung, lalu mendekatkan hidungnya, menikmati aroma masakan buatan Ummi yang sangat sangat lezat. Dia menyantapnya dengan lahap, sendirian, di bangku stasiun di pojok. Di dekatnya ada pos satpam, sehingga dia tidak perlu khawatir ada preman-preman yang katanya sering mangkal di stasiun itu.
Akhirnya teman-temannya datang. Mereka bersalam-salaman, menanyakan kabar, dan bertukar cerita seputar persiapan pagi ini. Lalu kereta datang. Mereka bergegas masuk ke dalam gerbong, dan kereta pun bertolak menuju Solo.
Dira duduk dengan kakak angkatannya, Kak Indah. Cantik sekali, batin Dira. Anggun dan alim, tambahnya. Dia membandingkan dirinya sekilas. Lalu tersenyum sendiri. Beda sekali dengannya yang seenaknya, bandel, dan rame. Dira menyapa kak Indah,”Hai Kak. .”
Kak Indah tersenyum. “Pagi, Dek. .”
“Nanti duduk bareng ya, pas seminar. .”ujarnya.
“Boleh. .”
“Kak Indah mau baca buku apa?”tanyanya ketika kak Indah mengeluarkan buku dari tasnya.
“Prophetic Learning. Udah pernah baca?”
Dira menjadi antusias. “Udah, Kak. Bagus! Bikin semangat!” sahut Dira keras.
Serta merta kak Indah menatapnya,”Ssst. . jangan keras-keras ya Dek. .”
Dira langsung tergagap.”Oh. . iya. Afwan, Kak.”
Dira manyun. Lalu seperti biasanya, dia menikmati pemandangan persawahan di kejauhan. Dia memandangi bentuk-bentuk awan. Dan dia tertawa-tawa sendiri, melihat ada awan yang bentuknya mirip paha ayam, ada yang bentuknya mirip donat. Rasa laparnya serta merta terbit lagi. Bosan, dia mengeluarkan novelnya. The Harsh Cry of The Heron. Buku favoritnya sepanjang masa.
Dira membacanya dengan tekun. Mengimajinasikan setiap babak ceritanya. Kisah cinta antara Lord Otori Takeo dan Lady Shirakawa, pengkhianatan Arai Zenko, dan pengorbanan yang begitu besar dari Lady Shigeko. Hingga akhirnya ramalan kematian Takeo yang menjadi kenyataan: Mati di tangan puteranya sendiri. Lalu matanya mulai pedas. Dia menatap ke bangku di depannya. Rupanya Tari sedang menatapnya juga. Mereka tersenyum. Akhirnya mereka malah bercanda, tebak-tebakan tidak jelas. Lalu tertawa terbahak-bahak.
Ups. Tahu-tahu kak Indah mendesis ke arahnya.”Sst. . jangan berlebihan tertawanya, Dek. .”
Mereka seketika terdiam. Dira mulai merasa tidak nyaman. Lalu rona mukanya menjadi kusut. Sedih. Dia mengeluarkan pemutar musiknya, memutar lagu favoritnya. Lalu melanjutkan membaca.
Akhirnya mereka sampai di Solo. Begitu turun, telah ada bis yang akan mengantar mereka serombongan menuju tempat seminar.
Dira terpesona dengan acara seminar hari ini. Begitu syahdu dan Islami. Dia bersemangat mengikuti setiap sesi seminar. Dan dia duduk di sebelah kak Indah, seperti janji mereka di kereta tadi. Dan tiba-tiba di tengah sesi kedua, handphone-nya bergetar.
Dari: +628572xxxxxxx
Diraaa. . . . kamu ikut seminar ya?? Aku di sayap kiri. . . Cindy.
Dira celingukan gembira. Cindy! Sahabatnya semasa SMA. Dira hanya melihat siluet kabur orang-orang yang memenuhi auditorium. Pasalnya matanya minus cukup banyak, namun dia masih bandel untuk tidak mengenakan kacamata.
Tidak berhasil menemukan sosok Cindy di deretan ratusan orang yang ada di depannya, dia mengiriminya pesan,”Kamu di mana? Aku gak liat.”
Tak lama berselang, Cindy membalas,”Pake baju oranye.”
Dira menyipitkan matanya. Dilihatnya ada tiga orang yang mengenakan baju oranye. Tapi ada satu orang yang melambai-lambai ke arahnya. Aha! Itu Cindy!
Dira tersenyum lebar. Sangat bahagia. Air matanya hampir menitik.
Dia kembali fokus pada acara seminar, sembari tetap tersenyum. Ah, rasanya aku rindu sekali padanya, batin Dira.
Akhirnya break ishoma. Dira bergegas menghampiri Cindy. Lalu mereka berpelukan melepas rindu. Cindy, temannya yang sangat pintar, baik, dan bijak itu, ternyata tidak berubah. Dia malah terlihat semakin dewasa, batin Dira mencermati sahabatnya itu.
Lalu acara seminar dilanjutkan lagi. Tiba-tiba handphone Dira bergetar. Kali ini panggilan dari Ummi.
“Assalamu’alaikum, Ummi, ada apa? Dira masih seminar.”
“Esta, Sakitnya tambah parah. Sekarang dia di rumah sakit, Sayang. Nanti begitu acara seminarnya selesai, langsung pulang, ya. . Kita jenguk Esta bareng-bareng. .”
“Iya, Mi. . Dira usahain.”
Dira mengernyitkan dahi. Memutar otak bagaimana caranya bisa langsung kabur begitu acara seminar selesai. Tadi di awal acara dia sudah diwanti-wanti untuk mengikuti sesi foto-foto begitu acara ini usai. Dan akhirnya seminar pun usai sudah.
Dengan takut-takut, Dira meminta izin pada kak Indah,”Kak, aku pulang dulu, ya. . Sepupuku masuk rumah sakit. Aku diminta segera pulang. .”
Kak Indah masih tampak tenang, tapi nadanya berubah,”Dira, setelah ini masih ada acara foto-foto. Nanti pulangnya bareng-bareng, ya.”
Dira hampir saja kehabisan kesabaran.”Tapi ini penting, Kak. Aku juga udah janji bakal langsung pulang begitu acara seminarnya kelar. Lagian kalo pulangnya nanti-nanti, bisa-bisa aku kemaleman sampe rumah.”
Kak Indah masih belum mengizinkan. “Jangan egois, Dek. . kamu tadi datang ke sini bareng-bareng, jadi pulangnya juga harus bareng-bareng. Memangnya kamu bisa pulang sendiri? Kamu tahu jalan pulang?”
Dira terperangah. Egois? Aku berusaha memenangkan kalian berdua! Antara seminar dan kepentingan keluarga! Tapi mengapa aku dicap egois?? Dira hampir meledak. Tapi ditahannya semua kata-katanya.
“Tahu, Kak. Aku pulang sama Cindy. Dia orang sini. Dia yang akan memastikan aku sampai rumah dengan selamat. Aku janji. Maaf gak bisa ikut acara ini sampai akhir. Maaf gak bisa pulang bareng-bareng.”
Untungnya Kak Indah ternyata memperbolehkan,”Ya sudah. Hati-hati ya, Dek. . jangan lupa pamitan sama kak Shinta juga ya. .”
Dira langsung pergi setelah sebelumnya mengucap salam. Lalu dia menghampiri Cindy, menggamitnya menuruni tangga, sementara kak Indah mengikutinya dengan pandangan mata dan senyuman dari kejauhan.
Akhirnya mereka sampai di stasiun. Cindy memberi pengarahan singkat di mana membeli tiket, dan kereta mana yang harus ditumpangi.
“Makasi, ya, Cind. . Kamu baik banget. Assalamu’alaikum,”pamitnya sambil menyeka air mata.
“Iya. Dah, buruan,”Cindy tersenyum padanya.
Dira bergegas membeli tiket. Hampir saja dia ketinggalan kereta. Karena begitu dia naik, kereta tersebut langsung mengumumkan bahwa mereka akan segera berangkat. Leganya hati Dira, karena tak perlu menunggu satu jam lagi.
Dalam kereta, Dira termenung. Benarkah aku egois? Batinnya galau. Salahkah aku pulang duluan? Air matanya tak mau berhenti. Dia begitu terpukul. Dia merasa tidak siap diingatkan dan dikritik dengan cara demikian. Sikapku masih belum dewasa. Sikapku tidak anggun. Tingkahku belum mencirikan bahwa aku seorang muslimah, Dira mengutuki dirinya. Dia menginsyafi pikirannya yang penuh emosi tadi. Tidak pada tempatnya aku menjelaskan dengan penuh emosi, karena orang akan menjadi lebih sulit menangkap inti penjelasanku, Dira mengintrospeksi dirinya.
Dira sedih sekali. Terutama karena menyadari apa yang dikatakan kak Indah benar. Dia masih belum dapat mengendalikan sikapnya. Mengendalikan cara tertawanya yang kadang kelewatan. Dan, mengenai keegoisannya, dia menyadari terkadang egonya begitu kuat. Tapi, kali ini dia yakin, ini adalah pilihan langkah terbaik. Dia ingin memenangkan keduanya. Win-win solution. Mengikuti acara seminar hingga selesai telah berhasil dilaksanakannya, dan sekarang dia berpacu dengan waktu, memenuhi janji pada orangtuanya untuk pulang ontime pukul enam.
Dira tersenyum. Sekarang dia mengerti, begitu sulit menempatkan diri di mata orang lain yang baru dikenalnya. Dia berusaha memaafkan kesalahpahaman antara dia dan Kak Indah. Mengusir segala prasangka dan amarah. Kak Indah belum mengenalku, batinnya. Dan aku harus berubah mulai sekarang. Jadi wanita muslimah yang seimbang antara penampilan dan sikapnya. Aku ingin seperti kak Indah yang dewasa, cantik, dan pintar mengendalikan sikap, tekadnya.
Dira menuruni kereta sendirian, dengan air muka yang sendu, tapi dengan kesadaran baru: berubah menjadi lebih baik.

Singgasana Emas, Pukul 5: 28, 30 Mei 2010


13 Mei 2010


Hari ini aku memasak donat kentang bersama teman-teman SMA. Tiap orang udah kejatah bawa bahan-bahan. Lalu kami berangkat bareng ke rumah Mbak Wening.
Oke dah. Yang penting-penting aja ya. Sekarang, mari kita simak step-step bikin donat kentang spesial liburan.
Pertama, siapin alat bahan.
Alatnya, baskom yang ukuran gede, atau yang ukuran sedang dua buah. Terus, siapin sendok, piring, panci, wajan, sutil, serok, dan, jangan lupa dan paling penting, kompor. Oh, kita juga pake serbet basah yang bersih, buat nutupi adonan supaya dia mau ngembang. Dan, minimal 6 tangan ekstra untuk bekerja.
Lalu, kita siapin bahannya. Bahannya emang agak rumit kalo mau bikin donat lezat yang gurih dan manis.
Bahannya, tepung terigu 1 kilogram, 33 gram ragi roti(fermipan 3 bungkus), 40 gram susu bubuk, 10 gram garam, 150 gram gula pasir, 3 butir telur, 150 gram mentega, kentang ukuran sedang 6 buah. Untuk finishingnya, pake gula halus, atau oke juga kalo mau pake cokelat cair dan sprinkle tabur.
How to make it? Btw, berasa mau bikin procedure text jaman SMA aja nih. Hohoho. Tapi ini Indonesian Version. Lanjut, caranya:
Cuci semua alat yang kita butuhkan. Trus, cuci juga kentang dan telurnya. Utamakan kebersihan proses biar hasilnya juga gak bikin sakit perut, atau semacamnya. Lalu, kita kukus si kentang itu, tapi jangan lupa dikupas dulu.
Setelah itu, kita ulek si kentang. Nah, ini nih, enaknya kerja bareng-bareng. Dianjurkan memang bikin donat tuh harus bareng-bareng mengingat nanti ada sesi banting membanting yang butuh tenaga ekstra.
After that, kita tuang tepung terigu semuanya, lalu, mengutip istilah mbak Wening, kita bikin “sumuran”. Yaitu, kita bikin bentuk sumur di tengah-tengah tepung yang menggunung itu. Lalu ditengah-tengah sumur itu, kita masukkan kentang, telur, mentega, garam, susu bubuk, ragi roti, dan gula pasir. Lalu, kita uleni. Kita aduk-aduk pake tangan. Oya, jangan lupa cuci tangan dulu sebelum memulai semua prosesi sakral ini.
Diuleni terus sampe kalis. Sampe tercampur rata. Lalu kita banting-banting, sampe lembut dan liat. Boleh deh, kalo capek, kalo pegel, tangan-tangan yang lain ikut membantu. Kalo tangannya capek, boleh deh pake kaki. Hehehehe.
Dah rata, dah halus, lalu kita biarkan dulu. nah, kalo tadi nguleni nya pake baskom ukuran sedang satu buah, pas udah selesai nguleninya, mending dibagi dua aja ke baskom yang lain. tujuannya biar hasil pengembangannya maksimal. Udah dibagi, trus ditutup pake serbet basah. Mungkin si jamur Saccaromyces cerevisiae malu kali ya, kalo lagi fermentasi kita intip.
Dan, apa yang kita lakukan, selama satu jam penantian?
Kalo kami mah, kami berdiskusi. Tentang hal-hal yang bermutu pastinya. Ini nih, cuplikan obrolan kami tentang teori evolusi, Harun Yahya, dan Mbak Wening.
Kita semua tahu bahwa teori evolusi itu sangat tidak berdasar. Dan, Harun Yahya berkata, teori evolusi itu tidak memiliki bukti yang kuat. Lalu, mbak Wening berkata, evolusi menjadi spesies itu tidak ada, tetapi, evolusi dalam diri satu makhluk itu ada. Semisal, dalam diri satu spesies terjadi mutasi genetik, dan itu dapat diturunkan kepada keturunannya. Tapi gak mungkin mutasi itu sampai bisa menyebabkan munculnya spesies baru.
Harun Yahya berkata, lebih tepatnya, mengutip banyak perkataan ahli evolusi saat itu, bahwa mutasi itu lebih cenderung merusak dan tidak mungkin tercipta makhluk hidup baru dari hasil mutasi. Namun, mbak Wening membantah, seperti yang kita semua tahu, jaman sekarang telah banyak mutasi yang menguntungkan. Seperti misalnya, mutasi trisomik dari semangka menghasilkan semangka tanpa biji. Terus, misalnya, bunga krisan, yang kalo dikasih zat tertentu, membuat gennya berubah, dan bunganya jadi lebih mengembang.
Yah, teorinya ahli tersebut menurutku bisa dimaafkan secara buku itu terbit tahun 1990an, jadi penelitian tentang mutasi yang menguntungkan belum sempat diketahui ahli itu.
Selain itu, kami juga membahas mengenai Pemuda.
Apakah itu pemuda? Apakah pemuda sama dengan remaja? Apa ciri-ciri pemuda? Apa manfaat pemuda?
Pemuda, adalah seorang yang bersemangat, seorang yang berapi-api, seorang yang jiwanya masih bersih, dan seorang yang selalu berusaha untuk maju.
Jadi, pemuda itu tidak dibatasi oleh definisi usia. Kita dapat mengatakan bahwa seorang anak 13 tahun adalah pemuda, manakala dia memiliki definisi di atas. Sebagai contoh, Zaid bin Tsabit r.a., Dia suatu hari merengek pada Rasulullah SAW untuk ikut berperang. Dia sudah menenteng pedang yang bahkan ukurannya dua kali tubuh kecilnya. Namun Rasulullah tidak mengizinkan, mengingat ukuran tubuhnya yang kecil dan masih lemah. Dikhawatirkan, dia malah merepotkan barisan dan membuat pasukan terbagi konsentrasi untuk berperang sekaligus melindunginya. Berapakah usianya saat itu? Tiga belas tahun.
Kisah yang lain lagi, yaitu kisahnya Ali bin Abi Thalib r.a. Ketika Rasulullah berdakwah di Mekkah suatu hari, ada seorang anak kecil yang langsung berapi-api menunjukkan keIslamannya. Dan Rasulullah menyebutnya pemuda, bukan anak-anak. Berapakah usia Ali saat itu? Sembilan tahun.
Jadi, apa beda antara pemuda dan remaja?
Pemuda adalah sebutan yang lebih baik daripada remaja. Karena pertimbangan-pertimbangan di atas. Sekarang, apa saja kah ciri-ciri pemuda ?
Pertama, qolbun salim. Artinya, hati yang bersih. Pemuda adalah orang-orang yang belum memiliki syak wasangka, atau tujuan tersembunyi dalam setiap gerakannya. Kita lihat saja, dari gerakan Rengasdengklok, Reformasi 1998, bahkan demo-demo di jalanan, yang menjadi massa terbesar adalah pemuda. Mereka bersusah payah demo atau berjuang tanpa dibayar. Mereka melakukannya hanya demi meluruskan tatanan nilai dan kehidupan yang melenceng, bukan demi iming-iming harta.
Yang kedua adalah semangat. Pemuda adalah orang-orang yang memiliki semangat tinggi. Mereka selalu berusaha tak kenal menyerah di setiap medan tempur yang mereka hadapi.
Yang ketiga adalah dinamis. Pemuda adalah orang yang selalu bergerak, selalu berubah. Ingat pepatah, bergeraklah, karena diam itu mematikan.
Manfaat pemuda, pemuda adalah tonggak kemajuan peradaban suatu bangsa. Atau secara cakupan besar, tonggak kemajuan peradaban zaman. Karena dari pemuda lah timbul gagasan-gagasan idealis yang dapat membangun tatanan masyarakat yang hancur.
Jadi, sangat penting sekali bagi sebuah negara untuk memperhatikan pemudanya, serta membekali mereka dengan keterampilan dan ilmu-ilmu yang dapat menjadi amunisi mereka membangun bangsa ini.
Sekian diskusi kami. Lanjut ke donat.
Akhirnya kami membentuk si adonan. Aku membentuk huruf A. Hohohoho. Narsis mode on. Tapi ternyata, didiemin pun si adonan tetap ngembang, dan akhirnya beberapa bentuk terpaksa kami renovasi ulang mengingat semakin besar saja ukurannya. Lalu digoreng dengan api kecil dan minyak yang banyak. Dan, tak perlu diceritakan panjang lebar berhubung tidak ada kehebohan yang terjadi, semisal kecipratan minyak, salah masukin donat ke panci atau ke apinya langsung, atau yang aneh-aneh gitu kebetulan tidak terjadi. Dan kebetulan aku tidak mengacaukan acara masak-memasak ini dengan tingkah polahku. Dan peran terbesarku adalah pas terakhir-terakhir, yaitu, nyuci-nyuci. Hahahaha.
Dan, aku membawa hasil keringatku pulang. Kata Ibu, hemm. . enak. .
Hohoho. Anna siap menerima pesanan. Hahahaha. Agak unbelievable si, aku bisa bikin donat. Mengingat kalo dah ke dapur, potensi ku yang menonjol adalah potensi destruktif, alias merusak.
Dan, aku jadi pengen masak terus nih. Hohohoho. Kayaknya anggun banget kalo dari tanganku bisa lahir beragam makanan enak. hmm. . . amin. Ayo semangat darkannarchy!
Sekian. Makasi makasi. .


1-2 Mei 2010


Hari ini hari Sabtu. Aku ikut supercamp. Sejak dini hari aku sudah mempersiapkan segalanya. Rencananya emang aku ega pake pulang dulu.
Dan akhirnya MCQ lewat. Ah, tak perlu kudefinisikan betapa pusingnya kepalaku saat mengerjakan soal-soal yang maut sekali itu.
Lalu, gemblungs maen. Hohoho. Biasa lah habis mcq kami refreshing. Lalu kita pergi makan ke Kamto. Trus kita ke Gale, fotobox.
Dan akhirnya hari beranjak sore. Kita juga uda bubar. Tapi aku ngekor ke rumah Wulan. Hhehehe. Makasih Wulan atas tumpangan tempat, makan, dan mandinya. Hehe.
Aku sempetin baca The Harsh Cry of The Heron juga sore itu. Trus biz maghrib aku bertolak ke masjid kampus UMY.
Yah, biasalah, aku ini anak nakal yang gak terbiasa bobo larut malam, apalagi begadang. Jadilah aku mengikuti sesi kajian dengan kepala bergelayutan tak karuan. Dan mbak-mbaknya yang iba melihat kepalaku kayak gantungan balon tertiup angin kencang, menyuruhku tidur saja.
Uah, pucuk dicinta ulam tiba. Lalu aku naik ke lantai paling atas tempat akhwat biasa sholat. Langsung kurebahkan diriku. Dan merajut mimpi.
Benar-benar keterlaluan deh aku ini. Mbak Che dan Ina berusaha membangunkanku untuk pindah tempat tidur soalnya aku tidur benar-benar asal tidur di tempat yang tidak beralas. dan aku bangun, em, lebih tepatnya mengigau dan berjalan ke karpet yang udah digelar.
Lalu, beranjak malam. Bulan sepertinya malu-malu, sehingga langit yang pekat semakin meninabobokan aku. Lalu mbak Che dan Ina, ini mereka yang cerita, ditambah ingatanku yang samar-samar.
Mereka membangunkanku, lagi. “Na, kunci motormu mana? Motormu mau dimasukkan.”
Aku tidak sadar saat itu. Kan aku takut mukaku pas tidur diliat orang, makanya kututup pake saputangan.
Aku yang tidak sadar ini disuruh nunjukin kunci, eh, kan aku di bawah sadar ingetnya biasanya kunci motor aku gantung di leher. Jadilah aku meraba leherku, mencari gantungan.
Aha! Ketemu, pikirku. Langsung kuangkat. Kuserahkan ke Ina.
Dan, apa yang terjadi teman-teman, mereka tertawa ngakak. Pasalnya, itu bukan kunci, tapi saputangan. Dasar aku dudul banget.
Laluu. . hari berikutnya, hari minggu, kami menuju ke Kalikuning. Whoaa. . susah.
Ah, pokoknya capek banget. Sekarang aja masih kerasa capeknya. Ah, aku jadi males cerita nih. Intinya capek, capek, dan capek.
Ups. Enggak juga dink. Ada hikmahnya juga dink. Intinya yang paling inti tuh. . mentadabburi fenomena dan keindahan alam. Kebesaran Allah dan ciptaan-Nya. (aku yakin ini yang sebaiknya aku koar-koarkan daripada nanti aku dicegat ketua Supercamp lalu ditanyai macam-macam dan dicap kader gagal). Hehehe.
Seruu. .
Dan aku juga menyadari kebugaranku ini sangat sangat rendah. Dikit-dikit ngos-ngosan. Jalan lemot kayak siput uzur. Aku sampe merasa aku harus ditandu. Hehehe. untung aja gak ada acara bikin dragbar. Bisa kesenengan aku kalo diusung beneran.
Dan akhirnya, last great moment, aku terjun pake tali ke bawah. Asem. Aku bener-bener terjun nih. Bukannya meluncur seperti seharusnya. Pasalnya aku make talinya gak di pangkal paha, tapi turun di deket dengkul. Jadilah aku terjungkir balik begitu nggantung. Dan dengan posisi kepala di bawah. Awalnya dah pede, begitu di tengah-tengah aku langsung pucet, treak-treak. Hahaha.
After all, it was great. Beneran seru banget. Taon depan mau deh ikut kayak gitu lagi. Aku malah rencananya tiap minggu khusus untuk olahraga jalan macam itu. Yah, kalo dari rumah sih tujuan yang paling potensial mungkin jembatan progo atau paling jauh ya pantai Pandansimo, Kuwaru, atau daerah situ.

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .