twitter


Aku terengah-engah. Dan tiba-tiba tubuhku tersentak bersimbah keringat. Hanya mimpi rupanya. Syukurlah. Karena di kehidupan nyata, aku tahu mimpiku tak mungkin menjelma.
"Hei. Sayang, mimpi buruk lagi?"Rey, istriku, menyentuh lenganku dengan lembut. Aku mendiamkannya. Lalu beringsut mendekati jendela. Kusibakkan tirainya dan kuamati ribuan cahaya lampu jalan dan lampu kendaraan berdesak-desakan nun di bawah sana.
"Aku memimpikanmu lagi, Aira. Sedang apa kau sekarang?" bisikku pada uap air yang membias di kaca. Kuraih handphone di atas meja kerja. Kulirik Rey kembali terlelap. Istriku, maafkan hati suamimu yang penuh dusta ini, pintaku dalam diam setiap detik. Tanpa sadar, kubuka album foto yang telah kuproteksi dengan password. Dan setelah loading, muncullah foto wanita: duka nestapa yang membuatku harus menyingkir dari tanah air.
***

Lima tahun yang lalu.
"Hahaha. Kamu tahu? Kuliah tadi benar-benar inspirator buatku. Setidaknya, nanti ketika menangani pasien, aku tahu langkah pertama yang aku lakukan adalah tersenyum. Seperti ini,"gadis itu melempar senyum ke arahku yang tak sengaja menoleh. Aku mengangkat alis. Gadis yang menarik.
Dia kembali berbicara dengan teman-temannya, kali ini mereka membahas mengenai teknik-teknik anamnesis. Aku beranjak pergi dari deretan buku di sini. Buku yang kucari rupanya tidak ada, mungkin di meja-meja perpustakaanlah buku itu berada sekarang.
Namun, gadis itu berdiri di hadapanku, dengan berani mengajakku bicara.
"Kak Dewa ya? Satu angkatan dengan kakakku dong. Namanya Rina. Kenal?"
Aku tersenyum."Iya, kenal. Adiknya ya?"
"Hehe. Iya Kak. Oh iya, aku juga satu kelompok penelitian loh sama Kak Dewa, Kakakku, dan Kak Seno."
"Baguslah. Welcome, Aira."
Kira-kira, itu saja percakapanku dengannya hari itu. Namun di dalam otakku, percakapan kami telah melintasi batas perkuliahan, penelitian, dan masa depan. Perasaanku bukan sekedar perasaan kakak ke adik, andai ia tahu.
***


Aku tersenyum. Akhir-akhir ini aku terlalu banyak tersenyum hingga ketakutanku apabila otot risoriusku putus sepertinya beralasan.
Semuanya gara-gara Aira. Aira-ku sayang, meski panggilan itu hanya kulontarkan pada cermin sembari membayangkan dirinya memantul dari sana.
"Kak, kok Kak Seno ga ikut rapat penelitian lagi ya?"Aira bertanya.
Dalam hatiku, apakah kamu juga akan peduli jika aku tak muncul kali ini?
"Dia lagi ngurusi masalah di rumah. Sepertinya bapaknya jatuh sakit lagi."
Aira hanya manggut-manggut. Lalu ia kembali ceria, membuatku silau dengan senyumannya.
"Dewa, nanti sore kamu ketemu Dokter Hendra ya? Bimbingan penelitian kita dari kemarin delayed mulu. Nanti sore harus positif,"Rina menekankan kalimat terakhirnya lalu menoleh pada Aira.
"Kamu temani Dewa. Laporkan sesuai dengan yang kita simulasikan hari ini. Persis. Tak boleh ada yang terlewat. Aku mengurusi mencit kita, sepertinya kemarin ada yang mati. Semoga yang lain baik-baik saja."
Aira mengangguk."Siap Kak!"ujarnya ringan.
Pertemuan dengan dosen mengalir seperti alunan canon D minor. Aku terpesona. Aira, kapankah aku bisa mengklaim perasaanku kepadamu?
Setiap malam kukirim doa dan kuucapkan selamat tidur kepadamu. Dan kau selalu membalas,"Selamat mimpi indaah..>_<"
Aira, kenapa kau tak membalas pesanku ketika kutanya bagaimana perasaanmu kepadaku?
***

Rapat penelitian di perpustakaan. Sudah dua kali Aira absen, dan hatiku sakit. Kali ini aku bertanya-tanya apakah hatiku yang patah harus kujahit agar tak berdenyut-denyut sakit begini?
Rapat yang hanya ada aku dan Rina terasa hambar. Tidak ada silau Aira, dan kemanakah mereka?
Samar-samar kutolehkan kepala ke arah suara yang tak asing. Itu Aira, bersama Seno. Ah, jadi gosip itu benar adanya. Sepertinya aku butuh painkiller dosis tinggi.
Mereka tampak bahagia, pasangan muda itu. Lalu mereka seperti salah tingkah. Tentu saja selama ini perasaanku terbaca jelas.
Es krim yang pernah kubawa ketika rapat dan Aira mendapat es krim termahal. Tiket nonton yang kubagikan gratis pada tim penelitian dan Aira mendapat seat di sebelahku, rupanya cukup membuat Aira mengerti. Ditambah sms selamat tidur setiap malamku, dan senyum yang hanya melimpah ketika ada dia.
Ah, sekarang mereka berjalan mendekat. Ingin kuteriakkan, stop! Sampai di situ saja!
Tapi harga diriku lebih mahal dibanding itu.
Aira tetap ceria. Ceria untuk kami semua. Dalam hati aku mulai kesal, dan berharap jangan pernah ada Aira di tim ini, di kampus ini, di dunia ini.
***


Pada akhirnya aku yang harus pergi. Ke San Fansisco dan menikahi wanita pilihan orangtuaku. Hidup bergelimang dolar, namun di sudut hatiku yang terdalam, Aira masih di sana. Tenang, menghanyutkan.
Entah di mana dia sekarang. Menikah atau belum. Dan mimpi burukku selalu menjawab ilusiku: aku menyandingmu di pelaminan. Ya. Kau, Aira.
Itulah mimpi burukku, di alam sadarku kau terlalu jauh. Namun mimpi mampu menghadirkanmu dalam situasi itu. Sungguh mimpi buruk.



(hwe. Novelis wanna be). Hwah.

Published with Blogger-droid v1.7.4

0 comments:

Post a Comment

Ayoooo. . . . dikomen yaaa .. . . . .

Don't Ever Forget Why You were Born to This World!

Remember Your Creator, Your Majesty, Your Almighty, Your God, ALLAH in every single second you have. .