twitter


Jam Tangan

Dira mengenakan helmnya. Parkiran sudah sepi. Siang hampir tenggelam, dan senja tak sabar untuk menebar aroma violet keemasan. Dan, di tengah jalan, tiba-tiba refleks dia mengulurkan tangan ke depan, mengintip jam.
“Aaargh!!” teriaknya, sambil berhenti. “Jamku gak ada!” Dia meraba-raba pergelangan tangannya. Memelototinya. Tapi jamnya memang tidak ada di sana seperti biasanya.
Langsung dia memutar haluan, kembali lagi ke kampus, sambil berpikir, di mana kemungkinan jam kesayangannya itu berada.

***

“Medali Emas. . . Andina. .”
Deg. Bukan aku, batin Dira. Masih harap-harap cemas, dia menyimak pengumuman lomba desain dengan hati berdebar. Sampai habis pengumuman medali emas, harapannya tinggal setengah. Dilanjutkan dengan pengumuman medali perak.
“Medali perak. . Fairuz. .”
Teman di sebelahnya langsung berteriak histeris. Rupanya dia lah si empunya nama. Dira tersenyum, mengangguk, lalu kembali menyimak pengumuman pemenang. Dan dia telah menerima kenyataan terburuk jika dia pulang dengan tangan hampa.
“Dira Khoirunnisa. .”
Dira langsung tersentak. Hah? Jantungnya berderap kencang. Benarkah itu aku? Dia setengah menjerit. Teman-teman seprovinsinya langsung histeris.
“Diraa. . . sana maju. . ambil medalinya. .”
Dira masih kaku. Setengah tak percaya. Lalu dikuatkannya untuk berdiri, meskipun gemetar.
“Hwaa. . aku gak percaya. .hiks. . hiks. .” dia terisak, lalu meninggalkan bangku peserta menuju panggung.
Dengan bahagia, diterimanya medali, yang dikalungkan di lehernya, beserta boneka ayam bekisar khas Makassar. Lalu, berfoto-foto sebentar, dan bertukar sapa dengan pemenang lain yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Dan dengan hati yang campuraduk, dia kembali ke bangkunya.
Sesampainya di rumah, Bapak menyalami Dira, sambil mengusap airmata. Begitu pun Ibu.
“Ibu, ini ada sedikit rejeki. Dan mulai sekarang, biaya sekolah Dira gratis, soalnya Dira dapat beasiswa.”
Ibu tersenyum.”Terimakasih, anakku. Terimakasih sudah membanggakan keluarga ini.”
Seperti itulah. Gara-gara menang lomba itu, dia mendapat banyak beasiswa. Dan ternyata, masih ada hadiah tambahan yang lagi-lagi berupa uang yang jumlahnya cukup banyak.
Namun, sejalan dengan waktu, uang itu kian menipis. Hingga suatu hari, Dira ingin membeli jam tangan agar dia memiliki penunjuk waktu di mana pun dia berada.
Sampailah dia di salah satu toko jam ternama. Kemarin dia sudah mendatangi toko jam ini, sekedar mengecek harga. Dan sekarang, dia telah mengantongi sejumlah uang untuk menebus jam yang diincarnya tempo hari.
Dan, dia telah di atas motornya lagi, tapi dengan jam mungil yang melingkari pergelangan tangannya. Dira bersiul-siul gembira. Sedikit-sedikit dia melirik jamnya, entah ingin sekadar mengetahui waktu, atau ingin memastikan jamnya masih teronggok di sana atau tidak.
Hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Jam itu telah menemani Dira dalam segala kondisi. Suka, duka. Panas, dingin. Cerah, hujan. Siang, malam. Hingga hari ini.

***

“Kira-kira di mana ya?” Dira bergumam sendiri. Dia berjalan tepat seperti jalan yang dilaluinya selama di kampus. Kepalanya tertunduk ke bawah terus-menerus, berharap menemukan jamnya di sana.
Dira gelisah, itu pasti. Apalagi besok dia ujian. Tambah ruwet pikirannya. Jangan sampai Bapak dan Ibu tahu, tekadnya. Lalu dia kembali mencari. Di antara rerumputan, di kamar mandi, di ruang kuliah, dan tetap jam tangannya menjadi misteri.
Dira lelah, sungguh. Dengan air mata membanjir, dia kembali ke motornya. Bertolak pulang, dan melupakannya sejenak untuk memikirkan ujiannya esok hari.

***

Tak terasa seminggu telah lewat. Dan selama seminggu ini, untungnya Bapak dan Ibu tidak memperhatikan Dira yang tak pernah mengenakan jamnya lagi. Leganya hati Dira. Sekarang dia terfokus bekerja paruh waktu sehabis kuliah. Mengajar di sebuah bimbingan belajar setiap malam. Hingga tiga bulan lamanya, uang seharga jamnya yang dulu telah terkumpul. Dira bergegas menuju toko jam yang sama tempat dia membeli jamnya dulu.
Dira celingak celinguk memantau etalase. Lalu penjaga etalase menghampirinya.”Ada yang bisa dibantu, Dek?”
Dira ragu-ragu, “Jam kayak itu, tapi bentuknya kotak, masih ada gak?” tanyanya sembari menunjuk sebuah jam yang mirip dengan jamnya yang dulu. penjaga etalase itu masih belum mengerti. Dira dengan berapi-api mendeskripsikan jamnya yang hilang dulu. sampai satu jam lamanya, tapi sepertinya jam seperti miliknya dulu sudah tidak ada lagi.
Dira menghela napas, lunglai. Lalu dia meninggalkan toko itu. Lalu terpikir mendatangi toko lain yang lebih lengkap. Pokoknya kali ini harus ada, harapnya.
Toko yang ini memang lebih lengkap. Dari luar, terlihat kemilau jam-jam yang harganya pasti sangat mahal. Dengan langkah mantap dia masuk ke toko itu. Lantas menghampiri pelayan toko, dan mendeskripsikan jamnya seperti yang dilakukannya tadi.
“Baik. Mari ikut saya, Dik,”pelayan toko itu membimbingnya menuju suatu etalase, lalu mengeluarkan sebuah jam cantik.”Seperti ini bukan yang Adik maksud?”tanya pelayan toko itu ramah.
Dira terpukau, memang. Tapi bukan itu jamnya. Tapi dia mengangguk pasrah. Ya sudah, batinnya, yang penting tetap jam. Bisa menunjukkan waktu. Dan kebetulan sekali, membeli jam yang berbeda membuatku tidak terbayang-bayang masa lalu, batinnya.
Akhirnya dia membeli jam itu. Sesampainya di rumah, Ibu yang sedang mengobrol dengan Bapak di ruang tamu, menegurnya. “Dari mana, Dek?” Ibu memberi isyarat untuk mendekat.
Dira tergagap.”Dari kampus, Bu.”
Ibu sekilas memperhatikan pergelangan tangannya.”Itu jam tangan yang lama atau jam tangan baru lagi?”

***

Dira tertunduk, lalu diputuskannya untuk jujur. Di depan Ibu dan Bapaknya, semuanya ditumpahkan.
Bapak terdiam sesaat, lalu menasihati,”Besok hati-hati lagi saja. Bapak salut karena kamu sudah bertanggungjawab, dan berhasil membeli jam yang mirip dengan jam yang kamu miliki dulu. dan jagalah apa yang kamu miliki saat ini. ikhlaskan yang sudah hilang, biarkan orang lain yang menemukannya merasakan kebermanfaatan dari barang yang kamu sedekahkan itu.”
Dira mengangguk patuh. Dan sejak saat itu dia benar-benar menjaga jam barunya, agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.
Hari ini Dira pulang sore lagi. Dilihatnya, penjaga kampus mulai mengunci pintu dan menyalakan lampu. Dan, dia terkesima. Di tangan ibu penjaga kampus, kemerlap yang familiar terpantul. Itu adalah jam tangannya yang hilang. Dira tersenyum. Untunglah, jam itu berguna, bahkan lebih berguna di tangan ibu itu, batinnya lega. Dia menyapa ibu itu, lalu berjalan pulang dengan perasaan ringan dan gembira.

***

Dira sudah tidak memikirkan mengenai jam tangannya itu. Kesedihannya digantikan perasaan bahagia, setidaknya sekarang jam itu sudah ada di tangan yang tepat. Dan dia menjadi sadar untuk selalu berhati-hati dan menjaga barang yang dimilikinya.


Singgasana Emas, 11 Juni 2010. 18:42 waktu Laptop

3 comments:

  1. bisa komen gak nih

  1. kok Dira sih?? ^^,

  1. mas abe, tuh bisa , mas. . . hahahahaha. (doh).

    sekartawang, hahahahaha. sebut saja namanya demikian. demi melindungi pihak-pihak tertentu yang bersangkutan. hahahahaha

Post a Comment

Ayoooo. . . . dikomen yaaa .. . . . .

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .